Quantcast
Channel: zen – Rumah Filsafat
Viewing all 139 articles
Browse latest View live

Batu yang Dilempar pasti Kembali ke Tanah

$
0
0

dappledwithshadow | Magritte, Rene magritte, Rene magritte artOleh Reza A.A Wattimena

Batu yang dilempar pasti kembali ke tanah. Inilah hukum alam yang berlaku di bumi. Ini berlaku untuk semua. Jika tidak suka, silahkan meninggalkan bumi.

Hal yang sama seperti harapan, ataupun ekspektasi. Kita melemparnya tinggi-tinggi ke langit. Lalu, ia jatuh menimpa kita. Rasa sakit pun muncul.

Berharap batu tak jatuh ke tanah itu mimpi di siang bolong. Berharap bahwa ekspektasi kita selalu menjadi nyata juga sama. Itu namanya hidup dalam mimpi. Penderitaan itu bagus, karena ia membangunkan kita dari mimpi.

Bagaimana harapan hancur? Ada beragam cara, dan anda mungkin sudah mengalaminya. Orang-orang yang tak pernah sesuai keinginan kita. Atau keadaan yang selalu bertentangan dengan apa yang kita rencanakan.

Sejauh pengalaman saya, inilah akar dari semua penderitaan. Yang luka bukanlah diri kita, melainkan harapan-harapan kita. Yang hancur berkeping-keping bukanlah hidup kita, melainkan harapan-harapan kita tentang hidup kita. Kita berharap, keadaan selalu baik, uang selalu ada, orang selalu sehat dan sebagainya. Itu namanya mimpi di siang bolong.

Di dalam pandangan dunia Asia, inilah yang disebut sebagai ketidaktahuan, atau kesalahan cara pandang. Kita tidak paham, apa itu kehidupan yang sebenarnya. Ketika keadaan baik, kita ingin memegangnya erat-erat. Ketika keadaan buruk, kita ingin lari darinya.

Seumur hidup, kita dibuat kacau oleh keadaan yang terus berubah. Padahal, jika kita mau berhenti sejenak, dan mengamati keadaan, pola kenyataan akan tampil jelas. Segalanya berubah, dan tak ada yang bisa digenggam, termasuk hidup kita sendiri. Secara alami, kita akan melepas, lalu, ironisnya, mendapat segalanya.

Inilah hukum alam. Ia berlaku untuk semua. Orang boleh percaya, atau tidak. Hukum alam tetap bergerak mengikuti pola-pola yang sudah ada.

Harapan akan terpatahkan. Sikap keras akan hancur oleh keadaan. Sikap lembut dan melepas akan menciptakan kebahagiaan. Derita akan membangunkan dari tidur yang membuat kita terlenakan.

Batu yang dilempar tinggi tersebut, sesungguhnya, bukanlah milik kita. Harapan kita bukanlah milik kita. Itu adalah harapan dari orang tua maupun masyarakat kita, lalu kita ambil alih secara tak sadar. Harapan-harapan yang kita genggam adalah “bangkai” dunia sosial.

Sayangnya, bangkai tersebut disebar lewat pendidikan. Orang berpendidikan tinggi cenderung punya harapan terlalu tinggi. Akhirnya, mereka gampang kecewa. Mereka gampang terpatahkan oleh keadaan.

Ini terjadi, karena pendidikan telah kehilangan rohnya. Di Indonesia, pendidikan telah menjadi tempat cuci otak, sekaligus tempat mengeruk uang. Tak ada pembebasan dan penyadaran disana. Pendidikan justru memperbodoh manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.

Pendidikan telah mencabut manusia dari kenyataan. Padahal, kenyataan adalah otoritas tertinggi. Kita hidup di dalamnya, dan tak bisa lepas dari hukum-hukumnya. Maka, kita perlu belajar melihat dunia sebagaimana adanya.

Artinya, kita perlu melepas semua asumsi yang ada. Kita menyelam ke kenyataan sebagaimana adanya, tanpa kerangka berpikir apapun. Kita menunda semua penilaian yang ada. Di dalam filsafat Eropa, inilah yang disebut sebagai sikap fenomenologis.

Buahnya adalah kejernihan. Kita tidak lagi hidup dalam mimpi. Kita tidak lagi diperbudak oleh harapan dan ekspektasi semu. Kita berhadapan dan tenggelam dalam kenyataan.

Secara intuitif, kita tahu apa yang mesti dilakukan. Kita paham keadaan sesungguhnya. Kita paham peran kita di dalamnya. Lalu, kita juga paham, apa yang harus dan bisa dilakukan.

Ketika melepas harapan, ke dalam diri, kita akan menemukan kedamaian. Kita akan berjumpa dengan rasa cukup yang mendalam. Perlahan, kita juga bisa paham, siapa kita sebenarnya. Inilah pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dalam hidupnya.

Ke luar, kita akan bisa bertindak sesuai dengan keadaan. Kita tidak memaksakan paham kita kepada orang lain, atau kepada keadaan. Kita tidak menjadi diktator terhadap kenyataan. Kita mengalir mengikuti perubahan, sambil tetap peka pada apa yang bisa dan harus dilakukan.

Batu yang dilempar pasti kembali ke tanah. Harapan yang terlalu tinggi akan jatuh berkeping-keping ke tanah. Jangan lupa itu. Silahkan berharap, tapi jangan lupa berpijak pada kenyataan.

Jangan lupa berpijak ke tanah.

 

 

 


Zen ala “Gus Dur”

$
0
0

Humor: Ketika Gus Dur Bikin Kiai Sepuh Putus Asa - Pesantren.IDOleh Reza A.A Wattimena

Minggu malam, 31 Januari 2021, seorang teman mengirim foto di media sosial. Isinya adalah kutipan dari Gus Dur dengan karikatur wajahnya. Isinya tentang jalan untuk menjadi bahagia. Kutipannya begini.

“Gus, apa kuncinya bahagia? Jangan memikirkan apa yang kamu tidak tahu, kata Gus Dur. Kalo yang diketahui Gus? Lha kalau sudah tahu, buat apa dipikir?”

Sejenak, saya mengalami pencerahan. Ada pemahaman baru muncul. Ada realisasi tentang hidup sebagaimana adanya. Spontan, saya membagikan foto tersebut ke beberapa teman. Tanggapan mereka pun serupa: tertawa sambil tercerahkan.

Walaupun begitu, saya coba membuat penelitian kecil. Apakah perkataan itu sungguh dari Gus Dur? Saya tidak menemukan referensi yang akurat. Yah, walaupun begitu, dengan gaya ungkapan yang cerdas sekaligus lucu, saya kok merasa, Gus Dus sungguhlah yang mengatakan hal tersebut.

Di Indonesia, filsafat Stoa sedang ramai. Gerakan meditasi dan hidup berkesadaran pun tersebar luas. Di dalam satu kutipan dari Gus Dur tersebut, seluruh filsafat Stoa dan seni hidup berkesadaran terangkum menjadi satu. Luar biasa.

Kita sering berpikir berlebihan. Akibatnya, kita jadi takut dan cemas berlebihan. Pikiran kita sakit. Badan kita pun ikut sakit.

Jika kita tidak banyak berpikir, kita tenang. Pikiran kita damai. Badan kita pun ikut sehat. Sudah banyak sekali penelitian yang menegaskan, kesehatan tubuh manusia amat tergantung pada kesehatan pikirannya.

Kita banyak berpikir, karena dibiasakan oleh lingkungan. Dunia pendidikan kita mendewakan akal budi. Semua harus bisa dikonsepkan secara logis dan rasional. Alhasil, pikiran pun menjadi “tuhan” baru.

Padahal, pikiran hanya sebagian kecil dari hidup. Jika kita bisa berjarak dari pikiran, kita akan sungguh hidup. Kita akan menyentuh “eksistensi” itu sendiri. Kedamaian, kecerdasan dan kejernihan adalah buah-buahnya.

Sambil tenggelam di kesunyian malam, saya terus melakukan penelitian tentang kutipan-kutipan Gus Dur. Satu lagi kutipan menyentuh saya. Isinya begini.

Masalah-masalah Hidup

“Jika kamu punya masalah, dan sudah tau solusinya, ya udah ga usah dipikir, kan sudah tahu. Terus kalo ga tau solusinya Gus? Ngapain juga dipikirin, malah capek.”

Sekali lagi, pencerahan datang menghampiri. Lebih dari 2400 tahun yang lalu, Siddharta Gautama sudah mengatakan hal serupa. Ini adalah sikap bebas dari pikiran itu sendiri. Kita lalu menjadi tuan atas pikiran, dan bukan lagi budaknya.

Zen sendiri memang sekumpulan cara untuk kembali ke sebelum pikiran. Disitu, ada kedamaian. Ada kejernihan tentang dunia sebagaimana adanya. Ada kebahagiaan dan welas asih untuk menolong.

Sebelum pikiran, tidak ada “kepribadian”. Itu hanyalah pola yang dibentuk oleh lingkungan sosial selama bertahun-tahun. Diri sejati manusia sama kosong dan luasnya seperti alam semesta. Ia tak berbentuk, namun hidup dan sadar seutuhnya.

Kutipan dari Gus Dur, beserta seluruh pemikiran Asia, kiranya berpola sama. Pikiran adalah alat pembantu, dan bukan tuan atas hidup manusia. Ada kecerdasan maha besar dan maha hebat yang menjadi latar belakang dari segala sesuatu. Ia bisa disebut sebagai Tuhan, walaupun ia sesungguhnya tak bernama. Ia melampaui nama, dan melampaui konsep.

Ini kiranya sesuai dengan pepatah Hindu kuno. Jika manusia menyentuh kesadaran di dalam dirinya, ia akan bisa memperbudak “tuhan”. Ia akan menemukan kunci kehidupan. Ia sudah mencapai pemahaman tertinggi.

Kesadaran lalu menjadi tuan kehidupan. Emosi dan pikiran datang dan pergi bagaikan tamu. Manusia akan menemukan kehidupan sebagai rumahnya. Segala yang ada pun menjadi dirinya. Tak ada lagi perbedaan.

Untuk sampai titik ini, orang harus paham pada pikirannya. Ia harus berhati-hati pada pikirannya sendiri. Jangan sampai hidupnya menderita, karena disiksa pikirannya sendiri. Sesungguhnya, jika orang yang disiksa oleh pikirannya sendiri, ia sudah berada di neraka.

Pemahaman ini amat penting di masa krisis ini. Pandemik COVID 19 tidak hanya merusak tubuh. Pikiran dan jiwa banyak orang pun terganggu. Mereka hidup dalam derita, dan bahkan bunuh diri untuk keluar darinya.

Bunuh Diri di Masa Pandemi

Takanao Tanaka dan Shohei Okamoto menuliskan penelitian mereka tentang peningkatan bunuh diri di Jepang selama pandemi COVID 19. Jurnal tersebut diterbitkan di Jurnal Nature Human Behaviour pada 15 Januari 2021. 16% peningkatan kasus bunuh diri terjadi pada Juli sampai Oktober 2020. (Tanaka, Okamoto, 2021)

Pelaku bunuh diri terbanyak adalah perempuan. Jumlahnya meningkat 37%. Sementara, tingkat bunuh diri pada anak dan orang dewasa meningkat sejumlah 49%. Secara global, tingkat bunuh diri menyentuh peningkatan sampai 145% pada akhir 2020 lalu. (Okolie, Eyles, 2020)

Pandemik membuat orang takut. Pikirannya kacau. Emosinya tak stabil. Hidupnya bagai di neraka, yakni penuh derita. Dalam keputusasaan, bunuh diri pun menjadi jalan keluar.

Sosok Gus Dur, sesungguhnya, tak pernah sungguh meninggalkan kita. Pikiran-pikirannya masih menyediakan pencerahan untuk bangsa. Humor-humornya masih membangunkan akal sehat, sekaligus menghibur kita.

Di tengah pandemi, krisis ekonomi dan depresi batin yang tersebar di seluruh dunia, ada baiknya kita menengok kembali saran-saran salah satu guru bangsa terbesar kita ini. Harapannya, dalam krisis, kita lalu bisa tersenyum, dan tetap hidup waras. Terima kasih, Gus!

Zen untuk Para Teroris Bernapaskan Agama

$
0
0

1000+ images about Strange Art on Pinterest | Vladimir kush, An eye and  Surrealism art | Street art love, Weird art, ArtOleh Reza A.A Wattimena

Abad 21 dipenuhi dengan aksi terorisme di berbagai tempat. Indonesia juga sudah cukup sering mengalaminya. Aksi teror adalah aksi kekerasan untuk menyebarkan rasa takut dan perpecahan di dalam masyarakat. Kerusakan dan derita yang diciptakannya amatlah besar.

Agama juga kerap menjadi dasarnya. Berulang kali Presiden Jokowi berusaha menyangkalnya. Namun, data dan fakta tak bisa diabaikan. Pemahaman agama yang sempit dan sesat kerap menjadi dasar bagi aksi teror di abad 21, termasuk di Indonesia.

Akar Masalah

Masalahnya terletak pada pola pendidikan agama yang salah. Agama dianggap sebagai kebenaran mutlak. Pertanyaan dan perbedaan pendapat disingkirkan. Agama menjadi ideologi tertutup yang membuat mata buta dan nurani menjadi cacat.

Pendidikan agama yang salah menciptakan identitas yang terbatas. Orang melihat dirinya sebagai umat beragama tertentu. Ikatan kelompok lain melemah, bahkan dianggap tiada. Identitas diri menjadi sempit, dan tak sejalan dengan kenyataan hidup sebagaimana adanya.

Tak hanya sempit, identitas agama pun menjadi narsis. Ia merasa, bahwa agamanya paling hebat, walaupun semua data menunjukkan sebaliknya. Ia merasa, agamanya bisa menyelamatkan dunia, walaupun semua data juga menunjukkan sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai identitas agama yang narsis dan megalomaniak. Ia merasa hebat, walaupun kenyataannya, agama yang sempit itu terus merusak kedamaian hidup bersama.

