Quantcast
Channel: zen – Rumah Filsafat
Viewing all 139 articles
Browse latest View live

Mengalami Tuhan, Lalu Pulang ke Rumah

$
0
0

Surrealism. God's Eye, Moon And Clouds. Suit And Branches Of A Tree. Stock  Photo, Picture And Royalty Free Image. Image 116653852.Oleh Reza A.A Wattimena

Sejatinya, tujuan kita hidup adalah untuk mengalami Tuhan. Karena dengan ini, kita menemukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan semacam ini tidak berubah-ubah. Ia tidak terganggu oleh perubahan keadaan dunia.

Sadar atau tidak, kita merindukan Tuhan. Tuhan itu seperti rumah sejati kita. Kita betah, ketika memasukinya. Kita menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Peran Agama

Agama diciptakan untuk mengantarkan manusia pada Tuhan. Ia adalah organisasi dengan tujuan yang sangat mulia. Ia dibentuk oleh orang-orang yang tulus hati untuk membebaskan kita dari kebodohan dan penderitaan. Namun, seperti semua yang dibuat manusia, agama pun mengalami penurunan mutu.

Tujuannya terlupakan. Agama tidak lagi mengantarkan manusia pada Tuhan. Sebaliknya, agama kini menjadi Tuhan. Agama tidak dilihat sebagai alat, tetapi justru sebagai tujuan tertinggi yang disembah oleh manusia.

Agama pun menjadi busuk. Ia dipergunakan untuk memecah belah masyarakat. Agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan, penindasan dan kebodohan kita. Agama menjadi ajang pamer ibadah (menganggu ketenangan bersama), penghancuran budaya dan penindas perempuan.

Kerinduan

Namun, di seluruh dunia, kini hadir kerinduan. Manusia selalu rindu pada Tuhan. Ada kehausan untuk kembali ke asal. Di tengah terpaan krisis yang tanpa henti, manusia tidak lagi puas dengan rumusan agama tentang Tuhan. Ia ingin mengalami Tuhan langsung.

Ada kerinduan untuk keluar dari agama yang menindas dan memperbodoh. Ada kehausan untuk keluar dari ritual kering yang tak bermakna. Ada kebutuhan untuk keluar dari rumusan bahasa dan konsep yang membuat pusing kepala. Ada kebutuhan untuk pulang ke “rumah”.

Disinilah Zen berperan penting. Zen adalah jalan untuk mengalami Tuhan. Zen mengajak kita kembali ke asal. Mengalami Tuhan berarti mengalami langsung sumber dari segalanya. Mengalami Tuhan berarti mengalami langsung Sang Pencipta.

Mengalami Tuhan juga berarti mengalami diri kita yang asli. Diri sejati kita itu sepenuhnya jernih dan damai. Ia melampaui sekat-sekat agama. Ia seluas samudera. Ia seluas semesta.

Tuhan sebagai Diri Sejati Kita

Diri sejati kita berada sebelum kata. Ia adalah kesunyian. Ia adalah pengalaman langsung dengan dunia sebagaiman adanya. Diri sejati kita adalah Tuhan.

Diri sejati kita berada sebelum konsep. Ia berada sebelum rumusan teoritis. Ia melampaui dualisme bahasa dan konsep. Ia sepenuhnya utuh dan menyatu dengan segala yang ada.

Diri sejati kita berada sebelum pikiran. Ia justru yang melahirkan berbagai bentuk pikiran dan emosi yang kita rasakan. Diri sejati kita jugalah yang memungkinkan bahasa dan konsep tercipta. Bisa dibilang, bahwa ia adalah kesadaran murni (walaupun sebenarnya ia tak punya nama).

Diri sejati kita tak terbatas di dalam tubuh kita. Ia seluas semesta itu sendiri. Ia tak berbentuk, namun mengisi penuh segala yang ada. Ia adalah Tuhan kosmik yang sesungguhnya.

Zen adalah sekumpulan cara untuk mengalami Tuhan. Ia menawarkan berbagai metode untuk menyentuh diri sejati kita. Ia tidak rumit, malah justru amat sangat sederhana. Mungkin karena terlalu sederhana, manusia modern justru sulit memahaminya.

Ciri Diri Sejati Kita

Pertama, diri sejati kita itu kosong. Ia tidak memiliki isi konseptual, ataupun kata. Ia tidak memiliki identitas. Ia memberi ruang bagi segala bentuk pikiran maupun emosi untuk datang dan pergi.

Karena kosong, maka diri sejati kita itu terbuka luas. Ia adalah keterbukaan total pada segala. Tidak ada yang ditolaknya. Semua hal muncul dan lenyap di dalamnya.

Dua, diri sejati itu sepenuhnya sadar dan hidup. Ia bisa mempersepsi dunia. Karena tanpa konsep, diri sejati bisa mencerap dunia sebagaimana adanya. Ia adalah kejernihan sejati.

Tiga, diri sejati itu tak terbatas kemampuannya. Dengan kesadaran yang kita punya, kita bisa membangun semesta di dalam batin. Imajinasi kita tak terbatas. Ia lalu bagaikan pisau bermata dua, bisa menyakiti ataupun menyembuhkan kita.

Ketiga ciri ini adalah satu kesatuan. Ketiganya tak terpisahkan. Kosong, luas, sadar dan tak terbatas, inilah ciri diri sejati kita. Ia berada sebelum pikiran dan sebelum bahasa terucap.

Mengalami Tuhan

Diri sejati kita adalah Tuhan. Ia tidak terbatas pada kepribadian kita semata. Semua mahluk, dan seluruh alam semesta, adalah, sebenarnya diri sejati kita. Di dalam filsafat, paham ini disebut juga sebagai panpsikisme. Kuncinya adalah mengalami langsung diri sejati ini sebagai bagian dari keseharian kita.

Tuhan pun tidak lagi semata konsep. Ia tidak lagi hanya bayangan karangan para pemuka agama. Tuhan menjadi pengalaman nyata. Pengalaman inilah yang mengubah hidup kita dari dalam.

Kita pun mengalami pembebasan disini dan saat ini. Kesatuan dengan segala yang ada sungguh menjadi pengalaman nyata. Di dalam tradisi India, pengalaman ini disebut juga sebagai Yoga. Sejatinya, ini merupakan tujuan tertinggi di dalam hidup.

Mengalami Tuhan itu seperti pulang ke rumah. Kita merasa nyaman. Kita merasa tenang dan damai. Rumah yang, sebenarnya, tak pernah meninggalkan kita. Kita saja yang kerap lupa.***


Menjadi Sejati

$
0
0

Shockingly Surreal Self-Portraits (10 photos)Oleh Reza A.A Wattimena

Ini bukan saran motivator. Ini bukan stiker bemper motor. Ini ajakan untuk menjadi asli dan sejati. Tak lebih dan tak kurang.

Jaman Tipuan

Kita hidup di jaman penuh tipuan. Politisi mengumbar janji palsu. Mereka janji memberikan kesejahteraan dan keadilan. Namun, justru mereka yang mencuri dan menindas rakyat.

Pemuka agama menjanjikan surga. Namun, mereka justru menghancurkan budaya, menindas wanita serta menganggu kenyamanan hidup bersama. Kemunafikan tercium kencang di udara. Jelaslah, ini bukan jalan untuk kita.

Kita dijanjikan kebahagiaan oleh berbagai media. Asal, kita membeli produk tertentu. Kita bahagia, asal kita punya tas mewah. Kita bahagia, asal kita punya gawai elektronik terbaru.

Para motivator dan guru-guru bisnis turut bersuara. Anda bahagia, jika anda kaya. Anda bahagia, jika anda membuat bangga keluarga dengan rekening raksasa di bank anda. Anda bahagia, jika anda bisa pamer kekayaan di media sosial.

Para penjual kosmetik dan desainer pun tak mau kalah. Anda bahagia, jika anda putih. Anda bahagia, jika anda langsing. Anda bahagia, jika anda berbaju sesuai selera pasar, entah religius atau seksi.

Para pria pun juga jadi sasaran. Anda bahagia, jika anda ganteng. Anda ganteng, jika anda merokok. Anda ganteng, jika anda berbaju modis, entah religius entah berdasi.