Di Indonesia, agama juga kerap kali dipergunakan untuk kepentingan politik busuk. Pemahaman agama menjadi sangat dangkal, dan bahkan membenarkan kekerasan, seperti aksi terorisme bernapaskan agama yang sering terjadi di Indonesia. Pemerintah sudah lama tahu akan hal ini. Namun, karena berbagai alasan, pembiaran terus saja dilakukan.

Arti Penting Zen

Di dalam keadaan semacam ini, kehadiran spiritualitas amatlah dibutuhkan. Pada hemat saya, dari semua bentuk spiritualitas yang ada, Zen (arti harafiah: meditasi) adalah yang paling sederhana. Ia langsung menusuk ke inti kehidupan, tanpa banyak terjebak pada ritual maupun doa-doa yang tak bermakna. Ia bersifat spontan, langsung dan membangunkan orang dari keterlenaan.

Zen hendak membangunkan kita dari keterlenaan tentang identitas. Identitas sejati kita adalah diri kita yang sejati. Ia berada sebelum pikiran dan emosi muncul. Ia jernih dan memberikan kedamaian dari saat ke saat.

Diri sejati kita bisa disebut sebagai kesadaran murni. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia berada sebelum semua identitas sosial diberikan. Ia berada sebelum agama.

Ketika mendengar suara, cukup sadari ada suara. Ketika merasa dingin atau panas, cukup sadari ada rasa di kulit. Ketika emosi meluap, cukup sadari keberadaan emosi tersebut. Ketika ada pikiran menyakitkan, cukup sadari keberadaan pikiran itu. Ini dilatih terus, tanpa henti.

Ketika gagal, cukup sadari, lalu coba lagi. Ketika berhasil, cukup sadari. Ketika berjalan, cukup sadari sentuhan kaki ke tanah. “Cukup sadari” menjadi semboyan hidup yang membangunkan dari saat ke saat.

Kesadaran lalu menjadi teman sejati. Ia adalah diri kita yang sebenarnya. Kita lebih tenang dan jernih menyingkapi berbagai keadaan. Kita menjadi hidup seutuhnya.

Di titik ini, identitas kita menjadi seluas semesta. Kita melihat diri kita sama dengan semua mahluk di alam semesta. Identitas sosial menjadi relatif. Ia dipergunakan seperlunya saja.

Tidak ada lagi identitas sempit yang narsis dan megalomaniak. Tidak ada lagi pemahaman agama yang sempit dan penuh kekerasan. Tidak ada lagi perasaan lebih tinggi ataupun lebih mulia dari manusia ataupun mahluk hidup lainnya. Yang ada hanya kejernihan dari saat ke saat.

Dari kejernihan, pertimbangan akal sehat dan nurani yang jernih bisa dilakukan. Keputusan akan lebih sesuai dengan keadaan yang nyata. Kepentingan diri pun melemah, sehingga pertimbangan menjadi semakin terbuka untuk semua mahluk.  Saat ke saat, ini perlu dilatih terus.

Melampaui Agama

Zen itu melampaui agama. Ia tidak terkait dengan iman terhadap agama apapun. Ia adalah jalan untuk sampai pada pencerahan dan pembebasan. Ia menjadi alat anti terorisme yang paling jitu, asal diterapkan sesuai dengan kaidahnya.

Maka, setiap agama harus mendalami Zen. Hanya dengan begitu, orang-orang yang beragama bisa menyentuh inti spiritualitas terdalam kehidupan. Kejernihan dan kedamaian adalah buahnya. Terorisme bernapaskan agama pun bisa dilenyapkan dari muka bumi ini. Jangan ditunda lagi.

Gambar dari Vladimir kush

Spiritualitas Uang

$
0
0

Surreal money Stock Photos - Page 1 : MasterfileOleh Reza A.A Wattimena

Dua kata ini, yakni spiritualitas dan uang, kerap kali dipisahkan. Spiritualitas dilihat sebagai sesuatu yang terkait dengan hal-hal yang suci, jauh dari uang. Sementara, uang dilihat tidak hanya sebagai pemenuh kebutuhan manusia, tetapi juga lambang harga diri di mata masyarakat. Uang kerap dicari dengan penuh ambisi dan kerakusan.

Pemahaman ini berbahaya. Tanpa campur tangan spiritualitas, uang akan menjadi alat untuk menindas orang lain dan alam. Uang akan menjadi pemuas kenikmatan yang menggiring orang pada kekosongan dan kehancuran hidupnya. Dalam arti ini, spiritualitas adalah perluasan identitas manusia dari sekedar diri pribadi menjadi seluas semesta.

Di banyak tempat di dunia, agama juga terpisah dari spiritualitas. Di berbagai kesempatan, agama pun menjadi alat untuk mengumpulkan uang, sekaligus memperoleh kekuasaan politik secara kotor untuk kepentingan busuk. Percampuran tak sehat antara politik, ekonomi dan agama kiranya sudah menjadi gejala yang sangat merusak di Indonesia.

Di Indonesia juga, uang membelah masyarakat ke dalam dua kelas, yakni kelas kaya dan kelas miskin. Ketimpangan sosial yang amat tajam pun terjadi. Di tengah pandemik yang tak berkesudahan, dampak ekonomi juga terus terasa. Ketimpangan pun semakin besar dan semakin terlihat di berbagai tempat di Indonesia.

Hubungan antara uang dan hidup manusia tentu harus ditelaah kembali. Uang harus dilihat sebagaimana adanya, yakni sebagaimana fungsi asalinya. Dititik inilah spiritualitas uang berperan penting. Ada tiga hal yang kiranya penting untuk diperhatikan.

Salah Paham Uang

Pertama, di dunia sekarang ini, uang kerap kali dilihat sebagai tujuan. Orang hidup dan bekerja untuk memperoleh uang. Orang menipu dan korupsi untuk mendapat uang lebih banyak. Tak hanya itu, orang bahkan saling menyakiti dan membunuh untuk bisa memperoleh uang.

Dua, uang pun menghasilkan kelekatan. Jika ada uang, orang merasa bahagia. Jika kehilangan uang, orang pun merasa menderita. Uang telah menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang.

Tiga, uang juga kerap menjadi ukuran dari harga diri seseorang. Dengan uang, ia menjadi berharga di mata masyarakat, walaupun caranya memperoleh uang patut dipertanyakan. Tanpa uang, orang dianggap sebagai tak berguna dan tak bernilai. Herbert Marcuse, pemikir Jerman, menyebut ini sebagai Sein als Haben, yakni keberadaan orang yang dilihat dari jumlah uang dan harta benda yang ia punya.

Spiritualitas Uang

Spiritualitas uang berarti, orang menempatkan uang di dalam peran yang sebenarnya. Dengan identitas seluas semesta, orang bekerja untuk memperoleh uang. Ia pun menggunakan uang dari sudut pandang semesta tersebut. Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan.

Pertama, uang ditempatkan sebagai alat untuk kehidupan. Ia bukan tujuan, karena tujuan tertinggi dalam hidup manusia adalah untuk hidup seutuhnya. Jika uang menganggu tujuan ini, maka ia perlu dilepaskan. Uang juga dilihat sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat secara luas, dan bukan sekelompok orang semata.

Dua, uang pun tidak dijadikan obyek kelekatan. Kebahagiaan manusia berakar pada keberadaan dirinya yang hidup seutuhnya. Ia tidak bergantung pada uang, ataupun benda-benda lainnya. Kebahagiaan manusia juga tidak bergantung pada keberadaan orang lain.

Tiga, harga diri pun dilepaskan dari uang. Manusia berharga dan bermartabat di dalam dirinya sendiri. Tidak ada kaitan dengan harta benda maupun uang yang ia punya. Spiritualitas akan membawa orang pada hubungan yang sehat dan seimbang dengan uang.

Kiranya benar kata Michael Sandel, seorang pemikir Amerika Serikat. Hal-hal yang paling berharga di dunia ini tak bisa dibeli dengan uang, karena ia gratis. Ini kiranya juga sejalan dengan kebijaksanaan Zen, bahwa benda yang paling mahal di dunia ini adalah kepala kucing mati. Mengapa? Karena tak seorang pun yang tahu harganya!

Inti Dharma sebagai Jalan Pembebasan

$
0
0

Surrealist music | HiSoUR - Hi So You AreOleh Reza A.A Wattimena

Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Begitulah kiranya pengalaman seorang teman. Demi mendapat pekerjaan yang layak, ia merantau ke Jakarta. Di Jakarta, di hadapan tikaman kesepian, kekacauan dan radikalisme agama, ia terpaksa menjalani kehidupan yang bermutu rendah.

Tekanan batin dihadapinya dengan susah payah. Dalam jangka panjang, depresi pun berkunjung. Hidup terasa hampa tak bermakna. Larangan mudik 2021 pun semakin memperuncing derita.

Seorang teman lain hidup dihantui masa lalunya. Pernikahan gagal menggiring ia dan anak-anaknya ke dalam nestapa yang seolah tak ada jeda. Suasana hati turun naik bagaikan harga saham. Ia berkubang dalam derita yang ia sendiri tak paham akarnya.

Keduanya datang pada saya. Apa yang bisa dikata? Ketika agama dan keluarga sendiri tak membantu, malah menghakimi, orang pun terpojok dalam derita yang penuh dengan sepi. Saya tawarkan, apakah tertarik mendalami Dharma? Ya, jawab mereka.

Dharma

Apa itu Dharma? Ada banyak arti. Tapi, arti utama adalah jalan pembebasan yang berpijak pada hukum-hukum alam. Alam punya pola yang jelas. Jika kita hidup sesuai dengan pola-pola alam, kita akan terbebaskan dari penderitaan hidup.

Dharma bisa dijelaskan dengan berbagai cara. Saya akan mencoba menjelaskan pengertian yang paling sederhana, sekaligus paling tajam. Dharma adalah memahami, siapa diri kita yang sebenarnya. Jika kita sungguh memahami siapa diri kita yang sebenarnya, maka semua derita akan lenyap seketika.

Jadi, siapa kita sebenarnya? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab langsung secara positif. Ia hanya bisa dijawab secara negatif. Artinya, kita mencoba menyingkirkan apa yang bukan kita, lalu kita sampai pada sesuatu yang tak bisa disingkirkan. Itulah diri kita yang sebenarnya.

Tiga Langkah Dharma

Ada tiga langkah. Pertama, apakah kita adalah pikiran kita? Yang jelas, pikiran kita berubah setiap saat. Bahkan, kadang kita melamun. Tidak ada pikiran.

Maka, kita bukanlah pikiran kita. Diri kita yang asli berada sebelum pikiran. Tradisi Zen amat kuat di dalam proses membawa manusia ke keadaan sebelum pikiran. Siapa kita, sebelum pikiran kita muncul?

Dua, apakah kita adalah tubuh kita? Jelas, tubuh kita terus berubah. Kadang mengurus, kadang menggemuk. Tubuh kita juga bertambah tua.

Maka, kita bukanlah tubuh kita. Tubuh hanyalah hasil kumpulan makanan yang sudah kita makan. Ia adalah sisa-sisa pengolahan makanan semata. Jika saatnya tiba, energinya berubah, tubuh pun ditelan bumi.

Tiga, apakah kita adalah identitas sosial kita? Identitas sosial itu termasuk suku, ras, warga negara, gender dan agama. Semua itu bisa dengan mudah berubah. Semua adalah ciptaan masyarakat yang ditempelkan pada kita.

Jadi, kita yang asli berada sebelum identitas sosial, sebelum semua label ditempelkan pada diri kita. Sejatinya, tak ada kata untuk ini. Tak ada konsep yang cukup jitu menggambarkannya. Namun, untuk keperluan penjelasan, saya memakai kata ini: kita adalah “kehidupan” itu sendiri, energi yang hidup.

Sebagai energi yang hidup, kita sama dengan segala hal. Diri kita adalah alam semesta itu sendiri. Kita berdiri berdampingan dengan semua bentuk kehidupan. Cinta terhadap semua mahluk pun menjadi tanpa syarat. Inilah inti dari Dharma.

Diri pribadi, atau Ego, tidak sungguh ada. Ia adalah ciptaan pikiran semata. Ia adalah hasil dari delusi. Ketika kita sadar, bahwa tak ada beda antara aku dan semesta, maka apakah masih relevan berbicara soal kematian? Apakah masih relevan untuk menderita?

Sumber Derita dan Kekerasan: Adharma

Tentu saja, dari pengalaman saya, banyak orang menikmati deritanya. Mereka memilih untuk tetap menderita. Walaupun, mereka sudah mendengar Dharma. Ini adalah hal yang selalu membuat saya kagum sekaligus heran: betapa manusia sangat mencintai penderitaannya sendiri.

Inilah hidup yang Adharma, atau tidak sejalan dengan hukum-hukum alam. Sumbernya adalah pikiran yang bergerak berlebihan, atau pikiran yang tak terlatih. Kita mengira benda-benda material, imajinasi dan ingatan sebagai kenyataan, serta terjebak di dalamnya. Tak sedikit yang menggiring kita pada sakit badan, serta berujung kematian.

Ilusi perbedaan pun muncul. Aku berbeda dengan kamu. Kelompokku berbeda dengan kelompokmu. Punyaku lebih luhur dan benar, maka mari kita berperang menegakkan kebenaran.

Inilah akar dari semua konflik di dalam sejarah manusia. Diskriminasi terjadi karenanya. Ketidakadilan, kekerasan dan perang terjadi karenanya. Penderitaan kolektif umat manusia terjadi juga karenanya.

Dengan mendalami Dharma, kita akan terbebaskan dari kebodohan. Kita akan terbebaskan dari penderitaan di dalam diri dan konflik dengan orang lain. Kita akan sadar, bahwa tidak ada orang lain. Semua adalah bagian dari diri kita sendiri. Perasaan damai dan cinta pada segala sesuatu pun secara alami berkobar di dalam hati.

Saya tak sungguh tahu, apakah penjelasan saya ini cukup berguna atau tidak, guna melampaui derita kedua teman saya. Saya sudah berusaha menjelaskan sesederhana mungkin soal inti Dharma sebagai jalan pembebasan. Penjelasan lain yang lebih baik adalah “diam dan hening”. Namun, saya menduga, jika saya melakukan itu, dua teman saya, dan mungkin anda, akan semakin bingung.

Di titik ini, bingung sebenarnya tanda baik. Artinya, kita berpikir dan mencoba mencari jawab. Biarlah kebingungan terus berlanjut, sampai terpecah, dan kita kembali ke keadaan alami kita. Pada titik ini, kita berjumpa dengan diri sejati kita. Kita terbebaskan.

Pencerahan Tentang Tubuhku

$
0
0

Surreal depictions of the human body by the 'Hannibal Lecter' of the art  world | Dangerous Minds | Modern surrealism, Surrealism painting, ArtOleh Reza A.A Wattimena

Ada pencerahan cukup besar dalam perjalanan pesawat dari Denpasar ke Jakarta 9 Juni 2021 lalu. Buku lama dibaca sambil terbang melintasi jarak Bali ke Jawa. Tertulis kalimat sederhana yang membuka mata, „Aku bukanlah tubuhku“. Tersentak, waktu terasa berhenti.

Ada hening dalam diri yang tampil ke depan. Tubuh seperti kapas. Ia tipis dan melayang (ini fakta, karena memang sedang di pesawat). Satu kunci kehidupan terbuka, dan membuka banyak pintu lainnya.

Semua masalah tak lagi menjadi masalah. Apa yang sebelumnya mengkhawatirkan kini terasa jauh. Ada jarak tercipta. Ada ruang baru yang luas dan megah muncul ke muka.

Seolah-olah Masalah

Sejauh saya pahami, ada sembilan masalah yang mendesak hidup manusia di abad 21 ini. Pertama, begitu banyak orang khawatir soal uang. Mereka khawatir tentang keselamatan diri dan keluarga mereka. Berbagai cara, bahkan yang merugikan orang lain, kerap ditempuh, guna mengumpulkan uang lebih banyak lagi.

Dua, kita juga kerap khawatir akan keluarga. Bagaimana kesehatan istri, suami, anak dan orang tuaku? Bagaimana supaya aku bisa membantu mereka hidup sehat, bahagia dan berumur panjang? Kekhawatiran yang berlebihan akan menciptakan kecemasan, bahkan depresi yang berujung panjang, seperti penyakit tubuh dan bahkan bunuh diri.

Tiga, pengalihan dari kecemasan juga kerap merugikan. Seringkali, orang jatuh pada sikap konsumtif. Ia membeli barang-barang yang tak perlu. Pendapatan, dan bahkan tabungan, harus lenyap demi memuaskan hasrat membeli tiada akhir itu.

Empat, ketika uang dan daya beli lenyap, obyek lain menjadi pelarian. Banyak orang lari ke alkohol. Mereka mabuk untuk menutupi kecemasan yang dirasakan. Ini tentunya lingkaran setan, karena kecanduan alkohol akan menciptakan masalah baru yang lebih berbahaya.

Lima, kecanduan narkoba juga mengambil pola serupa. Kenikmatan sesaat dicari untuk keluar dari masalah secara instan. Orang seolah tak sadar, ini seperti menggali kubur lebih dalam. Dampak kecanduan narkoba jauh lebih menyakitkan dari kecemasan yang ada di awal.

Enam, ini yang kiranya menjadi trend sekarang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Agama menjadi pelarian tak sehat dari kecemasan hidup. Orang berganti baju, menutup seluruh tubuhnya, dan merasa menjadi orang paling suci di dunia. Sebagian kecil menjadi teroris yang mengancam kenyamanan dan keutuhan hidup bersama.

Tujuh, kerakusan kiranya menjadi penutup kecemasan. Orang tak puas dengan apa yang ada. Ia memeras otak dan tenaga untuk mencari apa yang lebih memuaskan hati, tanpa ada arah yang jelas. Inilah akar dari semua korupsi dan tindak tidak jujur lainnya, yakni ketakutan akan hidup yang serba tak pasti.

Delapan, kenikmatan tubuh sesaat memang paling cepat mengalihkan kecemasan. Seks lalu menjadi pilihan utama. Tak heran, di abad 21, pornografi, pelacuran dan perselingkuhan meledak di berbagai penjuru dunia. Krisis yang tak kunjung henti, ditambah dengan pandemik yang semakin tak pasti, memaksa orang mencari pengalihan sesaat.

Sembilan, kecenderungan ini mungkin yang paling halus, yakni obsesi berlebihan pada kesehatan. Seolah sakit adalah musuh bebuyutan yang mesti dibasmi. Padahal, sakit adalah bagian dari kehidupan. Ia adalah kesempatan bagi tubuh untuk sungguh beristirahat, ketika aktivitas meluap hebat.

Apa yang sama dari kesembilan hal di atas? Satu hal: semua adalah persoalan tubuh! Semuanya lahir dari kebutuhan tubuh, dan dorongan untuk melestarikan tubuh. Dan karena hubungan keluarga maupun percintaan adalah hubungan tubuh, maka itu pun menjadi obyek kecemasan.

Sadar atau tidak sadar, tubuh adalah alasan utama dari semua kecemasan kita. Orang menumpuk harta, kerap melalui korupsi, juga untuk memuaskan kebutuhan tubuh. Orang mencemaskan hidupnya dan keluarganya, juga karena adanya ikatan tubuh. Hanya manusia yang serepot ini.

Hewan dan tumbuhan juga memiliki kebutuhan tubuh. Namun, mereka tak banyak cemas, seperti manusia. Mereka juga ingin bertahan hidup di dunia yang serba tak pasti. Namun, tak ada hewan yang terjebak di dalam depresi berkepanjangan, dan memilih untuk bunuh diri. Tak ada hewan yang membunuh sesamanya, hanya karena agama.

Tubuhku

Jika tubuh menjadi penyebab banyak kecemasan hidup, apa sebenarnya arti tubuh? Tubuh adalah entitas yang terus berubah. Ia merupakan kumpulan sekaligus sisa dari makanan yang pernah kita makan. Dulu, tubuh kita kecil. Namun, dengan berlalunya waktu dan jumlah makanan yang kita santap, ia kini membesar.

Tubuh juga hasil kebiasaan. Jika kita terbiasa makan banyak, maka tubuh kita besar. Sebaliknya, jika pola makan kita sedikit, maka tubuh pun kecil. Tubuh punya kebutuhan-kebutuhannya sendiri yang menuntut untuk dipenuhi.

Kebutuhan yang tak tertahankan bisa juga disebut sebagai kompulsi. Ini adalah dorongan-dorongan kuat yang memaksa untuk dipenuhi. Bentuknya beragam, mulai dari makan tak terkendali, seks berlebihan, dandan berlebihan sampai dengan kebutuhan akan barang-barang mewah. Pemenuhan kebutuhan kompulsi tubuh inilah yang menjadi alasan dari banyak kecemasan di dalam hidup kita.

Tubuh juga tak bisa dipisahkan dari pikiran. Apa yang kita pikirkan akan terasa di tubuh. Luka di tubuh juga bisa mengacaukan pikiran kita. Maka, konsep yang digunakan sebaiknya adalah konsep tubuh-pikiran (body-mind). Keduanya adalah satu.

Apakah Aku adalah Tubuhku?

Pertanyaan ini penting dijawab. Jika jawabannya ya, maka semua kecemasan kita beralasan, karena semua terkait dengan pemenuhan kebutuhan tubuh. Namun, jika dilihat lebih dalam, jawaban yang tepat adalah tidak. Tubuh kita terus berubah. Sementara, kesadaran atau kehidupan di dalamnya tetap ada.

Maka, aku bukanlah tubuhku. Aku bisa mengamati tubuhku. Aku bisa menyadari tubuhku. Maka, tubuhku bukanlah aku, karena ia bisa menjadi obyek dari kesadaranku.

Jika aku bukanlah tubuhku, siapakah aku? Jawabannya sederhana: aku adalah kesadaran yang mengamati tubuhku. Beragam penelitian di dalam filsafat dan neurosains sudah sampai pada kesimpulan ini. Aku adalah kesadaran yang hidup, sementara tubuh hanyalah kendaraanku di dunia ini.

Apa dampak dari pemahaman ini? Sebagian besar masalah adalah masalah pemenuhan tubuh. Kecemasan kita terhadap keluarga juga karena kita memiliki ikatan tubuh dengan mereka. Namun, jika kita sadar, bahwa kita bukanlah tubuh kita, maka ada pencerahan di sana.

Ada jarak antara aku dan tubuhku. Ini juga berarti, ada jarak antara aku dan pikiranku. Ada jarak antara aku dan kecemasanku. Inilah sesungguhnya yang merupakan akhir dari penderitaan.

Kompulsi lenyap. Kecemasan lenyap. Kita masih harus bekerja, guna memenuhi kebutuhan tubuh. Kita masih harus merawat keluarga yang membutuhkan. Namun, semuanya dilakukan dengan tenang dan jernih.

Ini harus disadari dari saat ke saat. Di sela-sela kegiatan, cobalah berkata kepada diri sendiri, „Aku bukanlah tubuhku“. Ini akan membentuk pola hidup yang baru. Ini akan menggiring kita pada pencerahan yang melahirkan kedamaian serta kejernihan. Tindakan yang tepat pun akan mengalir dari situ.

Di sisi lain, sebagai kesadaran hidup yang telah melampaui tubuh, kita juga merasakan ikatan dengan semua mahluk. Kita menjadi bagian dari seluruh mahluk hidup yang ada. Diskriminasi, rasisme dan konflik identitas akan lenyap seketika. Kita menggunakan tubuh, namun mampu melampauinya, serta menyentuh kesadaran kosmik di dalam diri kita.

Tunggu apa lagi?

Meditasi: Apa, Mengapa dan Bagaimana?

$
0
0

9,149 Broom Sweep Photos - Free & Royalty-Free Stock Photos from DreamstimeOleh Reza A.A Wattimena

Setiap harinya, puluhan email masuk ke saya. Sebagian bertanya tentang filsafat. Sebagian lagi bertanya soal Zen dan meditasi. Beberapa bisa saya jawab. Namun, tak semuanya bisa tersentuh.

Soal filsafat sudah sering saya bahas, baik di website, buku maupun seminar. Soal meditasi sebenarnya juga sudah. Namun, saya merasa perlu untuk membahas soal ini secara sistematik dan sederhana. Lahirlah tulisan ini.

Apa itu Meditasi?

Bisa dikatakan, meditasi adalah salah satu temuan terpenting dalam sejarah manusia. Ia membuka ruang baru bagi hidup manusia. Ia membawa orang keluar dari penderitaan batin yang amat menyiksa. Ia meningkatkan mutu kehidupan seseorang secara keseluruhan. Ada empat hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, meditasi adalah aktivitas untuk kembali ke saat ini. Masa lalu hanyalah ingatan. Masa depan hanyalah bayangan. Yang sungguh nyata adalah saat ini. Jika kita hidup sungguh di saat ini, kita hidup dalam kebenaran.

Dua, meditasi adalah aktivitas kembali ke sebelum pikiran. Sebelum pikiran, diri kita yang asli tampil ke depan. Sebelum pikiran adalah kesadaran/kehidupan (awareness/aliveness) itu sendiri. Kita menemukan kejernihan di sana.

Tiga, meditasi adalah aktivitas untuk membangun jarak dengan pikiran dan tubuh kita. Pikiran dan tubuh seringkali menjadi sumber penderitaan besar. Kecemasan akan berbagai hal membuat kita tersiksa. Dengan meditasi, kita membuat jarak dengan pikiran dan tubuh kita. Penderitaan pun mengecil, bahkan lenyap sama sekali.

Dalam artinya yang asli, meditasi bukan untuk menjadi sakti. Orang tak akan bisa terbang, jika ia meditasi. Orang tak akan bisa hidup abadi, jika ia meditasi. Meditasi, dalam artinya yang paling asli, tak akan membuat orang jadi dukun.

Meditasi adalah ilmu pengetahuan untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Ia bukan agama. Orang tak perlu percaya. Iman juga tak diperlukan. Orang hanya perlu mencoba, menerapkan dan kemudian memetik hasilnya.

Mengapa Perlu?

Mengapa kita perlu bermeditasi? Ada lima hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, meditasi diperlukan, supaya orang menemukan keseimbangan dalam hidupnya. Banyaknya kecemasan dan pikiran yang berlebih membuat hidup penuh derita serta tak seimbang. Meditasi bisa menyelesaikan masalah itu.

Dua, meditasi memberikan kesehatan mental. Ia membuat orang mampu menjaga jarak dengan kecemasan hidupnya. Ia membuat orang mampu menemukan kedamaian disini dan saat ini. Meditasi bisa membawa orang menuju kebahagiaan yang sejati.

Tiga, kita hidup di era depresi. Banyak orang menderita, karena tekanan kehidupan yang berkepanjangan. Pandemik juga membuat derita semakin besar. Tingkat bunuh diri pun terus meningkat di berbagai negara. Meditasi bisa menjadi jalan keluar yang amat efektif untuk masalah-masalah ini.

Empat, meditasi bisa membawa kita pada pencerahan. Dalam arti ini, pencerahan terjadi, ketika orang sungguh memahami, siapa diri mereka sebenarnya. Pikiran dan badan hanyalah pinjaman. Diri kita yang asli adalah kesadaran/kehidupan itu sendiri. Inilah kebijaksanaan tertinggi.

Lima, dengan kejernihan, ketenangan batin dan kebijaksanaan yang kita miliki, kita bisa menolong semua mahluk. Kita bisa menolong keluarga kita. Kita bisa menolong mahluk hidup yang lain. Kita tidak lagi menjadi beban untuk lingkungan kita. Bahkan, kita bisa menggunakan penderitaan kita untuk menolong semua mahluk.