Media sosial terus merayu kita. Mereka adalah guru-guru kebahagiaan jaman now. Jika anda hidup seperti selebriti, maka anda bahagia. Maka, mari kita berlomba menjadi selebriti, begitu kata mereka.

Iklan pun semakin cerdas. Mereka menyasar kita sesuai dengan riwayat selancar kita di dunia digital. Saya baru saja mencari kipas angin. Tiba-tiba, seluruh media sosial saya dipenuhi dengan iklan kipas angin.

Merekalah para penipu ulung dunia digital. Ajaran mereka palsu. Tawaran mereka menyesatkan. Buktinya, walaupun kita sudah mengikuti semua saran mereka, yakni menjadi kaya, ganteng, cantik ataupun terlihat religius, kita tetap tak bahagia.

Dunia memang tidak pernah memuaskan kita. Agama institusi yang penuh dengan aturan dan larangan juga tak akan membuat kita bahagia. Memang, sebentar, kita bisa merasa puas, karena kita dianggap sukses, cantik ataupun religius. Namun, rasa puas itu pun mereda, dan rasa hampa kembali berkunjung.

Kita pun mencari pelarian. Kita makan berlebihan. Kita berhubungan seks berlebihan. Kita belanja berlebihan, lalu berhutang. Ini semua untuk mengalihkan dari rasa hampa di hati.

Namun, semua hal itu tetap tak membuat puas. Kita merasa terasing dari orang lain. Kita pun merasa asing dengan diri kita sendiri. Depresi sudah mengetuk di depan pintu hati.

Keinginan untuk mengakhiri hidup pun datang. Lelah rasanya menjalani hidup dari hari ke hari. Apapun yang dilakukan, mulai dari mengikuti saran pasar, saran pemuka agama, sampai dengan saran orang tua, tetap bermuara pada kehampaan batin. Hidup pun hanya berisi pengalihan yang satu ke pengalihan yang lain, dari belanja ke traveling, atau dari kubangan kemiskinan ke kubangan sakit mental.

Bagaimana keluar dari lingkaran ketidakpuasan ini? Bagaimana supaya kita lolos dari kehampaan yang seolah tak terhindarkan ini? Jawabannya sederhana, seperti tertera di judul tulisan ini. Jadilah dirimu yang sejati.

Berjumpa dengan Diri Sejati

Siapa diri kita? Mari kita lihat apa yang nyata. Diri kita yang sejati bukanlah pikiran maupun emosi. Keduanya sementara. Keduanya datang dan pergi, serta seringkali tak berbekas.

Anda bisa marah besar. Namun, beberapa saat kemudian, anda tenang. Seolah tak terjadi apa-apa. Apa yang sementara pasti bukanlah yang sejati.

Diri sejati juga bukanlah identitas sosial. Agama bisa berganti. Kelamin bisa berganti. Selera dan kewarganegaran bisa diganti. Apa yang bisa dengan mudah diganti pastilah bukan yang sejati.

Dibalik apa yang bisa dengan mudah berubah dan berganti, apa yang tetap? Itulah yang sejati. Hanya satu yang tetap, yakni kesadaran yang mengamati itu semua.

Inilah Sang Pengamat yang sadar dan terbuka. Setiap orang memilikinya. Bahkan, semua mahluk memilikinya. Kehadiran Sang Pengamat di dalam diri, yang sifatnya sadar dan terbuka, tidak bisa dibantah.

Ia kosong dan terbuka penuh. Ia ada sebelum bahasa, konsep dan pikiran muncul. Ia adalah sumber dari semua pikiran maupun emosi yang ada. Namun, ia stabil, dan tak ikut berubah dengan berubahnya emosi ataupun pikiran.

Melatihnya

Ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, kita perlu berkenalan dengan Sang Pengamat. Walaupun ada, jika kita tak kenal dengannya, maka kita akan terus hanyut dalam beragam emosi dan pikiran yang muncul. Kita tidak akan pernah puas, dan akan terus hampa.

Dua, kita perlu akrab dengannya. Kita perlu mengenali Sang Pengamat setiap saat. Kita perlu stabil di dalamnya. Hanya dengan begitu, kita bisa menemukan kedamaian sejati di dunia yang terus berubah ini.

Menjadi akrab berarti menjadi sadar penuh. Saat ke saat, sadarlah secara penuh tentang apa yang sedang dilakukan. Sadarlah dengan penuh pada apa yang sedang terjadi saat ini. Jika ngelamun, atau hanyut dalam pikiran dan emosi, kembalilah sadar.

Di tengah dunia yang semakin rumit, kita perlu kejernihan. Artinya, kita perlu untuk sungguh mampu berjarak dari semua bentuk pikiran dan emosi yang kita punya. Tak ada pikiran ataupun emosi yang baik. Semuanya akan bermuara pada ketidakpuasan.

Kejernihan muncul, jika kita akrab erat dengan Sang Pengamat di dalam diri kita. Kita perlu mengamati Sang Pengamat dari saat ke saat. Sebenarnya, Sang Pengamat inilah diri sejati kita. Di dalamnya, kita tidak lagi terbuai oleh tipuan dunia yang semakin canggih. Kita bisa bahagia, tanpa syarat apapun.

Inilah jalan untuk menjadi sejati. ***

Sekilas Buku Urban Zen: Tawaran Kejernihan untuk Manusia Modern

$
0
0

Reza A.A Wattimena kali ini menyuguhkan bukunya yang terbaru berjudul Urban Zen. Buku ini akan memberi tawaran kejernihan bagi manusia modern. Ditulis dengan ringkas dan padat, langsung ke inti pokok masalah. Bagaimanakah selengkapnya? Selamat menyimak diskusi bersama penulisnya.

Menjadi Merdeka

$
0
0

Freedom Oil Painting By Abed Alem | absolutearts.comOleh Reza A.A Wattimena

Tentunya, kita ingin hidup yang otentik. Kita tidak ingin berpura-pura dalam hidup. Kita tidak ingin jatuh ke dalam kemunafikan. Tak ada orang yang ingin hidup dalam kepalsuan terus menerus.

Kita juga tak ingin hidup dengan rasa takut. Kita tidak ingin terus mengingkari nurani dan akal sehat yang kita punya. Untuk jangka pendek, kita mungkin rela ditindas. Namun, untuk jangka panjang, hasrat untuk merdeka akan menghujam keluar.

Di Indonesia, kita ditikam oleh ajaran sesat yang mengaku suci. Ajaran ini menindas perempuan dengan dalih kesucian dan surga. Ajaran ini merusak budaya setempat yang sudah hidup ribuan tahun lamanya. Ajaran ini menjadi pembenaran untuk ibadah yang merusak ketenangan hidup bersama.

Kita tentu tak ingin hidup seperti ini terus menerus. Penjajahan bisa terjadi. Namun, naluri untuk merdeka tak akan pernah bisa dibunuh. Ada sesuatu di dalam diri manusia yang menolak untuk tunduk pada segala bentuk penindasan, walaupun itu berkedok kesucian.

Kita juga harus ingat, bahwa pemberontakan tak bisa tanpa arah. Ia harus berpola, supaya tidak jatuh pada kekacauan. Jika tanpa arah, pemberontakan itu hanya seperti mengganti masalah yang satu dengan masalah yang lain. Ini seperti keluar dari mulut singa, dan masuk ke mulut serigala.

Maka, kita perlu pijakan. Dalam hal ini, pijakan paling tepat adalah kebenaran itu sendiri, yakni kebenaran tentang kenyataan sebagaimana adanya. Inilah kenyataan sebelum teori, konsep dan bahasa. Inilah kenyataan yang berujung pada kebijaksanaan dan pencerahan batin.

Empat Hukum Dunia

Kenyataan sebagaimana adanya memiliki empat hukum. Pertama, ia terus berubah. Ia adalah aliran deras yang tak akan pernah berhenti. Kenyataan itu tak akan pernah bisa tunduk pada konsep dan teori, karena ia selalu bergerak.

Dua, dunia adalah hasil ciptaan kesadaran manusia. Segala hal adalah persoalan sudut pandang. Kita bisa sepakat tentang beberapa hal, misalnya tentang tata nilai moral bersama. Namun, kesepakatan itu pun bermakna berbeda untuk orang-orang yang berbeda. Ia tak abadi.

Tiga, tak ada diri, atau ego. Itu hanya hasil kebiasaan semata. Itu juga hanya konsep dan bahasa yang berpijak pada ingatan. Diri kita yang asli bersifat kosong, sadar dan selalu terhubung dengan segala yang ada.

Empat, semua emosi dan pikiran akan berakhir pada ketidakpuasan. Ini terjadi, karena emosi dan pikiran mencoba menggenggam kenyataan yang terus berubah. Ini seperti orang yang hendak menggenggam asap. Ia tak akan pernah berhasil, dan justru menjadi frustasi.

Orang mengira, pikiran positif akan menciptakan kebahagiaan. Orang juga mengira, bahwa kenikmatan adalah kebahagiaan. Maka, mereka memanjakan tubuh mereka dengan berbagai kenikmatan. Namun, ini semua adalah usaha sia-sia yang akan bermuara pada rasa tidak puas.

Makan kenyang dan enak akan melahirkan rasa penuh atau mual di perut. Bercinta akan menghasilkan rasa lelah. Belanja akan menghasilkan rasa bersalah, dan bahkan hutang. Harapan akan menghasilkan kekecewaan, jika tidak sesuai dengan kenyataan.

Menjadi Merdeka

Menjadi merdeka bukanlah bertindak semaunya. Menjadi merdeka haruslah berpijak pada kebenaran, yakni pemahaman tentang dunia sebagaimana adanya. Pemahaman ini akan melahirkan kebijaksanaan. Merdeka haruslah bijaksana.

Orang yang bertindak semaunya justru tidak merdeka. Ia dijajah oleh hasrat-hasrat di dalam dirinya. Padahal, hasrat-hasratnya bukanlah miliknya, melainkan hasil rayuan pasar, ataupun pengaruh kuat dari lingkungan sosial. Hidupnya pun akan dangkal, dan berakhir di dalam ketidakpuasan. Ia juga akan membuat sulit hidup orang lain, terutama orang-orang terdekatnya.

Menjadi merdeka berarti paham kebenaran, dan hidup sejalan dengannya. Ini berarti orang punya pemahaman memadai tentang empat hukum dunia, dan hidup sesuai dengannya. Segala keinginan yang tak sesuai kenyataan akan lenyap seketika. Inilah keadaan batin yang tercerahkan, yakni ketika orang melihat kekosongan dari segala sesuatu.

Tidak ada ambisi berlebihan, dan tidak ada kekecewaan berlebihan. Bagaimanapun rumitnya, hidup hanya sementara. Ia adalah permainan. Kita hanya perlu bermain dengan gembira dan merdeka.

Dengan pemahaman ini, baru bisa menjadi manusia yang sungguh merdeka. Kita pun bisa bertindak menolong orang lain dengan ketulusan. Tidak ada agenda yang disembunyikan. Ketulusan murni adalah buah dari kemerdekaan batin yang sejati.***

             

           

 

 

Kebijaksanaan dari Kekosongan

$
0
0

Sunyata (Enso) Painting by Kurtis Brand | Saatchi ArtOleh Reza A.A Wattimena

Kekosongan adalah tujuan tertinggi di dalam spiritualitas. Sejatinya, ia bukanlah obyek. Tak ada yang perlu dituju. Tak ada yang perlu diraih.

Kekosongan berarti keterbukaan terhadap segala yang ada. Tidak ada perkecualian. Saat demi saat, batin terbuka pada semua. Tidak ada dualisme baik-buruk, benar-salah, surga-neraka dan sebagainya. Yang ada hanya kosong.. terbuka…

Dunia dan Diri

Dunia ini kosong. Ia berubah terus. Tak ada yang bisa dipegang. Dunia ini tanpa inti yang abadi.

Diri kita juga kosong. Tak ada pribadi yang utuh. Tak ada pribadi yang abadi. Diri kita berubah setiap saat, tanpa jejak.

Mengira dunia ini nyata adalah ilusi. Kita lalu ingin mencengkramnya. Kita pun gagal, lalu menderita.

Mengira diri adalah nyata juga ilusi. Kita menjadi rapuh pada hinaan dari orang lain, dan gampang jatuh ke dalam kekecewaan.

Hidup dalam ilusi adalah penderitaan. Mengira dunia adalah nyata adalah penderitaan.

Mengira ego, atau diri, adalah nyata juga penderitaan.

Melihat bahwa semuanya kosong akan menciptakan kelegaan. Inilah kebijaksanaan. Inilah pencerahan.

Saat ke Saat

Ambisi lenyap. Sikap rapuh batin juga lenyap. Semua hal digunakan seperlunya, terutama untuk tujuan-tujuan mulia. Tak ada kecanduan pada apapun.

Saat ke saat, sadari kekosongan. Saat ke saat, sadari keterbukaan terhadap segala.

Jika sudah waktunya tiba, kita melepaskan tubuh dan pribadi dengan leluasa. Kita kembali pada sang pencipta dengan hati terbuka.

Revolusi Moral ala Zen

$
0
0

What is Surrealism in art and cinema? | Clipchamp GlossaryOleh Reza A.A Wattimena

Saya diundang menjadi pembicara di Webinar pada Agustus 2021 lalu. Rekan pembicara saya adalah seorang guru besar dari salah satu universitas negeri di Bandung. Ia doyan sekali berbicara soal moral. Baginya, peserta didik itu harus bermoral, yakni patuh pada orang tua, rajin beribadah, patuh pada agama dan tidak boleh berpakaian bebas.

Dalam hati saya, itu bukan moral. Itu perbudakan. Itu penjajahan. Itu penindasan. Saya menawarkan wacana tandingan. Kita tidak butuh moral dangkal semacam itu. Yang kita butuhkan adalah pemikiran kritis, kreatif dan keberanian menantang pola pikir lama yang sudah membusuk.

Kemunafikan

Wacana perbudakan (yang berbungkus moral) itu sudah membuat saya muak. Sudah terlalu lama pendidikan Indonesia amat terbelakang dan tertutup. Para guru dan dosennya berwawasan sempit serta menjajah. Yang dihasilkan adalah manusia-manusia patuh yang pandai mengikuti perintah, seperti kambing.

Cukup berwacana soal pendidikan moral. Cukuplah berteriak soal pendidikan karakter. Semua itu berbau kemunafikan. Semua itu membuat bangsa ini makin terbelakang.

Teriakan moral kerap dibarengi dengan korupsi para penguasa. Yang tertangkap mencuri mendadak menjadi religius. Baju menjadi agamis, supaya menarik simpati hakim, dan masyarakat luas. Pelaku serupa yang berteriak soal moral, supaya bisa naik jabatan dengan menjilat atasan.

Kemunafikan begitu kuat. Keadaan semacam ini sangat tidak sehat untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini sudah terjadi terlalu lama. Buih-buih khotbah moralitas menguat justru di tengah korupsi dan pelanggaran HAM yang menumpuk.

Ada ratusan ribu tempat ibadah di Indonesia. Teriakan moralitas dikumandangkan di berbagai tempat. Namun, korupsi jalan terus, bahkan semakin meluas dan mendalam. Kemiskinan dan kekumuhan tersebar di berbagai tempat, juga semakin dalam dan semakin luas.

Kaum perempuan ditindas. Mulai dari cara berpakaian sampai dengan isi pikiran, mereka terus diperbudak. Anak-anak dididik dengan sangat keras. Mereka dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tak bermakna dan tak berguna.

Pada bedebah terus bersembunyi di balik slogan moralitas. Para koruptor dan perusak tatanan bersembunyi di balik ajaran agama terbelakang. Pada saat yang sama, demokrasi tenggelam dalam oligarki. Hanya orang kaya yang boleh menikmati kemakmuran di Indonesia. Hanya mereka yang boleh jadi penguasa.

Revolusi Moral

Ini terjadi, karena kita tak paham soal moralitas yang sejati. Moralitas kita adalah moralitas hampa. Ia tak punya dasar. Ia hanya kata yang tak bermakna.

Moralitas kita hanya soal konsep. Ia tidak menginspirasi tindakan. Sebaliknya, ia justru menggoda untuk dilanggar. Ia hanya teori, tanpa penerapan.