Penderitaan membuat kita bisa merasakan penderitaan orang lain. Kita bisa bersikap tepat terhadap orang lain yang menderita. Kita bisa menolong mereka, sesuai dengan kebutuhan mereka, dan kemampuan kita. Saat demi saat, kita mengembangkan empati dan welas asih terhadap semua mahluk.

Bagaimana cara Meditasi?

Meditasi ada dua macam, yakni formal dan informal. Meditasi formal berarti meluangkan waktu untuk duduk dan bermeditasi. Caranya adalah dengan mengambil postur duduk yang tegak namun relaks, bisa duduk di kursi atau bersila. Lalu luangkan waktu minimal 15 menit sehari untuk mengamati segala yang terjadi di saat ini.

Obyek pengamatan bisa napas, suara, sensasi kulit ataupun segala hal yang muncul. Kita mengamati semuanya, tanpa menilai. Kita menyadari semua yang datang, termasuk semua pikiran dan gejolak tubuh, tanpa menganalisis. 15 menit bisa juga dipisah 5 menit pagi, siang dan malam. Hidup anda akan berubah.

Meditasi informal adalah  meditasi dalam keseharian. Orang melakukan segalanya sepenuh hati, dengan kesadaran penuh. Semua kegiatan, mulai dari mandi, berjalan, sikat gigi dan semuanya, dilakukan dengan penuh perhatian. Jika ini dilakukan, maka kita hidup dalam kebenaran. Kita hidup di kenyataan disini dan saat ini.

Yang ingin dicapai adalah hidup yang meditatif. Tantangan hidup akan terus datang. Namun, semua dihadapi dengan ketenangan yang kejernihan yang diperlukan. Kita bisa menemukan kebahagiaan di tengah berbagai tantangan, dan bahkan bisa menolong semua mahluk hidup yang membutuhkan, sesuai dengan kemampuan kita.

Dalam perjalanan, kegagalan akan datang. Kita hanyut kembali ke dalam ketakutan. Kita hanyut kembali ke dalam pikiran yang berlebihan. Ini biasa. Semua orang mengalaminya. Kita hanya perlu kembali ke saat ini, dan mengamati obyek yang ada di saat ini.

Coba lagi. Gagal lagi. Coba lagi. Gagal lagi. Tak ada kata selesai.

Pengalaman Saya

Saya memasuki gerbang meditasi lewat derita yang amat sangat. Tepatnya sejak tahun 2014. Saya bangkit perlahan, dan kini bisa membantu banyak orang. Tentu saja, tak semuanya berhasil.

Tantangan kehidupan tetap datang. Kecemasan juga masih hadir. Namun, semua bisa dihadapi dengan ketenangan dan kejernihan yang diperlukan. Gagal lagi. Coba lagi. Latihan lagi. Tanpa henti.

Tantangan terbesar saya masihlah hubungan intim. Saya sulit membangun relasi yang sehat dan berkelanjutan. Kecemasan masih sering menghantui. Kerap kali, kecemasan berbuah konflik, dan berakhir dengan perpisahan. Inilah lingkaran samsara saya yang terus berulang.

Saya terus belajar. Saya terus berlatih. Kerap kali, saya bertanya pada guru yang saya anggap bijak. Pekerjaan rumah masih banyak. Mari mulai sekarang, dan diteruskan sampai akhir jaman!

Zen dalam Satu Untai Puisi

$
0
0

Sol, Nuptials of Zen (Talon Abraxas) ~ flying dakiniOleh Reza A.A Wattimena

Puisi yang tepat akan menghantarkan kita ke gerbang pencerahan. Itu yang kiranya saya rasakan.

Tak heran, begitu banyak Zen Master yang menulis puisi. Mereka menyampaikan pesan-pesan pencerahan di dalam untaian puisi yang menggetarkan hati.

Zen adalah jalan tanpa jalan. Tidak ada teori.

Tidak ada rumusan. Yang ada hanyalah upaya untuk mengekspresikan inti dari segala yang ada, yakni kekosongan yang maha luas.

Kekosongan bukan berarti kehampaan, apalagi depresi. Kekosongan adalah kejernihan dan ketenangan sejati.

Kekosongan adalah kreativitas. Ia adalah awal, proses dan akhir dari segala sesuatu.

Puisi berikut kiranya bisa memberikan gambaran yang mencerahkan. Ia lahir dari tangan Ravi Shankar, seorang Master Yoga dari India.

Ia juga dikenal sebagai aktivis perdamaian. Mari kita simak bersama.

Cukup hanya hadir disini dan saat ini

Sukacita yang sejati berada melampaui identitas

Istirahat yang sejati berada melampaui semua keinginan

Cinta yang dewasa adalah merasakan kesatuan

Tenanglah, dan hadir sepenuhnya disini dan saat ini

Segala peristiwa itu sementara

Belajarlah darinya, dan jadilah bebas…

Cukup hanya hadir disini dan saat ini

Hadir disini dan saat ini, inilah salah satu kebijaksanaan tertinggi. Kita terlalu cerdas, sehingga pikiran cenderung lari ke masa lalu, atau mencemaskan masa depan.

Ini yang membuat hidup menjadi berat. Belajar untuk hadir disini dan saat ini adalah salah kemampuan terpenting untuk hidup sehat di masa penuh krisis, seperti sekarang ini.

Sukacita yang sejati berada melampaui identitas

Apakah kita sama dengan identitas sosial kita? Suku, ras, agama dan kelompok bisa dengan mudah berganti.

Bahkan, gender pun juga amat mudah diganti sekarang ini. Jika kita sadar akan hal ini, maka kita bisa melampaui kelekatan pada identitas sosial kita.

Kita akan menemukan kebebasan yang melegakan, sekaligus terbuka pada berbagai perbedaan. Kita akan menjadi manusia yang toleran.

Kita juga akan menemukan, siapa diri kita sebenarnya. Ia berada sebelum semua identitas sosial yang ada, yakni kesadaran murni itu sendiri.

Dengan menyentuh itu, kita akan menemukan sukacita tanpa syarat. Kebahagiaan kita tidak lagi tergantung pada benda-benda ataupun peristiwa yang ada di sekitar kita.

Istirahat yang sejati berada melampaui semua keinginan

Seringkali, kita disiksa oleh pikiran kita sendiri. Pikiran menginginkan sesuatu, dan kita terus melekatinya, sehingga membuat kita tegang dan menderita.

Coba lepaskan keinginan yang ada. Puaslah dengan apa yang ada disini dan saat ini.

Tegangan batin akan menurun, dan kita bisa sungguh mengistirahatkan batin disini dan saat ini. Ini tentunya amat berguna untuk mereka yang sulit tidur, karena pikiran maupun keinginan yang meluap-lupa di dalam diri.

Keinginan bukanlah sesuatu yang jahat. Hidup juga perlu untuk memiliki keinginan.

Namun, apakah keinginan kita itu masuk akal? Apakah kita terlalu memaksakan keadaan?

Coba jawab dua pertanyaan ini dengan jernih. Hidup kita akan jauh lebih bebas dan tenang, jika tidak dirongrong oleh keinginan-keinginan membara yang tak masuk akal, begitu kata Buddha Gautama.

Cinta yang dewasa adalah merasakan kesatuan

Ah, tentang cinta, siapa yang tak ikut membara? Jutaan lagu, puisi, buku dan film diciptakan atas nama cinta.

Namun, kita semua tahu, cinta tak selalu berakhir bahagia. Derita paling besar dalam hidup muncul dari cinta yang kandas oleh peristiwa.

Mungkin, pemahaman cinta kita yang salah. Kita mengira, cinta itu menguasai dan membelenggu.

Akibatnya, cinta pun berubah menjadi duka dan derita. Ia mencekik, dan bahkan membunuh.

Sesungguhnya, dasar cinta bukanlah perasaan memiliki, tetapi kesepakatan yang berpijak pada kesatuan. Aku dan kamu tidaklah berbeda.

Kita adalah satu dan sama. Perbedaan hanya setipis kulit manusia yang rapuh tertelan waktu dan peristiwa.

Cinta yang berpijak pada rasa kesatuan adalah cinta yang siap berbagi. Ia tidak menuntut, apalagi mencekik.

Hubungan cinta adalah sebuah kesempatan untuk berbagi apa yang kita punya. Ia bukanlah kesempatan untuk menghisap kebahagiaan dari hidup satu sama lain.

Tenanglah, dan hadir sepenuhnya disini dan saat ini

Maka, kita perlu untuk terus kembali disini dan saat ini. Gunakan panca indera kita untuk sungguh menyadari, apa yang ada di sekitar kita.

Perhatikan napas yang masuk dan keluar. Rasakan angin yang melewati kulit. Dengarkan suara sekitar. Semua dilakukan tanpa penilaian, tanpa analisis.

„Saat ini“ menjadi jangkar bagi kita untuk selalu berpijak pada kebenaran. „Saat ini“ melindungi kita dari penyesalan atas masa lalu, maupun kecemasan atas masa depan.

„Saat ini“ adalah rumah kita. Dimanapun kita berada, cobalah selalu ingat untuk pulang „disini dan saat ini“.

Segala peristiwa itu sementara

Inilah hukum abadi kehidupan. Tak ada yang kekal di alam semesta ini.

Segala yang lahir haruslah mati. Segala yang tercipta haruslah pergi suatu saat nanti.

Ini juga merupakan salah satu pemahaman terpenting di dalam ajaran Buddha. Derita dan bahagia yang kita rasakan pun akan berlalu.

Ketika keadaan sulit, ingatlah, bahwa ini pun akan berlalu. Ketika keadaan membahagiakan, ingatlah, bahwa ini pun juga akan berubah.

Kita lalu memperoleh kebebasan dari derita dan bahagia. Inilah kebebasan yang melegakan hati, dan membahagiakan diri.

Belajarlah darinya, dan jadilah bebas…

Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi. Penyesalan adalah hal sia-sia yang menyesakkan hati.

Apapun yang terjadi, kita hanya perlu bertanya, apa yang bisa dipelajari? Kita pun akan terus berkembang dari setiap peristiwa yang kita alami.

Bagaimanapun juga, hidup hanyalah seperti mimpi. Ia adalah tarian cahaya dan bayangan yang seolah menghasilkan materi.

Puluhan tahun berlalu dalam sekejap mata. Tak ada yang bisa digenggam oleh jemari yang rapuh tak berdaya.

Maka, menarilah. Tersenyumlah. Semua ini adalah lawakan semesta semata…


CERIA di Hadapan Bencana

$
0
0

Born to be wild" by Joerg Peter Hamann, Landscapes: Sea/Ocean, Emotions: Joy,  Painting

Oleh Reza A.A Wattimena

Bencana bukanlah hal baru di dalam hidup manusia. Bencana juga bukan hal baru bagi bumi ini.

Sebenarnya, tidak ada yang disebut bencana. Itu hanyalah konsep yang dibuat oleh manusia.

Bumi hanya bergerak dan berubah. Ia hanya mengikuti hukum-hukum alam sebagaimana adanya.

Bumi dan Kepunahan Massal

Bumi sendiri sudah mengalami lima bencana besar, atau apa yang disebut sebagai kepunahan massal. Yang pertama terjadi pada 440 juta tahun yang lalu, dan yang terakhir terjadi pada 65 juta tahun yang lalu.

Sekitar 500 juta tahun terakhir, 99% spesies yang pernah hidup di bumi sudah punah. Dari abu kehancuran yang ada, spesies baru lahir, dan bertumbuh.

Sekitar 65 juta tahun yang lalu, sebuah asteroid raksasa menghantam perairan Meksiko dengan kecepatan 73.000 km per jam. Hasilnya adalah lubang besar yang melepaskan debu dan sulfur ke langit, sehingga seluruh dunia menjadi gelap dan dingin. (Greshko, 2019)

Ini adalah awal dari kehancuran massal yang kelima, yang menghancurkan dinosaurus pada masa itu. Dari puing-puing kehancuran yang ada, burung dan mamalia berkembang, serta menjadi manusia jutaan tahun kemudian melalui proses evolusi.

Bencana selalu bergandengan dengan kehidupan. Kehancuran selalu bergandengan dengan penciptaan.

Maka, bencana bukanlah berita baru. Kita hanya perlu memperluas wawasan, sehingga bisa menanggapinya secara tenang dan jernih.

Menyingkapi dengan Jernih

Bagaimana menyingkapi bencana dengan jernih? Inilah pertanyaan terpenting yang mesti kita jawab sekarang ini, terutama menanggapi kegagalan pemerintah di dalam menangai pandemi COVID 19 di 2021 ini.

Kunci menanggapi bencana bukan semata kecerdasan, tetapi kesadaran. Ini berarti menyadari diri kita sebagai kesadaran murni yang melingkupi alam semesta.

Diri kita yang asli berada sebelum identitas sosial. Ia satu dan sama dengan seluruh alam semesta.

Saat ke saat, kesadaran semacam ini perlu dirawat. Ia adalah keadaan batin alami (original and natural state of mind) kita sebagai manusia.

CERIA

Saya menyebutnya sebagai CERIA, yakni constantly endlessly rest in awareness. Dalam bahasa Indonesia: selalu tanpa henti beristirahat dalam kesadaran.

Ketenangan dan kedamaian batin akan muncul. Batin kita melampaui derita dan bahagia yang biasa dialami manusia.

Kejernihan pun akan muncul. Kita akan bisa melihat tantangan sebagaimana adanya, tanpa rasa takut ataupun cemas berlebihan.

Kita perlu terus memelihara CERIA ini. Jika gagal, dan hanyut dalam pikiran maupun emosi, kita hanya perlu kembali ke saat ini lewat napas, suara, rasa ataupun mantra yang kita punya. Ini harus dilatih seumur hidup, tanpa henti.