Moralitas hampa, karena ia kering. Ia dipaksakan melalui lembaga yang korup. Ia dikhotbahkan oleh para bedebah. Tak heran, di Indonesia, moralitas justru bermuara pada kemunafikan.

Ini berakar pada sebab yang lebih luas. Kita mengalami krisis spirtualitas. Sistem pendidikan dan banyak lembaga agama telah menjadi lembaga kekuasaan yang memperbodoh masyarakat. Ia juga telah menjadi alat politik untuk memecah belah, dan menciptakan ketidakadilan.

Maka, wacana moralitas haruslah mengalami revolusi total. Ia harus diubah dari dasarnya. Ia harus diberi suntikan spiritualitas. Hanya dengan begitu, moralitas menjadi bergairah, dan membawa kedamaian bagi diri maupun masyarakat luas.

Moralitas yang Sejati

Moral yang sejati berpijak pada kebijaksanaan. Moralitas sejati tidak kering. Ia tidak dipaksakan, apalagi diancam dengan hukuman. Moralitas yang sejati tidak menjadi alat memperbodoh dan mempermiskin masyarakat luas.

Maka, sebelum berbicara moralitas, kita harus paham soal kebijaksanaan. Kita harus tenggelam dalam kebijaksanaan, sebelum berkhotbah soal moral. Jika tidak, maka moralitas kita adalah moralitas penindasan. Moralitas kita adalah moralitas kemunafikan, seperti yang kini terjadi di Indonesia.

Apa itu kebijaksanaan? Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk memahami dunia sebagaimana adanya. Ini adalah dunia sebelum konsep, sebelum teori dan sebelum pikiran. Inilah dunia sebagaimana diciptakan oleh Sang Pencipta.

Kebijaksanaan juga berarti memahami, siapa diri kita yang sebenarnya. Diri kita yang asli berada sebelum pikiran muncul. Ia seluas semesta. Ia memeluk segala yang ada.

Setelah memahami diri kita yang sejati, identitas kita pun menjadi seluas semesta. Segala yang ada adalah bagian dari diriku. Tak ada keterpisahan. Kita memiliki identitas kosmik.

Aku adalah kamu. Kita adalah satu. Ini berlaku tak hanya untuk sesama manusia, tetapi untuk segala yang ada. Kedamaian batin yang mendalam hadir dari kebijaksanaan kosmik ini.

Mengalir dari Kebijaksanaan

Moralitas pun mengalir dari kebijaksanaan semacam ini. Akar dari moralitas adalah identitas. Ketika identitas sudah seluas semesta, maka moralitas menjadi terbuka. Ia penuh gairah, inspirasi dan membawa terang pencerahan.

Tidak ada rumusan moral baku. Bertindak moral berarti bertindak sesuai dengan tuntutan keadaan. Tidak ada tipuan surga, maupun ancaman neraka. Moralitas menjadi sepenuhnya hidup, dan membawa kebebasan.

Tidak ada lagi kemunafikan. Tidak ada lagi penindasan. Moralitas menjadi alami, sealami angin bertiup, dan air mengalir. Moralitas menyatu dengan kehidupan semesta.

Ekspresinya pun beragam. Tak ada keseragaman yang dipaksa. Tak ada pakaian yang diwajibkan. Tak ada aturan yang mesti dipatuhi secara buta. Tak ada ajaran yang memperbodoh dan mempermiskin manusia.

Moralitas Zen

Moralitas yang mengalir dari kebijaksanaan adalah moralitas Zen. Inilah moralitas yang berpijak pada keheningan batin. Inilah moralitas yang mewarnai kehidupan dengan inspirasi dan gairah. Ia memperkaya kehidupan, dan bukan mencekiknya dengan aturan-aturan bodoh yang tak masuk akal.

Moralitas Zen bisa mendorong orang menjadi biksu. Mereka menjadi pertapa. Mereka membaktikan hidupnya untuk mencari kebenaran. Mereka melepaskan hidup yang fana dan sementara.

Moralitas Zen juga bisa mendorong orang menjadi samurai. Mereka para ahli pedang yang mematikan. Mereka siap berperang dengan lawan yang mengancam. Baik biksu maupun samurai, walaupun berbeda, keduanya adalah manusia tercerahkan dengan moralitas sejati di hatinya.

Praktisi Zen juga menjadi pelaku bisnis. Mereka membuat keputusan-keputusan ekonomis penting setiap harinya. Lapangan kerja jutaan orang ada di tangan mereka. Moralitas mereka adalah moralitas sejati yang menghidupkan.

Praktisi Zen juga menjadi penyair. Mereka adalah jiwa-jiwa bebas yang menolak untuk dikekang. Mereka memberontak terhadap sikap kuno yang mencekik jiwa. Mereka menawarkan keindahan di tengah dunia yang penuh kemunafikan.

Ekspresi dari moralitas sejati itu beragam. Ia tidak mengenal batasan tradisi. Moralitas sejati, yakni moralitas Zen, itu seluas semesta. Ia seperti musik Jazz yang dinamis, berwarna dan menggairahkan. Tak ada rumusan baku yang mesti dipatuhi secara buta.

Hanya tiga pertanyaan yang penting. Apakah kamu sudah memahami dirimu yang sejati? Apakah identitasmu sudah seluas semesta? Apakah kamu sudah tercerahkan? Jika ya, maka moralitas sejati mengalir secara alami dari keadaan batin yang tecerahkan tersebut.

Hati damai. Tindakan menyesuaikan dengan keadaan yang terus berubah. Ia terbuka untuk berbagai kemungkinan. Masyarakat pun bisa damai, dan maju bersama. Maka, berhentilah berbicara moralitas, sebelum menyentuh kebijaksanaan. Sudah terlalu lama, bangsa kita berkubang di dalam kemunafikan. Saatnya berubah.

Dharma sebelum Drama

$
0
0

Blue Dharma Fine Art: The Evolution of Bill Bowers' "Convergence" - The  Laurel of AshevilleOleh Reza A.A Wattimena

Siapa yang mau hidup bebas drama? Tentu saja, kita semua. Bagi pecinta drama Korea, pola drama-drama kehidupan sudah terpahami. Intinya sederhana, yakni ada kejadian yang tak sesuai dengan kehendak kita.

Cuaca tiba-tiba berubah. Hujan deras mengguyur, ketika sedang asyik bersepeda. Atau, tiba-tiba sakit, padahal sudah makan dan tidur cukup. Banyak hal diluar kendali kita.

Ini Soal Tanggapan Kita

Sebenarnya, itu tidak bisa disebut sebagai drama. Drama adalah tanggapan kita terhadap kejadian yang tidak menyenangkan itu. Jika kita menanggapi kejadian-kejadian menyakitkan dengan emosi kuat, seperti sedih dan marah berlebihan, maka drama tercipta. Drama adalah penolakan kuat terhadap keadaan yang sedang terjadi.

Kita marah pada keadaan. Kita membenci orang lain yang bertindak tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita memberontak pada keadaan, lalu akhirnya frustasi. Dalam jangka panjang, depresi dan keinginan bunuh diri akan menghantui.

Karena menolak keadaan, kita butuh pelarian. Kita butuh menghibur diri. Bentuknya beragam, mulai dari makan berlebihan, belanja sampai dengan narkoba. Apapun bentuknya, pelarian selalu bermuara pada nestapa.

Di dalam tradisi Dharma, ini disebut sebagai Samsara, yakni kejadian yang terus berulang. Kita memiliki pola serupa. Kita memiliki kebiasaan lama yang sangat kuat, sehingga terus mengulang dirinya, tanpa henti. Menyadari Samsara sebenarnya merupakan langkah awal untuk pembebasan.

Gautama, sang Buddha, menyebut hidup sebagai Dukkha. Artinya bukanlah penderitaan, seperti yang selama ini dipahami. Hidup bukanlah penderitaan, melainkan ketidakpuasan yang terus berulang. Apapun yang kita lakukan, selama kita masih mencari di luar diri kita, entah itu uang, kenikmatan dan nama besar, maka kita tidak akan pernah terpuaskan. Kita akan terus merasa hampa.

Dharma sebelum Drama

Disinilah pentingnya kita mendalami Dharma. Di dalam hidup, Dharma harus ada mendahului drama. Apa itu Dharma? Artinya sederhana, yakni hidup sejalan dengan kenyataan sebagaimana adanya.

Kita tidak hidup dengan pandangan tertentu tentang apa yang seharusnya terjadi. Kita tidak hidup dengan teori yang kita baca dari buku. Kita tidak hidup dengan harapan dan filosofi yang kita peroleh dari tradisi atau agama. Kita hidup sejalan dengan keadaan sebagaimana adanya di sini dan saat ini.

Salah satu ajaran terpenting Dharma adalah, bahwa kita tidak bisa mengendalikan kehidupan. Banyak hal terjadi di luar kendali kita, seperti krisis ekonomi, pandemi sampai dengan bencana alam. Ajahn Brahm, salah satu pemikir Buddhis terbesar di abad 21, bahkan menegaskan, tak ada yang bisa kendalikan di luar diri. Tenanglah, semuanya berada di luar kendali (relax, everything is out of control), ujarnya sambil tertawa.

Namun, ada satu hal yang bisa kita kendalikan, yakni tanggapan kita terhadap keadaan. Jika kita cukup sadar, kita bisa menanggapi berbagai keadaan dengan tenang. Seperti kata Gus Dur, salah satu pemikir Islam terbesar di dalam sejarah Indonesia modern dan mantan Presiden Republik Indonesia, jika ada masalah, yah diselesaikan. Jika tidak bisa, yah tidak usah dipikirkan. Gitu aja kok repot!

Kita perlu menatap keadaan sebagaimana adanya. Sesungguhnya, masalah itu tidak ada. Yang ada hanyalah keadaan yang kompleks. Kita membutuhkan kejernihan untuk mengurainya, dan mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan.

Belajar dari Zen

Disini, kebijaksanaan Zen bisa membantu. Pertama, kita perlu sungguh berakar disini dan saat ini. Kita perlu membuka panca indera kita pada keadaan disini dan saat ini. Ini membantu kita berjangkar pada kedamaian batin, supaya tidak hanyut dalam keadaan yang mungkin sangat rumit.

Dua, kita perlu memahami keadaan yang ada. Kita perlu melakukan analisis. Kita perlu memahami sebab akibat dari keadaan yang tercipta. Ini disebut sebagai memahami keadaan dengan tepat (correct situation).

Tiga, kita juga melihat hubungan kita dengan keadaan yang ada. Apa peran yang bisa kita lakukan? Adakah hal konkret yang bisa dilakukan, guna memperbaiki keadaan? Ini disebut sebagai memahami hubungan dengan tepat. (correct relation)

Empat, setelah paham keadaan dengan jernih, dan paham peran yang bisa diambil, kita lalu bertindak. Kita bertindak dari kejernihan. Kita tidak bertindak dari emosi, atau dari kepentingan diri yang sempit. Ini disebut sebagai tindakan yang tepat (correct action).

Mencapai Kebebasan

Dengan Dharma, kita bisa menghindari pelarian-pelarian tak perlu. Menghibur diri tentu perlu. Tetapi, ini dilakukan sebagai bagian dari penyelesaian masalah, dan bukan untuk melarikan diri. Pelarian kerap menjadi penjara baru dari derita kita sebelumnya.

Dengan ini, kita pun memutus rantai Samsara. Kita memutus kebiasaan lama yang merusak. Kita keluar dari pola-pola yang selama ini menjajah kita. Tentu saja, ini tak mudah, tetapi sangat mungkin untuk dilakukan.

Kita pun menemukan kebebasan disini dan saat ini. Seperti yang selalu dikatakan oleh Alex Lanur, dosen saya di STF Driyarkara dulu, kebebasan tertinggi adalah kebebasan di dalam bersikap menghadapi keadaan, terutama keadaan-keadaan yang tak sesuai rencana. Dia mengajarkan ini dalam kuliah Filsafat Manusia pada 2003 lalu. Salah satu kebijaksanaan tertinggi yang masih saya simpan di sanubari.***

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

 

 

Heneng, Hening, Hanung : Dari Dukkha Menuju Bahagia

$
0
0

HendarOleh Hendar Putranto, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia

Dalam gerak cepat pertumbuhan kota dan mobilitas akseleratif yang mewarnai dinamikanya, acapkali warga kota terengah-engah untuk mengimbangi. Saat motor dan mobil berhenti di perempatan lampu merah, atau di jalur antrian pom bensin, atau sekadar menunggu kedatangan moda transportasi publik, warga kota tetap menyibukkan dirinya dengan gawai sekadar meng-update berita, atau postingan viral di medsos mereka. Sebagian sosok urban mengambil peran sebagai commuter, yang terus meruangwaktu bolak-balik, tidak jarang dalam seruak sesak kemacetan di jalan tol (sebuah ironi!), manakala yang lainnya terjepit himpitan tubuh-tubuh keringatan di gerbong KRL Commuter Line atau TransJakarta. Serba semrawut, sumpek bertumpuk, dan riuh centang-perenang bukan pemandangan luar biasa di tengah dan pinggiran kota. Sesekali, selinap pikir dan selirih peluh tentang Ada dan Makna lamat-lamat menyapa: untuk apa ini semua? Senyampang tikungan kesadaran ini, Reza datang menawarkan suaka bernama Urban Zen. Ini bukan Fatamorgana, juga bukan Panacea, tapi “tawaran kejernihan untuk manusia modern.”

Tiga Pilar Pesona Urban Zen

Urban Zen memiliki tiga pilar pesona ini.

Pertama, topik pembahasannya sangat mengena dengan rentang dan relung pengalaman manusia modern yang serba sibuk menjalani hidup dalam kompleksitas yang akseleratif. Bahkan, sebagiannya sangatlah kekinian, seperti bagaimana move on (h. 40, dst), seputar Pornografi (h. 61-68), dan jenaka, seperti Yoga bukan hanya jalan untuk tante seksi supaya makin seksi dan sehat” (h. 146), dan “Crazy Wisdom…jangan-jangan Jason Ranti adalah seorang Master Zen HAHAHAHA” (h. 184, 188).

Kedua, Urban Zen terartikulasikan dalam bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit dengan anak cucu kalimat. Ini memudahkan pembaca untuk mengunyah-ngunyahnya tanpa harus berkerut-kening dan sedikit-sedikit buka kamus. Begitu sederhana cara pembahasannya sehingga pembaca dapat membaca cukup 1-2 esei saja per hari sehingga pesannya lebih nancep. Bahasa yang sederhana dan mendalam ini bukan jenis Gerede (obrol-obrol ringan tanpa makna).

Urban Zen

Ketiga, sebagai buku pertama tentang tema ini dalam bahasa Indonesia, cover Urban Zen terlihat menarik. Sejauh diketahui dari postingan Penerbit Karaniya di Medsos, mereka melibatkan audiens secara partisipatoris untuk mendesain covernya. Cover Urban Zen menyiratkan nuansa kabur (blur) orang yang sedang menyeberang jalan dengan latar lalu-lintas dan gedung-gedung pencakar langit. Sepertinya Reza mengibaratkan ikhtiar pencarian manusia ke dalam inti dirinya, “batin yang mampu menyentuh keabadian” (h. 20), yang tidak selalu gamblang. Terkadang samar, acap siwur, juga ngawur. Wujud samar ini juga sepertinya menandai postulat Reza bahwa Rasionalitas, Identitas Subjek, dan The Idea of Progress yang menjadi Trisula bendera penanda Modernitas tidaklah setegas dan sekokoh yang disangka, dipercayai, dan dijalani banyak orang.

Dari 28 esei yang dimuat dalam buku ini, minus Pengantar & Epilog, saya menemukan tiga tema kajian yang mendasar dalam pengalaman hidup manusia, yang dituliskan secara menarik, dan memiliki benang merah keterhubungan.