Kejernihan CERIA ini adalah inti dari segala aliran spiritual dunia. Ia bisa disebut juga sebagai pencerahan, atau pembebasan.

Pengalaman Langsung

Saat ke saat, semua pengalaman hidup manusia dialami secara langsung. Tidak ada lagi penilaian baik buruk, benar salah, suka atau tidak suka.

Semua dialami sebagaimana adanya dengan penerimaan tanpa syarat. Hidup pun menjadi ringan dari saat ke saat, karena tidak dibebani oleh penilaian yang berlebihan.

Kita lalu bisa bertindak sesuai dengan keadaan. Inilah kebijaksanaan yang sesungguhnya, yakni kebijaksanaan yang lahir dari batin yang alami, bukan dari moral tradisional yang sudah ketinggalan jaman.

Kita lalu menjadi manusia tercerahkan yang terlibat sepenuhnya dengan pergulatan dunia. Ada waktunya bersikap keras dan marah, serta ada waktunya bersikap lembut dan sabar. Semua pada waktunya.

Menyingkapi Kegagalan Pemerintah

Di Indonesia, pandemi adalah bagian dari bencana. Ia tidak menyebabkan kepunahan massal.

Ia hanya menciptakan rasa takut dan kemiskinan besar, akibat kebijakan pemerintahan Indonesia yang kacau dan merusak. Pandemi hanya perlu dilihat sebagaimana adanya, dan tidak ditanggapi berlebihan, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Yang sakit diobati sesuai gejala. Yang tidak sakit dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan. Jangan berlebihan, misalnya dengan menutup transportasi, melarang orang bekerja, mengancam rakyat, meneror rakyat dan mempermiskin rakyat.

Kebijakan-kebijakan semacam itu hanya akan membuat rakyat marah. Jika ini terus terjadi, rakyat akan protes.

Jalan-jalan demokratis yang damai akan ditempuh untuk menyalurkan protes. Namun, jika ini tetap didiamkan, rakyat akan bergerak melawan.

Revolusi berdarah bisa terjadi. Jangan sampai kita bergerak ke titik ini.

Maka, mari belajar untuk CERIA setiap saat, supaya kita menemukan kejernihan di dalam hidup ini, dan bisa menanggapi berbagai bencana dengan jernih serta cerdas. Justru di tengah bencana yang mencekik jiwa, kita perlu semakin CERIA.

Jangan ditunda lagi.

Zen untuk Para Teroris Bernapaskan Agama

$
0
0

1000+ images about Strange Art on Pinterest | Vladimir kush, An eye and  Surrealism art | Street art love, Weird art, ArtOleh Reza A.A Wattimena

Abad 21 dipenuhi dengan aksi terorisme di berbagai tempat. Indonesia juga sudah cukup sering mengalaminya. Aksi teror adalah aksi kekerasan untuk menyebarkan rasa takut dan perpecahan di dalam masyarakat. Kerusakan dan derita yang diciptakannya amatlah besar.

Agama juga kerap menjadi dasarnya. Berulang kali Presiden Jokowi berusaha menyangkalnya. Namun, data dan fakta tak bisa diabaikan. Pemahaman agama yang sempit dan sesat kerap menjadi dasar bagi aksi teror di abad 21, termasuk di Indonesia.

Akar Masalah

Masalahnya terletak pada pola pendidikan agama yang salah. Agama dianggap sebagai kebenaran mutlak. Pertanyaan dan perbedaan pendapat disingkirkan. Agama menjadi ideologi tertutup yang membuat mata buta dan nurani menjadi cacat.

Pendidikan agama yang salah menciptakan identitas yang terbatas. Orang melihat dirinya sebagai umat beragama tertentu. Ikatan kelompok lain melemah, bahkan dianggap tiada. Identitas diri menjadi sempit, dan tak sejalan dengan kenyataan hidup sebagaimana adanya.

Tak hanya sempit, identitas agama pun menjadi narsis. Ia merasa, bahwa agamanya paling hebat, walaupun semua data menunjukkan sebaliknya. Ia merasa, agamanya bisa menyelamatkan dunia, walaupun semua data juga menunjukkan sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai identitas agama yang narsis dan megalomaniak. Ia merasa hebat, walaupun kenyataannya, agama yang sempit itu terus merusak kedamaian hidup bersama.

Di Indonesia, agama juga kerap kali dipergunakan untuk kepentingan politik busuk. Pemahaman agama menjadi sangat dangkal, dan bahkan membenarkan kekerasan, seperti aksi terorisme bernapaskan agama yang sering terjadi di Indonesia. Pemerintah sudah lama tahu akan hal ini. Namun, karena berbagai alasan, pembiaran terus saja dilakukan.

Arti Penting Zen

Di dalam keadaan semacam ini, kehadiran spiritualitas amatlah dibutuhkan. Pada hemat saya, dari semua bentuk spiritualitas yang ada, Zen (arti harafiah: meditasi) adalah yang paling sederhana. Ia langsung menusuk ke inti kehidupan, tanpa banyak terjebak pada ritual maupun doa-doa yang tak bermakna. Ia bersifat spontan, langsung dan membangunkan orang dari keterlenaan.

Zen hendak membangunkan kita dari keterlenaan tentang identitas. Identitas sejati kita adalah diri kita yang sejati. Ia berada sebelum pikiran dan emosi muncul. Ia jernih dan memberikan kedamaian dari saat ke saat.

Diri sejati kita bisa disebut sebagai kesadaran murni. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Ia berada sebelum semua identitas sosial diberikan. Ia berada sebelum agama.

Ketika mendengar suara, cukup sadari ada suara. Ketika merasa dingin atau panas, cukup sadari ada rasa di kulit. Ketika emosi meluap, cukup sadari keberadaan emosi tersebut. Ketika ada pikiran menyakitkan, cukup sadari keberadaan pikiran itu. Ini dilatih terus, tanpa henti.

Ketika gagal, cukup sadari, lalu coba lagi. Ketika berhasil, cukup sadari. Ketika berjalan, cukup sadari sentuhan kaki ke tanah. “Cukup sadari” menjadi semboyan hidup yang membangunkan dari saat ke saat.

Kesadaran lalu menjadi teman sejati. Ia adalah diri kita yang sebenarnya. Kita lebih tenang dan jernih menyingkapi berbagai keadaan. Kita menjadi hidup seutuhnya.

Di titik ini, identitas kita menjadi seluas semesta. Kita melihat diri kita sama dengan semua mahluk di alam semesta. Identitas sosial menjadi relatif. Ia dipergunakan seperlunya saja.

Tidak ada lagi identitas sempit yang narsis dan megalomaniak. Tidak ada lagi pemahaman agama yang sempit dan penuh kekerasan. Tidak ada lagi perasaan lebih tinggi ataupun lebih mulia dari manusia ataupun mahluk hidup lainnya. Yang ada hanya kejernihan dari saat ke saat.

Dari kejernihan, pertimbangan akal sehat dan nurani yang jernih bisa dilakukan. Keputusan akan lebih sesuai dengan keadaan yang nyata. Kepentingan diri pun melemah, sehingga pertimbangan menjadi semakin terbuka untuk semua mahluk.  Saat ke saat, ini perlu dilatih terus.

Melampaui Agama

Zen itu melampaui agama. Ia tidak terkait dengan iman terhadap agama apapun. Ia adalah jalan untuk sampai pada pencerahan dan pembebasan. Ia menjadi alat anti terorisme yang paling jitu, asal diterapkan sesuai dengan kaidahnya.

Maka, setiap agama harus mendalami Zen. Hanya dengan begitu, orang-orang yang beragama bisa menyentuh inti spiritualitas terdalam kehidupan. Kejernihan dan kedamaian adalah buahnya. Terorisme bernapaskan agama pun bisa dilenyapkan dari muka bumi ini. Jangan ditunda lagi.

Gambar dari Vladimir kush

CERIA di Hadapan Bencana

$
0
0

Born to be wild" by Joerg Peter Hamann, Landscapes: Sea/Ocean, Emotions: Joy,  Painting

Oleh Reza A.A Wattimena

Bencana bukanlah hal baru di dalam hidup manusia. Bencana juga bukan hal baru bagi bumi ini.

Sebenarnya, tidak ada yang disebut bencana. Itu hanyalah konsep yang dibuat oleh manusia.

Bumi hanya bergerak dan berubah. Ia hanya mengikuti hukum-hukum alam sebagaimana adanya.

Bumi dan Kepunahan Massal

Bumi sendiri sudah mengalami lima bencana besar, atau apa yang disebut sebagai kepunahan massal. Yang pertama terjadi pada 440 juta tahun yang lalu, dan yang terakhir terjadi pada 65 juta tahun yang lalu.

Sekitar 500 juta tahun terakhir, 99% spesies yang pernah hidup di bumi sudah punah. Dari abu kehancuran yang ada, spesies baru lahir, dan bertumbuh.

Sekitar 65 juta tahun yang lalu, sebuah asteroid raksasa menghantam perairan Meksiko dengan kecepatan 73.000 km per jam. Hasilnya adalah lubang besar yang melepaskan debu dan sulfur ke langit, sehingga seluruh dunia menjadi gelap dan dingin. (Greshko, 2019)

Ini adalah awal dari kehancuran massal yang kelima, yang menghancurkan dinosaurus pada masa itu. Dari puing-puing kehancuran yang ada, burung dan mamalia berkembang, serta menjadi manusia jutaan tahun kemudian melalui proses evolusi.

Bencana selalu bergandengan dengan kehidupan. Kehancuran selalu bergandengan dengan penciptaan.

Maka, bencana bukanlah berita baru. Kita hanya perlu memperluas wawasan, sehingga bisa menanggapinya secara tenang dan jernih.

Menyingkapi dengan Jernih

Bagaimana menyingkapi bencana dengan jernih? Inilah pertanyaan terpenting yang mesti kita jawab sekarang ini, terutama menanggapi kegagalan pemerintah di dalam menangai pandemi COVID 19 di 2021 ini.

Kunci menanggapi bencana bukan semata kecerdasan, tetapi kesadaran. Ini berarti menyadari diri kita sebagai kesadaran murni yang melingkupi alam semesta.

Diri kita yang asli berada sebelum identitas sosial. Ia satu dan sama dengan seluruh alam semesta.

Saat ke saat, kesadaran semacam ini perlu dirawat. Ia adalah keadaan batin alami (original and natural state of mind) kita sebagai manusia.

CERIA

Saya menyebutnya sebagai CERIA, yakni constantly endlessly rest in awareness. Dalam bahasa Indonesia: selalu tanpa henti beristirahat dalam kesadaran.

Ketenangan dan kedamaian batin akan muncul. Batin kita melampaui derita dan bahagia yang biasa dialami manusia.

Kejernihan pun akan muncul. Kita akan bisa melihat tantangan sebagaimana adanya, tanpa rasa takut ataupun cemas berlebihan.

Kita perlu terus memelihara CERIA ini. Jika gagal, dan hanyut dalam pikiran maupun emosi, kita hanya perlu kembali ke saat ini lewat napas, suara, rasa ataupun mantra yang kita punya. Ini harus dilatih seumur hidup, tanpa henti.

Kejernihan CERIA ini adalah inti dari segala aliran spiritual dunia. Ia bisa disebut juga sebagai pencerahan, atau pembebasan.

Pengalaman Langsung

Saat ke saat, semua pengalaman hidup manusia dialami secara langsung. Tidak ada lagi penilaian baik buruk, benar salah, suka atau tidak suka.

Semua dialami sebagaimana adanya dengan penerimaan tanpa syarat. Hidup pun menjadi ringan dari saat ke saat, karena tidak dibebani oleh penilaian yang berlebihan.

Kita lalu bisa bertindak sesuai dengan keadaan. Inilah kebijaksanaan yang sesungguhnya, yakni kebijaksanaan yang lahir dari batin yang alami, bukan dari moral tradisional yang sudah ketinggalan jaman.

Kita lalu menjadi manusia tercerahkan yang terlibat sepenuhnya dengan pergulatan dunia. Ada waktunya bersikap keras dan marah, serta ada waktunya bersikap lembut dan sabar. Semua pada waktunya.

Menyingkapi Kegagalan Pemerintah

Di Indonesia, pandemi adalah bagian dari bencana. Ia tidak menyebabkan kepunahan massal.

Ia hanya menciptakan rasa takut dan kemiskinan besar, akibat kebijakan pemerintahan Indonesia yang kacau dan merusak. Pandemi hanya perlu dilihat sebagaimana adanya, dan tidak ditanggapi berlebihan, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Yang sakit diobati sesuai gejala. Yang tidak sakit dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan. Jangan berlebihan, misalnya dengan menutup transportasi, melarang orang bekerja, mengancam rakyat, meneror rakyat dan mempermiskin rakyat.

Kebijakan-kebijakan semacam itu hanya akan membuat rakyat marah. Jika ini terus terjadi, rakyat akan protes.

Jalan-jalan demokratis yang damai akan ditempuh untuk menyalurkan protes. Namun, jika ini tetap didiamkan, rakyat akan bergerak melawan.

Revolusi berdarah bisa terjadi. Jangan sampai kita bergerak ke titik ini.

Maka, mari belajar untuk CERIA setiap saat, supaya kita menemukan kejernihan di dalam hidup ini, dan bisa menanggapi berbagai bencana dengan jernih serta cerdas. Justru di tengah bencana yang mencekik jiwa, kita perlu semakin CERIA.

Jangan ditunda lagi.

Cermin, Cangkir, Langit dan Laut

$
0
0

Untold Tales of Surreal Sky Russia based artist... - TumbexOleh Reza A.A Wattimena

Diri kita yang sebenarnya itu selalu damai, dan selalu berada dalam sukacita. Namun, pikiran dan emosi menutupinya, sehingga kita menderita. Karena sudah terjadi bertahun-tahun, maka pikiran dan emosi itu semakin tebal. Ia semakin sulit untuk dilihat secara nyata sebagai ilusi yang datang dan pergi.