Pertama, tentang kebosanan dan kesepian (Esei ke- 5, Aku Ada, … maka Aku Bosan, h. 27-34). Kedua, tentang Duka, Trauma, Derita dan Kebencian (Esei ke-8, Ketika Duka Berkunjung, h. 48-53; Esei ke-9, Menyiasati Trauma dan Kebencian, h. 54-60; Esei ke-12, Karya dan Derita, h. 73-79; dan Esei ke-21, Trauma, Derita, dan Kebebasan, h. 124-129), dan Ketiga, tentang kematian dan kedukaan yang menyertainya (khususnya pada esei ke-24, Dekonstruksi Kematian, h. 148-158 dan esei ke-28, Senada dengan Duka, h. 175-179).

Ketiga tema ini merupakan bentuk-bentuk pengalaman eksistensial yang di satu dan lain waktu pernah menyergap setiap manusia di muka bumi ini, tidak terkecuali manusia modern. Dalam jelujur trajektoris Filsafat Barat, Reza seperti mengorkestrasi pendekatan Fenomenologi Edmund Husserl dan Martin Heidegger, Eksistensialisme Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur, dan Dekonstruksi Jacques Derrida. Impresif!

Berikut penafsiran saya sebagai pembaca terkait keterhubungan tiga tema kajian mendasar di atas.

Manusia dalam peziarahan hidupnya mau tidak mau berhadapan dengan retakan-retakan kecemasan eksistensial (Angst). Ia niscaya mengalami rasa sakit dunia (Weltschmerz, h. 166). Contohnya, ketika mengalami kebosanan, “kita berusaha membunuh waktu…hidup terasa hampa, semua nilai tampak sia-sia belaka … (dan) pelariannya pun beragam, mulai dari gaya hidup konsumtif, penggunaan narkoba, sampai bergabung dengan kelompok radikal” (h. 30-31). Keterjebakan manusia pada peristiwa yang melukai hidupnya dan menyinggung harga dirinya, akan mendatangkan duka dan derita. Jika ini terus-menerus berlangsung, manusia terperangkap dalam kebencian yang berlarut-larut, dus, traumatis. “Akar dari kebencian adalah trauma…trauma adalah jejak dari peristiwa masa lalu yang belum lenyap, sehingga membekas dan mempengaruhi sikap orang di masa kini” (h. 56-57).

“Berada bersama trauma,” demikian Reza berefleksi, “berarti orang tak hanyut di dalamnya, sekaligus tidak menolaknya sebagai musuh. Sikap ini menghasilkan ketenangan batin, sekaligus kejernihan…dengan sikap ini, trauma pun tidak berbuah menjadi sebentuk kecanduan atau kebencian yang merusak” (h. 59). Ketika ditarik lebih jauh, kematian menjadi puncak dari kengerian, horror vacui, ketakutan akan kekosongan, padahal “kekosongan adalah inti dari batin manusia” (h. 142).

Secara lebih khusus, Reza curhat mendalam dan membuka dirinya yang memroses rasa kehilangan orang-orang yang dicintainya, Nenek, Bapak dan Ibunya yang sudah meninggal dunia (h. 175-176). Refleksinya menyergah, “Pada akhirnya, kita semua harus belajar hidup senada dengan duka. Tak perlu membenci dan mengusirnya. Ia tak akan pergi. Jika diusir dengan paksa, ia justru akan semakin menyengat” (h. 178). Kematian orang yang dicintai, betapapun berat untuk diterima akal sehat, seyogyanya tidak melumpuhkan ziarah batin manusia modern.

Konstruksi dan Konstriksi

Saya menengarai tiga kekurangan dari buku ini.

Pertama soal teknis seperti typo [bsia (seharusnya: bisa, h. 42)], inkonsistensi antara tawaran dengan realisasi, seperti terlihat pada “empat sebab dari krisis empati” (ternyata yang tertulis ada lima, h. 85-86), dan ketiadaan Daftar Pustaka (siapakah: Burton, 2014, Fisher, 2014, dan Foreman, 2015?).

Kedua, sebagai sebuah buku populer ilmiah berupa kumpulan esei-esei yang ditulis dari 2018-2020, sebagian isi buku ini sifatnya redundant, mengulang-ulang pesan yang sama, dengan Reffrain: (kecanduan) uang, seks, jabatan, kelekatan, dll sebagai sumber derita, emosi dan pikiran cukup amati dan sadari saja jangan beri penilaian, ego adalah ilusi, Dharma adalah jalan pembebasan, perhatikan “pengalaman sadar” dari saat ke saat. Klaim yang diulang-ulang Reza dalam buku ini arahnya praktis, artinya: saran-saran yang dapat dilakukan dengan sederhana oleh sidang pembaca. Tapi lalu muncul pertanyaan: apakah jalan dan saran ini sudah terbukti efektif in large scale for a large number of people? Reza belum menampilkan survey & big data yang menunjukkan seberapa bahagia dan berhasil “terbebas dari dukkha” (h. 161) mereka yang pernah dan masih memilih menekuni jalan Urban Zen ini.

Ketiga, gagasan untuk mengubah ‘diri’ dengan cara “masuk ke dalam diri” memang “diajarkan & dicontohkan” Reza, tapi bagaimana diri yang sedang dalam proses ditemukan ini berhadapan dengan keseharian, rutinitas, formalitas, normativitas, dan aturan-aturan yang ada, itu yang belum diuraikan tahapan-tahapan modus operandinya. Tentu tidak semudah mengatakan “Langit biru. Pohon hijau. Semua sudah sempurna sebagaimana adanya” (Koan Zen, h. 168), bukan? Juga tidak mungkin sedikit-sedikit kesulitan hidup yang praktis dan nyata, seperti di-PHK, dibegal, difitnah, dikejar-kejar debt collector, ringkasnya: segenap gugus ikhtiar untuk “jatuh kemudian bangun lagi,” lalu di-brush off dengan mengatakan “coba lagi sampai seribu tahun lamanya” (h. 106-111).

Ajakan untuk masuk dan menemukan kebahagiaan di dalam diri “sebelum konsep ada” berpotensi menjadi pedang bermata dua bagi sidang pembaca yang belum siap disposisi batinnya. Tanpa bimbingan konstan dan kehadiran fisik yang antisipatif dari, katakanlah, seorang Pembimbing Rohani yang berpengalaman dan mumpuni, bagaimana jika ada partisipan yang justru menemukan onggokan sampah dan luapan trauma yang tidak tertanggungkan ketika mereka mencoba masuk ke dalam inti diri? Tidakkah ini justru membahayakan dirinya (misal: ia lalu memutuskan bunuh diri karena tidak sanggup melihat kemurnian batinnya dan mengalami kedamaian yang tersamarkan semak-semak dukkha dan trauma) karena tidak adanya pembimbing yang membantunya melakukan ‘pembedaan roh’ (discretio spirituum dalam Tradisi Latihan Rohani Ignasian)?

Beauty lies in details. Senar keindahan sebuah lagu terngiang dalam detil notasinya, bukan judul lagunya. Semoga generalisasi ajakan dan singularitas temuan “batin yang jernih, teduh, dan damai” “bahagia dari dalam, tanpa syarat” tidak memudarkan pesona keindahan yang ditemukan dalam kegigihan daya juang “pemaknaan” yang beragam bentuk, pola, moda, dan hasilnya.

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png


Zen untuk Segala Keadaan dan Segala Jaman

$
0
0

Salvador Dali - Surreal - 101 Art GalleryOleh Reza A.A Wattimena

Sebagai sebuah jalan hidup yang lahir ribuan tahun silam, apakah Zen masih cocok untuk jaman sekarang? Inilah jaman penuh krisis yang datang bergantian. Orang hidup dalam kebingungan. Perubahan datang begitu cepat, sehingga menciptakan ketidakpastian dan kecemasan besar bagi hidup banyak orang.

Zen lahir dari India, kemudian menyebar ke Cina, Jepang, Korea, Eropa, Amerika Utara dan seluruh dunia. Tak ada yang sungguh tahu, kapan Zen lahir. Ada yang merunutnya kembali ke Siddharta Gautama 2600 tahun silam. Namun, sejauh saya teliti, jauh sebelum Gautama lahir, Zen sudah berkembang subur di India.

Dalam arti ini, Zen adalah jalan untuk membawa manusia menemukan dirinya sendiri. Dengan proses ini, segala bentuk penderitaan juga akan lenyap secara alami. Masalah hidup akan tetap datang, karena memang keadaan terus berubah. Namun, derita batin yang menyengat tajam tidak lagi menjadi ancaman.

Apakah Masih Relevan?

Apakah Zen cocok untuk para pemimpin? Di Indonesia, kepemimpinan politik diwarnai kekacauan. Radikalisme menyusup tajam, seolah tanpa perlawanan. Korupsi dan pelanggaran HAM berat, baik di masa lalu maupun masa sekarang, terus terjadi, tanpa ada tanggapan yang berarti. Apakah Zen bisa memberikan pencerahan untuk kepemimpinan politik?

Bagaimana untuk para pelaku bisnis dan pekerja, apakah Zen berguna untuk mereka? Kita hidup di masa penuh ketidakpastian. Pemerintah tidak peduli pada keselamatan ataupun kesejahteraan rakyatnya. Dunia usaha dipenuhi dengan kecurangan dan ketidakpastian. Apa sumbangan Zen untuk orang-orang yang bekerja sekarang ini?

Bagaimana dengan bapak ataupun ibu rumah tangga, apakah Zen berguna untuk mereka? Ketika mutu pendidikan di Indonesia makin buruk, dan ekonomi makin sulit, apa sumbangan Zen untuk para bapak dan ibu rumah tangga di Indonesia? Banyak rumah tangga pecah, karena pandemik dan krisis ekonomi berkepanjangan. Ini juga ditambah dengan betapa sulitnya mendidik anak sekarang ini, terutama dengan kurikulum pendidikan yang mutunya begitu rendah dari pemerintah Indonesia.

Bagaimana untuk para penegak hukum dan prajurit? Apa sumbangan Zen untuk mereka? Kinerja polisi sedang menjadi sorotan sekarang ini, terutama karena begitu banyak kasus yang merusak nama baik mereka. Tanpa penegak hukum yang bersih dan mampu bekerja dengan profesional, demokrasi yang berpijak pada keadilan dan kemakmuran akan runtuh.

Segala Keadaan dan Segala Jaman

Argumen saya sederhana. Zen berguna untuk segala keadaan dan segala jaman. Zen bukan ajaran moral baku yang harus dituruti secara buta. Zen adalah keadaan batin yang jernih dan gesit di dalam menanggap berbagai perubahan yang terjadi.

Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, Zen adalah keadaan batin yang mengalami saat ini sebagaimana adanya. Tidak ada rumusan teori. Tidak ada pikiran berlebihan.

Ketika marah, ya cukup marah. Ketika sedih, ya cukup sedih. Ketika depresi, ya cukup depresi. Tanpa perlawanan, semua pengalaman akan datang dan pergi secepat angin berlalu.

Hasilnya adalah kejernihan. Kita mengalami dengan jernih semuanya. Tidak ada penolakan ataupun kecanduan untuk mengulanginya. Batin kita seluas semesta, sehingga bisa menampung semua jenis emosi ataupun pikiran, tanpa penolakan ataupun kecanduan.

Dua, dari kejernihan lahirlah kedamaian batin. Inilah kedamaian batin yang muncul dari dalam. Ia tidak tergantung pada keadaan di luar, seperti pujian, celaan, uang, nama besar ataupun kenikmatan badan. Kita akan merasa cukup dengan diri kita sendiri.

Kita tidak tergoda untuk korupsi ataupun mencuri. Kita tidak tergoda untuk hidup mewah. Kita akan hidup dengan cukup, sederhana dan nyaman. Inilah kebahagiaan yang sejati.

Tiga, dari kejernihan dan kedamaian, kita lalu bisa mengambil tindakan yang tepat, sesuai dengan keadaan. Apa masalah di depan mata? Apa yang bisa saya bantu? Dengan kejernihan dan kedamaian, kita bisa melakukan analisis keadaan, menentukan bentuk tindakan, lalu bertindak.

Tindakan semacam ini tidak lahir dari emosi. Ia tidak lahir dari kemarahan, kebencian ataupun keinginan yang membabi buta. Ia lahir dari kejernihan dan kedamaian yang sejati. Semua orang, tanpa kecuali, perlu untuk menerapkannya.

Anti Jadoel

Tidak ada rumusan moral baku di Zen. Tidak ada ajaran dari jaman dahulu yang harus dipercaya buta. Tidak ada cara berpakaian jadoel yang harus digunakan. Zen menolak semua ajaran moral yang sudah membeku, karena itu semua akan menciptakan penindasan dan kemunafikan, seperti yang terjadi di Indonesia.

Jika tiga hal di atas dilatih dengan baik, maka ia akan menjadi kebiasaan. Zen akan menjadi karakter yang tercermin dalam laku hidup sehari-hari. Tentu saja, ada masanya, dimana emosi menguat, dan keputusan yang salah dibuat. Namun, ini semua adalah proses belajar. Kita hanya perlu terus berlatih, tanpa henti.

Zen itu relevan untuk segala jaman dan keadaan. Semua profesi bisa mendapatkan manfaat besar darinya. Hidup kita akan berubah. Jadi, tunggu apa lagi? Bangunlah Indonesia, dan keluarlah dari kebodohan yang anda buat sendiri!

***cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Keluar dari Perdebatan-perdebatan Hampa

$
0
0

Madrid surrealism show offers escape from pandemic reality | Spain | The  GuardianOleh Reza A.A Wattimena

Hampir 20 tahun, saya mendalami filsafat secara sistematik. Dalam kaitannya dengan teologi dan agama, ada perdebatan-perdebatan abadi yang muncul dalam wacana filsafat. Saya berpendapat, bahwa perdebatan-perdebatan itu hampa. Semua itu muncul dari kesalahpahaman yang berakar pada agama-agama Timur Tengah.

Ada enam isu yang terus muncul. Pertama adalah isu tentang kaitan antara agama dan ilmu pengetahuan, juga antara iman dan ilmu. Agama dianggap berpijak pada kepercayaan murni. Sementara, ilmu berpijak pada akal budi murni. Hubungan keduanya rumit, seringkali penuh kekerasan, dan tak akan bisa terdamaikan sepenuhnya.

Yang kedua adalah soal Tuhan dan penderitaan. Jika Tuhan itu maha penguasa dan penuh kasih, mengapa manusia terus hidup dalam bencana? Mengapa orang-orang tak berdosa harus hidup dalam penderitaan? Sampai kapanpun, hal-hal ini tak akan terjawab secara memuaskan.

Yang ketiga adalah soal penciptaan. Agama melihat proses penciptaan dalam hitungan hari. Sementara, ilmu pengetahuan melihat proses penciptaan dari kaca mata evolusi, yakni proses miliaran tahun yang melahirkan kehidupan dengan segala keragamannya. Sampai detik ini, beberapa kelompok agama terus ngotot dengan kepercayaannya, dan kaum ilmuwan menertawakan itu sebagai lelucon konyol.

Yang keempat adalah soal pertentangan antara kebebasan dan takdir Tuhan. Jika semua sudah digariskan oleh Tuhan, lalu apakah kita bebas? Ada macam-macam teori untuk menjawab ini. Semuanya tak akan pernah memuaskan.

Yang kelima adalah soal LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer). Agama-agama Timur Tengah selalu keras dan bingung dalam menanggapi soal ini. Akibatnya adalah kekerasan dan ketidakadilan yang berkepanjangan terhadap beberapa kelompok masyarakat. Persoalan LGBTQ pun sering menjadi cara untuk membuat keadaan panas, dan memecah belah masyarakat, terutama menjelang pemilihan umum politik.

Yang keenam adalah surga dan neraka. Menurut agama-agama Timur Tengah, orang baik masuk surga, setelah ia mati. Orang jahat masuk neraka, juga setelah ia mati. Masalahnya, tidak ada satupun bukti nyata tentang keberadaan surga dan neraka. Para ilmuwan juga melihat ini sebagai lelucon konyol. Soal surga dan neraka setelah kematian ini juga tak akan ada jawaban yang memuaskan.

Akar dari Kehampaan

Ada tiga alasan, mengapa saya melihat kelima hal di atas sebagai perdebatan hampa. Pertama, seluruh kebingungan di atas muncul, karena kita memahami Tuhan sebagai raja yang maha kuasa dan maha pengasih yang terpisah dari diri kita sendiri. Tuhan berada di luar diri manusia, dan menentukan sepenuhnya hidup manusia. Pandangan ini tidak tepat.