Di dalam tradisi kontemplatif-meditatif, ada banyak cara untuk menjelaskan hal ini. Salah satunya dengan menggunakan analogi. Pemahaman ini, bahwa diri kita yang asli itu selalu damai dan bersukacita, tidak datang dari keyakinan buta. Ia datang dari pengalaman yang bisa diuji langsung.

Bagaikan Cermin

Jati diri asli kita itu seperti cermin. Ia siap memantulkan semua obyek, tanpa kecuali. Ia juga selalu bersih kembali, ketika obyek itu pergi. Ia selalu kembali seperti keadaan semula.

Obyek cermin itu seperti pikiran dan emosi kita. Mereka datang dan pergi. Mereka bisa begitu besar dan menyeramkan, atau kecil seolah tak berarti. Namun, mereka pun akan berlalu.

Kita adalah cermin. Pikiran dan emosi hanya obyek-obyek yang berganti di depan cermin. Tetaplah berada sebagai cermin. Apapun yang terjadi, kita akan menemukan kedamaian dan suka cita yang dibutuhkan.

Bagaikan Cangkir

Jati diri kita yang asli juga seperti cangkir. Ia bisa diisi apapun. Ia bisa diisi air, kopi, teh dan sebagainya. Namun, setelah dicuci, ia kembali seperti semula.

Air, kopi, teh dan sebagainya itu bagaikan pikiran dan emosi kita. Mereka berubah tanpa henti. Mereka bisa begitu pekat, atau tanpa rasa. Namun, semua itu hanya sementara.

Kita bagaikan cangkir. Semua pikiran dan emosi yang datang hanyalah isi dari cangkir yang terus berganti. Maka, kita perlu sungguh menyadari kesadaran kita yang seperti cangkir ini. Di tengah suasana hati yang terus berubah, akibat keadaan di luar yang juga terus berubah, kita bisa menemukan kedamaian dan stabilitas batin.

Bagaikan Langit

Jati diri kita yang sejati itu juga seperti langit. Terkadang, ia tertutup awan gelap. Terkadang, ada sedikit awan. Terkadang juga, ia biru jernih.

Semua awan, dan keadaan cuaca lainnya, itu seperti perubahan di dalam batin kita. Awan gelap bagaikan emosi yang jelek, seperti marah dan takut. Awan terang bagaikan emosi yang menyenangkan, seperti ketika mendapat rejeki. Apapun itu, awan juga adalah sesuatu yang sangat sementara.

Kita yang asli adalah langit itu sendiri. Semua keadaan batin itu seperti awan dan cuaca yang terus berganti. Kita perlu terus melatih batin kita, supaya bisa mengalami ini secara utuh. Hanya dengan begitu, kita bisa menemukan kedamaian di tengah hidup yang terus berubah.

Bagaikan Laut

Laut hanya berombak di pinggiran. Di tengah, ia tenang dan stabil. Begitu pula batin kita. Riak pikiran dan emosi hanya ada di pikiran. Inti diri kita yang asli selalu tenang dan stabil.

Laut juga memeluk semua. Ia menerima semua. Tak ada penolakan sedikitpun. Batin kita yang sejati pun seperti itu. Ia bisa menjadi tempat untuk semua jenis pikiran maupun emosi.

Kemarahan itu hanya seperti badai. Ia datang, dan pergi beberapa saat kemudian. Kegembiraan pun serupa. Laut tetap ada, dan siap menampung semua jenis cuaca yang ada. Batin kita tetap sadar, dan siap menampung semua keadaan batin yang terjadi.

Diri Kita yang Asli

Diri kita yang asli adalah Buddha itu sendiri. Buddha bukanlah manusia. Ia adalah ciri batin yang selalu tenang dan stabil. Kita semua memilikinya. Artinya, sejatinya, kita semua adalah Buddha.

Batin Buddha menerima semua emosi yang ada. Ia juga menerima semua pikiran yang datang dan pergi. Ia mengamati, namun tak hanyut di dalamnya. Ia menjadi pengamat yang lembut.

Obyek-obyek batin, seperti pikiran dan emosi, cukup diamati dengan lembut. Ia cukup diamati dan disadari dengan penuh kasih. Ini seperti ibu yang sedang melihat anaknya menangis. Ia berusaha dengan lembut mendekati dan menenangkannya.

Segala hal yang ada di batin kita, baik itu jelek maupun baik, adalah ciri kemanusiaan kita. Ia adalah tanda, bahwa kita masih hidup. Jangan berharap, supaya pikiran dan emosi itu selalu indah. Cukuplah berlatih untuk mengamati dan menyadari semua bentuk emosi maupun pikiran yang datang dengan penuh kelembutan dan welas asih.

Ini merupakan hal paling penting yang perlu kita kuasai. Yang lain hanya soal bertahan hidup. Jika kematian tiba, biasanya didahului dengan rasa sakit, cukuplah amati dan sadari semua itu dengan lembut serta penuh welas asih. Kesadaran yang murni, damai dan stabil itulah pembebasan batin yang sesungguhnya.

Jangan ditunda lagi.

Melukis Cover Buku Terbaru: Urban Zen, Tawaran Kejernihan untuk Manusia Modern

$
0
0

May be an image of one or more people and text that says "KARANIYA CIPTA KREASI VISUAL Kami Penerbit Karaniya membutuhkan daya kreatifmu yang unik untuk sampul buku. JUDUL :URBAN ZEN SUB JUDUL: TAWARAN KEJERNIHAN UNTUK MANUSIA MODERN PENULIS :REZA A.A WATTIMENA SINOPSIS: Pencerahan berarti orang menyadari siapa diri mereka yang sebenarnya. Diri yang asli itu terletak sebelum pikiran dan emosi muncul. la terletak sebelum nama dan kata diucapkan. Jati diri manusia yang asli itu jernih dan kosong, seperti ruang yang penuh dengan kemungkinan. KIRIM: Email: karaniya@cbn.net.id Batas akhir: 16 September 2021 WA Karaniya (Hadi): 081-315-315-699 www.karaniya.com f penerbitkaraniya penerbitkaraniya 0813-1531-5699"

Cipta Kreasi Visual

Kami @penerbitkaraniya membutuhkan daya kreatifmu yang unik untuk sampul buku @rezaantonius!

Buku : Urban Zen

Sub Judul : Tawaran Kejernihan untuk Manusia Modern

Penulis : Reza A.A Wattimena

Sinopsis:

Zen adalah jalan pembebasan dari penderitaan. Inilah inti utama dari semua jalan spiritual di dunia ini. Zen juga adalah jalan hidup meditatif. Ia adalah sekumpulan metode dan pemahaman untuk melepaskan orang dari cengkeraman penderitaan kehidupan.

Penderitaan muncul karena orang mengira bahwa pikiran dan emosinya adalah kebenaran. Ia dipenjara oleh pikiran dan emosinya sendiri. Penderitaan yang muncul lalu menjadi sangat berat. Tak jarang orang terjebak di dalam berbagai penyakit mental, bahkan melakukan bunuh diri.

Zen mengajak orang untuk memahami inti dari pikiran dan emosi yang mereka punya. Keduanya adalah kosong, sementara, dan bersifat ilusif. Keduanya, yakni pikiran dan emosi, bukanlah kebenaran. Keduanya bukanlah kenyataan.

Jika kita bukanlah pikiran ataupun emosi kita, lalu siapa kita? Inilah pertanyaan terpenting di dalam hidup manusia. Zen mengajarkan bahwa diri kita yang asli berada sebelum semua pikiran dan emosi yang muncul. Namanya beragam, yakni kesadaran murni, jati diri sejati, hakikat Kebuddhaan, dan sebagainya. Namun, sesungguhnya ia berada sebelum nama, sebelum konsep.

Perhatikan Detail Ini:

Ukuran: (12.5 x 18.5 cm)

Format: CMYK (PSD)

Ada hadiah istimewa bagi yang beruntung.

Kirim materimu: karaniya@cbn.net.id

Batas akhir: 16 September 2021

WA Karaniya (Hadi): 081-315-315-699

Kriteria:

  1. Kirim desain buku sampul depan.
  2. Cantumkan akun Instagrammu/facebook.
  3. Setiap orang, maksimal mengirimkan tiga desain.
  4. Desain yang dikirim menjadi milik Karaniya dan Karaniya berhak merubah desain secara minor.
  5. Namamu akan dikukuhkan di dalam bukunya.

Kami tunggu karya terbaikmu!

Menjadi Anjing, atau Singa?

$
0
0

hybrid lion surrealism Image by ZuleimaOleh Reza A.A Wattimena

PPKM tidak selesai-selesai. September 2021, kebijakan yang menyiksa itu masih berlanjut. Rakyat tersiksa dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Sementara, para wakil rakyat di DPR dan para pemimpin politik hidup nyaman di rumah dinas mereka, dengan gaji pasti setiap bulan dari uang rakyat.

Itu kiranya yang menyiksa pikiran seorang kawan (dan saya juga). Di tengah hampanya kegiatan, pikirannya merantau ke masa lalu. Ia teringat perceraiannya yang berdarah-darah. Itu sudah terjadi belasan tahun lalu, namun terasa baru seperti kemarin terjadi.

Tidak hanya masa lalu yang menyiksanya. Ketidakpastian akan masa depan juga mencekam. Bagaimana menjalankan hidup, jika tidak ada pendapatan pasti? Bagaimana menjalani hidup di negara yang terus memperbodoh dan mempermiskin rakyatnya sendiri?

Dalam kegalauannya tersebut, ia teringat keluarga di desa. Ia malu pulang, karena tak ada biaya, dan hanya akan merepotkan mereka. Kecemasan pun semakin tinggi. Ia tidak hanya cemas, tetapi juga rindu kampung halaman.

Gejala fisik pun mulai tampil. Jantung berdetak cepat dan keras. Keringat dingin. Sakit di kepala menusuk. Apakah ia mengalami serangan jantung? Atau mungkin serangan panik?

Inilah cerita yang banyak sekali terjadi di Indonesia. PPKM tanpa henti, tanpa kebijakan ekonomi dan bantuan sosial yang memadai dari pemerintah, adalah pembunuhan terhadap rakyat. Banyak rakyat murka, namun tetap tanpa daya. Di dalam kemiskinan dan kesepian, serta jauh dari kampung halaman yang dirindukan, kawan saya semakin hanyut dalam pusaran penderitaan.

Menjadi Anjing

Anjing adalah sahabat manusia. Ia begitu cantik. Ia begitu setia. Dalam banyak hal, anjing lebih sempurna daripada manusia.

Ketika bermain lempar bola, anjing mengejar bolanya. Itu terus dilakukannya secara otomatis. Dilempar apapun, ia akan mengejarnya. Itu pola perilaku anjing yang hampir tak dapat diubah.

Kerap kali, kita pun sama seperti anjing. Kita mengejar pikiran kita. Pikiran kita ke arah masa lalu, kita mengejarnya. Pikiran ke masa depan, kita pun mengejarnya. Kita mengejar ilusi, lalu lelah sendiri.

Ada benda yang bagus, kita mengejarnya. Ada benda yang jelek, kita berlari menjauhinya. Batin kita terus berlari. Ia tidak pernah tertanam tenang disini dan saat ini.

Ingatan pun kita kejar. Kita merasa, itu nyata. Trauma, kita ikuti. Kecemasan dan ketakutan, kita ikuti. Hidup kita terombang ambing oleh gejolak batin kita sendiri.

Padahal, bentuk dan pikiran itu ilusi. Itu tidak ada di dalam kenyataan. Segala hal di dunia nyata adalah ciptaan batin kita sendiri. Fisika modern dan penelitian-penelitian neurosains sudah sampai pada kesimpulan ini.

Kawan saya, dan juga terkadang saya, sama seperti anjing. Kita berdua mengejar pikiran kita. Kita berdua mengejar benda-benda material. Padahal, itu semua ilusi. Ia terus berubah, dan tak punya inti nyata pada dirinya sendiri.

Kita seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri. Kita capek. Kita frustasi dan menderita. Juga tak ada hasil yang didapat.

Menjadi Singa

Apa yang terjadi, jika kita melempar tongkat di hadapan singa? Dia akan menyerang kita. Singa tidak mengejar tongkat. Ia mengejar sang pelempar tongkat.

Ia mengejar sumber. Ia tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berubah. Ia mencari asal muasal dari lemparan. Kita perlu belajar dari singa.

Kita tidak perlu mengejar benda-benda material atau pikiran yang muncul. Kita tidak perlu mengejar ingatan yang ada. Sebaliknya, kita justru perlu mencari sumber dari pikiran dan ingatan tersebut. Disini, kita beralih dari ilusi menuju kenyataan.

Ketika kita mencari sumber dari pikiran dan ingatan, kita akan berjumpa dengan kesadaran. Kita akan lepas dari ilusi. Kita akan bangun pada kenyataan sebagaimana adanya. Kita akan bangun pada kebenaran disini dan saat ini itu sendiri.

Segalanya adalah ciptaan kesadaran. Warna, bau dan bentuk adalah ciptaan kesadaran. Itu semua terbentuk dalam mekanisme yang kompleks dengan otak maupun struktur saraf manusia. Maka, yang perlu disentuh bukanlah pikiran, ingatan ataupun benda-benda material, tetapi kesadaran yang menjadi sumber segalanya tersebut.

Kesadaran itu adalah kehidupan. Ia adalah pencipta dari segala sesuatu. Ia bersifat kosong, namun sadar sepenuhnya. Ia juga tidak memiliki batas.

Kita perlu untuk tetap disana. Saat ke saat, arahkan perhatian kita ke sumber dari segala sesuatu di dalam diri. Jangan mengejar benda-benda material. Jangan mengejar pikiran ataupun ingatan.

Kita pun hidup dalam kebenaran. Kita keluar dari ilusi yang kita buat sendiri. Kita lepas juga dari penderitaan yang mencekam. Kita pun mengalami kebebasan yang sesungguhnya.

Mengritisi PPKM

Di masa PPKM, kita diminta menjaga jarak. Kita diminta untuk tetap di rumah. Jika kita belajar dari singa, dan menyentuh sumber dari pikiran maupun ingatan, maka kita akan tenang dengan diri sendiri. Kita tetap merasa damai, walaupun tak banyak kegiatan, dan jauh dari keramaian.

Baru setelah itu, kita bisa cukup jernih melihat keadaan. Kita bisa mulai mengatur strategi untuk bertahan hidup. Kita bisa melakukan kritik terhadap pemerintah yang memperbodoh dan mempermiskin rakyatnya sendiri. Lalu, kita juga bisa berbuat sesuatu untuk menolong orang-orang yang kesulitan.

Kita berhenti meniru perilaku anjing, dan mulai menjadi singa di dalam hidup kita. Jangan ditunda lagi!

Mengembalikan Dharma ke Nusantara

$
0
0

Dharma Painting by EM MODESTO | Saatchi ArtOleh Reza A.A Wattimena

Sekitar 1000 tahun yang lalu, Indonesia adalah rumah ilmu. Beragam orang dari berbagai bangsa datang dan belajar di sini. Tentu saja, waktu itu, belum ada Indonesia. Pada masa itu, Indonesia adalah kumpulan beberapa kerajaan yang memiliki pengaruh politik, budaya maupun ekonomi yang luas.

Bisa dibilang, pada masa itu, Nusantara kita, Indonesia, adalah negara Dharma. Hukum-hukum alam yang abadi diuraikan dengan jelas, dan diterapkan di dalam kehidupan. Manusia mencapai pencerahan moral, spiritual dan intelektual yang mengagumkan. Nusantara kita menjadi magnet bagi para pencari kebijaksanaan.

Dharma bukan hanya soal teori. Ia adalah pandangan hidup yang mesti menjadi laku sehari-hari. Ia tidak hanya melahirkan pemahaman, tetapi juga kebijaksanaan dan kebahagiaan yang sejati. Ia membawa orang sampai pada pembebasan dari derita dan nestapa dunia.

Segalanya Sementara

Namun, Dharma juga menyatakan, bahwa tak ada yang abadi. Keluhuran pun harus berakhir, jika waktunya tiba. Kejahatan pun harus berkembang, ketika saatnya sudah datang. Kerajaan-kerajaan besar nusantara runtuh ditikam perang saudara dan penjajahan selama lebih dari 500 tahun. Nusantara menjadi negara Adharma, yakni negara, dimana kebodohan dan kejahatan merajalela, sampai saat ini.

Pantha Rei, segala sesuatu itu mengalir. Begitu kata Herakleitos, salah seorang pemikir Yunani Kuno. Kebodohan dan kejahatan adalah bagian dari alam. Maka, ia punya hak untuk hidup dan berkembang. Semesta punya tempat untuk semua, termasuk untuk yang dianggap bobrok dan menjijikan.

Namun, di 2021, kita sudah muak dengan kebodohan dan kejahatan. Kita lelah melihat politik yang diisi para koruptor dan kaum radikalis agama. Kita sedih melihat agama diturunkan menjadi alat untuk membenarkan kebodohan dan konflik antar manusia. Di abad 21 ini, terutama di 2021, Indonesia darurat Dharma: kita butuh Dharma sesegera mungkin.

Mengembalikan Dharma ke Nusantara

Unsur terpenting dari Dharma adalah hidup sejalan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Ini kental di dalam tradisi pemikiran Asia, terutama dari India dan Cina. Untuk itu, dua hal menjadi sangat penting, yakni akal sehat serta kejernihan nurani. Manusia Indonesia perlu untuk mengasah akal sehat dan menyimak nuraninya dengan jernih, supaya bisa hidup bersama secara adil dan beradab.

Dua hal kiranya perlu untuk dilakukan. Pertama, pandangan-pandangan Dharma harus disebarkan seluas mungkin. Kita beruntung, karena kita hidup di era perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi. Kita bisa mencari data, dan menyebarkannya dengan segera. Disini, Dharma harus menjadi prioritas utama.

Dua, Dharma bukan hanya teori, melainkan laku hidup. Maka, komunitas berlatih Dharma harus dibuka seluas mungkin. Komunitas-komunitas ini haruslah didukung dengan berbagai cara, supaya bisa menanamkan benih-benih Dharma tidak hanya di nusantara, tetapi juga di seluruh dunia. Benih-benih Dharma adalah melatih kesadaran, mengasah kebijaksaaan, mengembangkan cinta kasih, akal sehat serta nurani yang bersih.

Di tengah negara yang ditikam kebodohan dan kejahatan, tantangan menyebarkan Dharma memang besar. Pun jika bisa dilakukan, buah keberhasilan tidak bisa dipetik segera. Apa yang ditabur sekarang mungkin baru bisa dipetik di generasi ke depan. Namun, disini dan saat ini, kita yang masih hidup harus mengusahakan yang terbaik. Semua demi keselamatan semesta.

Kita harus tetap ingat, bahwa mengembalikan Dharma ke Nusantara adalah tugas yang sulit, namun sangat mulia. Secara pribadi, kita juga harus terus mengembangkan wawasan dan melatih kesadaran dalam payung Dharma. Terkadang, kita gagal, dan hanyut dalam kemarahan maupun kebodohan sesaat. Kita hanya harus kembali ke saat ini, dan mulai kembali, tanpa pernah berhenti.

Semoga Nusantara Indonesia bisa kembali menjadi Rumah Dharma yang membawa damai bagi semua ciptaan yang ada.


Menjilat Madu di atas Pisau Tajam

$
0
0

The Passion of Creation — Octavio Ocampo (1943-) “Kiss of the Sea”...Oleh Reza A.A Wattimena

Makanan enak itu membuat kenyang. Ratusan rasa menari di lidah. Nikmatnya sesaat. Harganya mahal, yakni uang banyak keluar, dan rasa berat di seluruh tubuh, akibat kenyang yang berlebihan.

Berpesta bersama teman tentu menyenangkan. Apalagi, jika kita berpesta semalam suntuk dengan ditemani makanan enak, maupun alkohol. Namun, di pagi hari, ada harga yang harus dibayar. Sakit kepala dan perut mual biasanya akan datang berkunjung.

Gesekan badan dengan kekasih itu menggairahkan. Kenikmatan puncak dari berhubungan badan itu pun dirindukan. Hanya beberapa saat, lalu lelah datang mengetuk. Jika bercinta dilakukan tanpa komitmen dan rasa yang sejati, rasa bersalah juga kerap berkunjung.

Madu Berdarah

Itulah ciri dari kenikmatan badan. Ada harga yang harus dibayar setelahnya. Kerap kali, harga itu sangat mahal, sehingga menggiring kita pada penderitaan. Ini seperti menjilat madu di atas pisau tajam: manis tapi berdarah-darah dan penuh rasa sakit.

Ada kecanduan yang meminta untuk dipenuhi. Jika tidak terpenuhi, penderitaan muncul di batin dan badan. Pola ini sudah terjadi berulang kali. Namun, kita sering lupa, dan jatuh pada lubang yang serupa.

Awalnya adalah keinginan. Jika ia tak terwujud, derita datang. Jika ia terwujud, kerakusan datang. Orang ingin lagi, karena ia sudah kecanduan. Inilah ciri batin yang tak terlatih.

Maka, terwujud atau tidak, keinginan akan bermuara pada kekecewaan. Bahkan, keinginan yang terwujud justru akan berakhir pada penderitaan yang lebih besar. Kita diangkat ke atas, lalu jatuh ke bawah. Deritanya jauh lebih nyata dan bertahan lama.

Kerap kali, gagalnya suatu keinginan adalah berkah besar dalam hidup. Kita terjatuh, namun terhindar dari peluru yang menyerang. Maka, jangan meratapi “kegagalan”. Sayangnya, kita kerap kali tak paham akan hal ini.

Terus Berubah

Masalahnya bukan pada kenikmatan, tetapi pada ciri kenyataan yang selalu berubah. Tak ada yang tetap di alam ini. Apa yang lahir pasti harus mati. Tak ada yang lolos dari hukum abadi ini.

Dulu, hal-hal tertentu membawa nikmat. Setelah beberapa saat, rasa itu pun pergi. Ia menjadi tawar dan hambar. Bahkan, yang nikmat dahulu menjadi jijik di saat ini.

Tak hanya benda yang berubah. Manusia pun berubah. Pikirannya berubah. Seleranya berubah. Apa yang dulu membuatnya nikmat kini sudah lagi menyentuh hatinya.

Mengejar kenikmatan berarti hanyut dalam turun naik kehidupan. Rasanya pasti lelah. Tak jarang, keinginan untuk mengakhiri hidup pun tampil ke depan. Ini kiranya yang menjadi sumber derita manusia jaman kini.

Maka, kedamaian tidak didapatkan dari kenikmatan. Kedamaian dan kebahagiaan sejati lahir mengalami dunia apa adanya. Saat ke saat, semua tampak sebagaimana adanya. Rasa suka atau benci hanya menjadi latar belakang yang tak lagi bermakna.

Seluas Samudera

Kita melebur dengan saat ini. Tak ada lagi “aku” yang terpisah dari “sekitarku”. Saat ini menjadi abadi. Ia memberikan kedamaian yang sejati.

Batin menjadi seperti lautan. Ia tenang sekaligus menampung gemuruh ombak. Ia tetap anggun dan menerima segala. Batin menjadi seluas samudera.

Dari keluasan samudera ini, kita bertindak. Saat-saat, ada keadaan baru muncul. Kita secara spontan menanggapi. Tak kurang, dan tak berlebihan.

Jangan tergoda untuk menjilat madu di atas pisau tajam. Jangan jatuh ke lubang yang sama. Tetap sadar. Tetap terbuka pada segala. Seluas samudera.

Buku Terbaru: Urban Zen, Tawaran Kejernihan untuk Manusia Modern

$
0
0

May be an image of text that says "KARANIYA SEGERA TERBIT Silakan Pesan. KARANIEA SINOPSIS Urban Zen PERIODE OKTOBER TAWARAN KEJERNIHAN UNTUK MANUSIA MODERN Karena batin kita rumit, maka hubungan kita dengan orang lain pun juga menjadi rumit. Keluarga terpecah. Orangtua tak lagi berbicara dengan anaknya. Rumah tangga pecah dan menyisakan trauma serta derita untuk semua anggotanya. REZA A.A WATTIMENA Pencerahan berarti orang menyadari siapa diri mereka yang sebenarnya. YAYASAN KARANIYA NMID :ID2020057206662 70.000 55.000 REKENING: BCA Yayasan Karaniya 335-3032-069 PESAN SEKARANG BEBAS ONGKIR KE SELURUH INDONESIA. Pesan: WA: 081-315-315-699 www.karaniya.com penerbitkaraniya penerbitkaraniya 081-315-315-699"

Zen adalah jalan pembebasan dari penderitaan. Inilah inti utama dari semua jalan spiritual di dunia ini. Zen juga adalah jalan hidup meditatif. Ia adalah sekumpulan metode dan pemahaman untuk melepaskan orang dari cengkeraman penderitaan kehidupan.

Penderitaan muncul karena orang mengira bahwa pikiran dan emosinya adalah kebenaran. Ia dipenjara oleh pikiran dan emosinya sendiri. Penderitaan yang muncul lalu menjadi sangat berat. Tak jarang orang terjebak di dalam berbagai penyakit mental, bahkan melakukan bunuh diri.

Zen mengajak orang untuk memahami inti dari pikiran dan emosi yang mereka punya. Keduanya adalah kosong, sementara, dan bersifat ilusif. Keduanya, yakni pikiran dan emosi, bukanlah kebenaran. Keduanya bukanlah kenyataan.

CERIA di Hadapan Bencana

$
0
0

Born to be wild" by Joerg Peter Hamann, Landscapes: Sea/Ocean, Emotions: Joy,  Painting

Oleh Reza A.A Wattimena

Bencana bukanlah hal baru di dalam hidup manusia. Bencana juga bukan hal baru bagi bumi ini.

Sebenarnya, tidak ada yang disebut bencana. Itu hanyalah konsep yang dibuat oleh manusia.

Bumi hanya bergerak dan berubah. Ia hanya mengikuti hukum-hukum alam sebagaimana adanya.

Bumi dan Kepunahan Massal

Bumi sendiri sudah mengalami lima bencana besar, atau apa yang disebut sebagai kepunahan massal. Yang pertama terjadi pada 440 juta tahun yang lalu, dan yang terakhir terjadi pada 65 juta tahun yang lalu.

Sekitar 500 juta tahun terakhir, 99% spesies yang pernah hidup di bumi sudah punah. Dari abu kehancuran yang ada, spesies baru lahir, dan bertumbuh.

Sekitar 65 juta tahun yang lalu, sebuah asteroid raksasa menghantam perairan Meksiko dengan kecepatan 73.000 km per jam. Hasilnya adalah lubang besar yang melepaskan debu dan sulfur ke langit, sehingga seluruh dunia menjadi gelap dan dingin. (Greshko, 2019)

Ini adalah awal dari kehancuran massal yang kelima, yang menghancurkan dinosaurus pada masa itu. Dari puing-puing kehancuran yang ada, burung dan mamalia berkembang, serta menjadi manusia jutaan tahun kemudian melalui proses evolusi.

Bencana selalu bergandengan dengan kehidupan. Kehancuran selalu bergandengan dengan penciptaan.

Maka, bencana bukanlah berita baru. Kita hanya perlu memperluas wawasan, sehingga bisa menanggapinya secara tenang dan jernih.

Menyingkapi dengan Jernih

Bagaimana menyingkapi bencana dengan jernih? Inilah pertanyaan terpenting yang mesti kita jawab sekarang ini, terutama menanggapi kegagalan pemerintah di dalam menangai pandemi COVID 19 di 2021 ini.

Kunci menanggapi bencana bukan semata kecerdasan, tetapi kesadaran. Ini berarti menyadari diri kita sebagai kesadaran murni yang melingkupi alam semesta.

Diri kita yang asli berada sebelum identitas sosial. Ia satu dan sama dengan seluruh alam semesta.

Saat ke saat, kesadaran semacam ini perlu dirawat. Ia adalah keadaan batin alami (original and natural state of mind) kita sebagai manusia.

CERIA

Saya menyebutnya sebagai CERIA, yakni constantly endlessly rest in awareness. Dalam bahasa Indonesia: selalu tanpa henti beristirahat dalam kesadaran.

Ketenangan dan kedamaian batin akan muncul. Batin kita melampaui derita dan bahagia yang biasa dialami manusia.

Kejernihan pun akan muncul. Kita akan bisa melihat tantangan sebagaimana adanya, tanpa rasa takut ataupun cemas berlebihan.

Kita perlu terus memelihara CERIA ini. Jika gagal, dan hanyut dalam pikiran maupun emosi, kita hanya perlu kembali ke saat ini lewat napas, suara, rasa ataupun mantra yang kita punya. Ini harus dilatih seumur hidup, tanpa henti.

Kejernihan CERIA ini adalah inti dari segala aliran spiritual dunia. Ia bisa disebut juga sebagai pencerahan, atau pembebasan.

Pengalaman Langsung

Saat ke saat, semua pengalaman hidup manusia dialami secara langsung. Tidak ada lagi penilaian baik buruk, benar salah, suka atau tidak suka.

Semua dialami sebagaimana adanya dengan penerimaan tanpa syarat. Hidup pun menjadi ringan dari saat ke saat, karena tidak dibebani oleh penilaian yang berlebihan.

Kita lalu bisa bertindak sesuai dengan keadaan. Inilah kebijaksanaan yang sesungguhnya, yakni kebijaksanaan yang lahir dari batin yang alami, bukan dari moral tradisional yang sudah ketinggalan jaman.

Kita lalu menjadi manusia tercerahkan yang terlibat sepenuhnya dengan pergulatan dunia. Ada waktunya bersikap keras dan marah, serta ada waktunya bersikap lembut dan sabar. Semua pada waktunya.

Menyingkapi Kegagalan Pemerintah

Di Indonesia, pandemi adalah bagian dari bencana. Ia tidak menyebabkan kepunahan massal.

Ia hanya menciptakan rasa takut dan kemiskinan besar, akibat kebijakan pemerintahan Indonesia yang kacau dan merusak. Pandemi hanya perlu dilihat sebagaimana adanya, dan tidak ditanggapi berlebihan, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Yang sakit diobati sesuai gejala. Yang tidak sakit dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan. Jangan berlebihan, misalnya dengan menutup transportasi, melarang orang bekerja, mengancam rakyat, meneror rakyat dan mempermiskin rakyat.

Kebijakan-kebijakan semacam itu hanya akan membuat rakyat marah. Jika ini terus terjadi, rakyat akan protes.

Jalan-jalan demokratis yang damai akan ditempuh untuk menyalurkan protes. Namun, jika ini tetap didiamkan, rakyat akan bergerak melawan.

Revolusi berdarah bisa terjadi. Jangan sampai kita bergerak ke titik ini.

Maka, mari belajar untuk CERIA setiap saat, supaya kita menemukan kejernihan di dalam hidup ini, dan bisa menanggapi berbagai bencana dengan jernih serta cerdas. Justru di tengah bencana yang mencekik jiwa, kita perlu semakin CERIA.

Jangan ditunda lagi.

Lebih dari Sekedar Agama

$
0
0

980 Surreal Zen Photos - Free & Royalty-Free Stock Photos from DreamstimeOleh Reza A.A Wattimena

Sudah beberapa kali saya mendapat pertanyaan, apakah Mas Reza seorang Buddhis? Apakah Zen yang mas dalami adalah sebuah agama? Saya sendiri lahir dari tradisi Gereja Katolik Roma yang kaya dengan tradisi dan filsafat yang sarat rasionalitas. Kini, saya menjadi seorang praktisi Zen di dalam keseharian.

Apakah ajaran Buddha, terutama Zen, adalah sebuah agama? Jawaban saya sederhana, Zen, dan ajaran Buddha secara umum, itu lebih dari sekedar agama. Agama adalah institusi yang berpijak pada kepercayaan tertentu. Ia mengikat (religare) manusia dengan seperangkat aturan yang baku. Tujuan agama adalah menciptakan keteraturan (A-Gama: tanpa kekacauan) di dalam hidup bersama.  

Zen memiliki kedua hal itu. Ada lima sila dasar yang mesti dipatuhi, supaya orang bisa mencapai pencerahan dan pembebasan. Intinya adalah kita tidak boleh menyakiti mahluk hidup dalam bentuk apapun. Dengan seperangkat kode moral tersebut, dan komunitas yang berkembang di sekitarnya, Zen menghadirkan kedamaian di dalam hidup bersama.

Namun, Zen lebih dari sekedar agama. Ia adalah teknologi untuk pembebasan. Ia berisi separangkat metode untuk membawa manusia keluar dari penderitaan yang ia buat sendiri. Akar Zen sudah amat tua, bahkan jauh sebelum  kehidupan Buddha Gautama, dan kini menyebar luas di dunia dalam dialog dengan ilmu pengetahuan modern.

Teknologi Pencerahan

Ada empat hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, sebagai teknologi, Zen, dan ajaran Buddha pada umumnya, bisa dipelajari dan digunakan oleh siapapun. Ia mirip dengan sepeda. Orang beragama bisa menggunakannya, apapun agama yang ia peluk. Orang tak beragama, dan kaum ateis, pun bisa menggunakannya.

Dua, Zen juga tidak memiliki kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Zen terbuka untuk kritik dan perbedaan pendapat. Para master Zen terus mengembangkan metode baru untuk membebaskan manusia dari penderitaan dan kebodohan. Tujuannya tetap satu, yakni membangunkan manusia dari penderitaan yang lahir dari kebodohannya.

Tiga, sama seperti teknologi dan ilmu pengetahuan modern, Zen juga bersifat ekperimental. Ia bisa diuji langsung. Ia tidak perlu iman ataupun keyakinan buta yang memperbodoh manusia. Zen bisa diterapkan, dan langsung dirasakan manfaatnya bagi yang melakukannya.

Empat, Zen juga mencerdaskan orang-orang yang melakukannya. Tujuan Zen adalah pembebasan dan pencerahan. Ia memberikan pengetahuan dan kebijaksanaan tentang cara kerja dunia sebagaimana adanya, termasuk cara kerja pikiran dan batin manusia secara akurat. Dengan pengetahuan ini, orang bisa keluar dari kebodohan dan penderitaan pada saat ini juga.

Tantangan Kita

Namun, sebagai agama dan sekaligus teknologi pembebasan, Zen sulit berkembang di Indonesia. Ada empat tantangan besar. Pertama, orang Indonesia cenderung suka memuja dengan buta. Ia tidak terbiasa berpikir kritis terhadap ucapan ataupun ajaran agama, terutama yang diutarakan oleh orang-orang yang berjubah.

Jika Zen dimutlakkan, ia menjadi berbahaya. Ia akan berubah menjadi seperangkat dogma yang memperbodoh manusia. Tujuan pencerahan dan pembebasan tidak akan tercapai. Zen hanya akan menjadi satu lagi agama kematian yang merusak budaya, menindas perempuan dan merusak kedamaian bersama.

Dua, orang Indonesia juga masih bermental klenik. Mereka ingin menjadi manusia sakti. Mereka ingin memiliki kekuatan-kekuatan supranatural, sehingga bisa hidup sehat lama, kaya selamanya dan berpenampilan rupawan, seringkali dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Ini semua hanya akan berujung pada kerakusan dan penderitaan.

Tiga, bangsa Indonesia juga sudah terlalu lama diracuni oleh agama kematian. Inilah agama yang menindas perempuan, menghancurkan budaya lokal, menganggu kedamaian hidup bersama dan mengembangkan terorisme serta kekerasan. Butuh upaya yang beragam dan panjang untuk melenyapkan pengaruh agama kematian di Indonesia. Semakin banyak orang yang mendalami Zen sebagai teknologi pembebasan, maka pengaruh agama kematian bisa dikikis sampai ke akar.

Empat, para pemimpin di Indonesia masih bermental bobrok. Mereka korup, rakus kekayaan, gila hormat dan tak peduli pada kepentingan rakyatnya. Pola ini merata di berbagai bidang, dari kepemimpinan desa sampai dengan kepemimpinan pusat. Di dalam negara dengan mutu kepemimpinan semacam ini, Zen sebagai teknologi pembebasan akan sulit berkembang, karena dianggap membahayakan kepentingan mereka.

Lebih dari Sekedar Agama

Mendalami Zen berarti mendalami agama sekaligus teknologi pembebasan. Ia mengajarkan orang untuk memahami pikiran dan emosinya sebagai sesuatu yang kosong dan sementara, sehingga tak layak untuk dikejar. Zen juga mengajarkan kita untuk memahami langsung, siapa diri kita yang sebenarnya. Diri sejati kita adalah kesadaran murni yang kosong, namun sepenuhnya awas (cognizant) dan hidup (alive).

Di dalamnya sudah terkandung kebijaksanaan, pengetahuan dan kedamaian yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan di saat ini. Dunia akan menjadi tempat yang lebih baik untuk semua mahluk hidup, jika kita semua mendalami Zen. Sebagai agama, nilai-nilai dasar Zen sejalan dengan semua agama besar di dunia, yakni cinta, perdamaian dan solidaritas kepada semua mahluk hidup. Sebagai teknologi pembebasan, Zen menawarkan cara yang rasional, kritis dan manjur untuk membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan penderitaan.

Secara umum, anda tidak perlu ganti KTP untuk mendalami Zen. Anda tidak perlu mengucapkan kalimat apapun untuk mendalami Zen. Tetaplah berpegang pada agama yang sudah anda punya, namun berikan sentuhan mendalam dari Zen. Hidup anda akan berubah ke arah pembebasan dan pencerahan. Tunggu apa lagi?

Zen untuk Derita Karena Bahasa

$
0
0

Surrealism | What is it, characteristics, origin, history, types, topics,  representativesOleh Reza A.A Wattimena

Orang lain berbuat sesuatu. Ia memaki. Ia menghina. Bisa juga, ia mencuri, sehingga membuat saya terluka.

Ia menantang. Ia memprovokasi. Ia memancing amarah. Ia memicu emosi yang bergejolak.

Ini bisa terjadi di jalan raya. Kerap juga, ini terjadi di keluarga. Kekerasan dibalas dengan kekerasan. Lingkaran ini tak ada putusnya, jika kita tak mau paham.

Ada juga trauma. Ia adalah bekas dari peristiwa. Lukanya, bencinya, sedihnya dan marahnya masih terasa. Banyak orang mencari pengalihan, bahkan mengakhiri hidupnya.

Kebodohan Kita

Sumber penderitaan kita adalah kebodohan kita sendiri. Kita tak paham, siapa diri kita. Kita tak paham tentang dunia sebagaimana adanya. Batin kita dipenuhi dengan emosi dan pikiran yang kita anggap nyata.

Kita mengira, ada orang lain. Mereka tetap. Mereka tidak berubah. Mereka adalah pribadi yang abadi.

Kita mengira, ada luka. Ada trauma. Semuanya itu ada, dan abadi. Ia memiliki inti yang tetap.

Kita juga mengira, ada yang disebut sebagai “aku”. Kepribadianku itu utuh, dan tetap. Ia tidak berubah oleh waktu. Ia memiliki inti yang kokoh.

Tak Sungguh Ada

“Aku”, “orang lain” dan “luka” itu hanya nama. Semuanya mengalir terus. Semuanya berubah tanpa henti. Karena kita mengira, bahwa ketiga hal itu tetap dan kokoh, maka kita menderita.

“Aku”, “orang lain” dan “luka” itu hanya bahasa. Bahasa bukanlah realita. Bahasa bukanlah kehidupan. Ia hanya sekumpulan bunyi dan simbol buatan manusia.

Bahasa itu acak. Ia tak punya pola. Ia hanya buatan manusia. Ia berguna untuk kegiatan kehidupan, namun ia bukanlah kenyataan sebagaimana adanya.

Tak ada orang lain. Tak ada luka, atau trauma. Tak ada aku. Begitulah dunia sebagaimana adanya.

Inilah pembebasan dari penderitaan. Inilah pencerahan. Sesederhana itu. Terlalu sederhana, sehingga kita mungkin tak puas. Kita mau teori yang rumit.

Jaringan Maha Luas

Kita semua satu kesatuan. Kita semua adalah jaringan yang tak terpisahkan. Sama sekali tak ada yang bisa ada sendiri, tanpa jaringan maha luas ini.

Sigmund Freud, pemikir Austria, menyebutnya sebagai kesadaran melaut (oceanic consciousness). Anak kecil memilikinya. Kita semua mempunyainya. Sayang, kita lupa, karena tipuan bahasa.

Apa yang ada sebelum bahasa? Realita. Kenyataan. Kehidupan. Keterbukaan total. Namanya beragam.

Kita kembali pada “Sang Hidup”. Inilah yang sungguh ada. Ia bersifat terbuka, sekaligus sepenuhnya sadar dan hidup. Zen adalah sekumpulan paham dan metode untuk menyentuh “Sang Hidup” tersebut.

Duduk. Berdiri. Bekerja. Apapun yang dilakukan, perhatikan “Sang Hidup – Sang Sadar” di dalam diri. Ia berdenyut di dalam batin, dan di dalam tubuh. Itu cukup.

Ia seluas semesta. Ia adalah semesta. Kita adalah Dia, dan Dia adalah kita. Saya kehabisan kata. Mungkin dengan hening, Dia lebih terasa.***

Viewing all 139 articles
Browse latest View live