Dua, semua ajaran agama Timur Tengah dianggap turun dari Tuhan langsung. Maka, ia bersifat mutlak. Ia tidak boleh ditanggapi secara kritis. Ini membuat banyak orang tidak lagi menggunakan akal sehat, nurani dan sikap kritisnya, ketika beragama. Ini juga tidak tepat.

Tiga, dua hal sebelumnya menciptakan dualisme amat kuat di dalam agama-agama Timur Tengah. Baik buruk, benar salah, dosa suci, surga neraka dan sebagainya. Dunia dibagi dua dengan keras dan sembarangan. Akibatnya, orang terus hidup dalam tegangan, baik di dalam dirinya maupun di dalam hidup bersama. Tegangan ini yang melahirkan banyak kemunafikan, seperti mengaku damai, tapi menciptakan konflik terus menerus.

Keluar dari Perdebatan-perdebatan Hampa

Semua kebingungan dan ketegangan di atas tidak terjadi di dalam filsafat Asia. Filsafat Asia berpijak pada Dharma, yakni hukum-hukum alam sebagaimana adanya. Filsafat Asia adalah tradisi leluhur kita di Indonesia. Dengan berjalannya waktu, kita melepaskan hubungan kita dengan leluhur, dan memeluk agama asing dari tanah asing.

Ada lima hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, di dalam filsafat Asia, iman tidak datang dari kepercayaan buta, tetapi dari eksperimen yang berkepanjangan, seperti meditasi, Yoga, Zen, Samadhi, dan sebagainya. Tidak ada perbedaan antara agama dan ilmu. Semuanya adalah jalan untuk sampai pada pencerahan dan pembebasan.

Dua, di dalam filsafat Asia, penderitaan tidak datang dari Tuhan. Penderitaan adalah hasil dari kesalahan cara berpikir. Ini berakar pada ego manusia yang kuat dan tak terkendali. Ego menciptakan keinginan liar yang tak sejalan dengan kenyataan. Inilah akar penderitaan. Tidak ada hubungannya dengan Tuhan.

Tiga, di dalam filsafat Asia, pencipta segalanya adalah kesadaran. Kesadaran ini ada di dalam diri manusia, dan terhubung dengan seluruh semesta. Seluruh alam semesta adalah kesadaran/Tuhan yang hidup, termasuk diri kita. Maka, keberadaan alam semesta itu abadi, walaupun bentuknya terus mengalami perubahan.

Empat, manusia bebas disini dan saat ini. Ada stuktur sosial dan sejarah yang mempengaruhinya. Namun, jika ia melatih batinnya dengan tepat, ia sepenuhnya bebas disini dan saat ini. Ia bisa memilih jalan hidupnya dengan kesadaran yang ada.

Lima, tubuh manusia, baik gender maupun kecenderungan seksualnya, hanyalah bagian kecil dari kehidupan. Filsafat Asia tak pusing soal ini. Silahkan setiap orang menjalankan pilihan hidupnya masing-masing, sejauh tak mengancam kebebasan dan hak orang lain. Filsafat Asia lebih melihat pentingnya pembebasan dan pencerahan yang melampaui tubuh manusia.

Enam, surga dan neraka adalah keadaan batin. Orang yang penuh kebencian akan menderita batinnya, seperti hidup di neraka. Orang yang melatih batinnya, dan bisa menemukan kedamaian di dalam dirinya, akan bahagia. Inilah surga. Surga dan neraka tidak terjadi setelah kematian, melainkan disini dan saat ini.

Filsafat Asia memberikan jawaban yang logis, jernih, sederhana dan masuk akal tentang kehidupan. Ia tidak membuat kita pusing dengan perdebatan-perdebatan hampa. Pun jika ada diskusi, itu adalah diskusi yang produktif. Kita jadi punya tenaga dan waktu untuk mulai melatih diri. Dengan ini, kita bisa mencapai pencerahan dan pembebasan dari semua derita kehidupan.

Mengapa Kita Terjebak pada Kehampaan?

Kita tetap terjebak pada perdebatan-perdebatan hampa, karena tiga hal. Pertama, kita melekat pada tradisi lama. Kita mengira, tradisi lama dari tanah asing sebagai kebenaran mutlak. Akhirnya, akal sehat, nurani dan sikap kritis kita terbelenggu.

Dua, kita mengalami apa yang disebut Martin Heidegger, pemikir Jerman, sebagai ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Kita mengikuti kecenderungan lingkungan sosial kita, tanpa bertanya. Kita tunduk pada tekanan sosial. Akibatnya, kita terjebak pada lingkaran kebodohan yang sama, dan menjadi manusia-manusia palsu (das Man).

Tiga, agama-agama Timur Tengah masih menguasai sumber daya politik dan ekonomi di Indonesia. Banyak orang merasa diuntungkan dari kekayaan politik dan ekonomi tersebut. Akibatnya, filsafat Asia, tradisi Dharma leluhur, akal sehat, sikap kritis dan kejernihan nurani tak laku di pasaran. Selama hubungan-hubungan kekuasaannya masih seperti ini, perubahan ke arah kebaikan akan sulit terjadi.

Saya ingin mengajak kita keluar dari perdebatan-perdebatan hampa. Saya ingin mengajak kita kembali melihat kebijaksanaan leluhur kita di Indonesia. Inilah renaisans yang sesungguhnya di Indonesia. Hanya dengan kembali menengok ajaran-ajaran luhur nenek moyang kita dengan sikap ilmiah modern, kita bisa keluar dari abad kegelapan, dan memasuki abad pencerahan. Tunggu apa lagi?

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Neuro(Z)en: Menjadi Bijaksana secara Ilmiah

$
0
0

Pin on * First Aid Kit InventoryOleh Reza A.A Wattimena

Dua tahun belakangan, karena tuntutan pekerjaan, saya tenggelam dalam kajian neurosains dan filsafat. Banyak hal yang membuka mata saya. Beberapa tulisan sudah diterbitkan di http://www.rumahfilsafat.com dan beberapa jurnal. Tahun depan, ada tawaran mendadak untuk memberikan beberapa materi terkait soal serupa.

Neurosains adalah kajian ilmiah tentang hubungan antara otak, kompleksitas sistem saraf dan hidup manusia secara keseluruhan. Kajian ini dimulai pada akhir abad 20, dan meledak di awal abad 21, sampai sekarang. Begitu banyak eksperimen dilakukan. Banyak hal baru yang ditemukan, atau pandangan lama yang mengalami pembuktian.

Saya sendiri tidak tertarik pada eksperimen neurosains di laboratorium. Itu terlalu kering dan membosankan untuk saya. Saya lebih tertarik pada dampak dari temuan kajian-kajian neurosains pada hidup manusia secara umum. Sebagai praktisi Zen full time, temuan-temuan tersebut sungguh sangat mencerahkan.

Dunia Seolah-olah

Yang paling menarik adalah soal kenyataan. Apa yang kita sebut kenyataan bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Ia adalah sebuah model yang diciptakan oleh otak. Model tersebut terbatas pada kemampuan otak manusia, dan dari organ-organ yang menopangnya, yakni panca indera dan sistem saraf yang kompleks.

Konsekuensinya, warna, bentuk dan bau yang kita cium bukanlah kenyataan. Itu semua adalah ciptaan dari otak dan sistem-sistem yang menopangnya. Kenyataan yang sebenarnya tak berwarna, berbentuk dan berbau. Kita tak bisa sungguh memahaminya dengan akal budi, karena itu di luar jangkauan kemampuan kita sebagai manusia.

Otak manusia juga adalah organ yang selektif. Ia menerima banyak informasi. Dengan bekal informasi yang ada, otak kita memilih apa yang paling relevan. Dari situ, model dari kenyataan pun dibentuk. Kita menyebutnya sebagai “realitas”.

Mengapa otak melakukan itu? Seperti segala yang ada di dalam tubuh manusia, semua ditujukan untuk pelestarian diri (survival). Evolusi jutaan tahun telah membuat manusia menjadi mahluk multisel yang sangat kompleks. Gambaran tentang kenyataan, sebagaimana dibuat oleh otak dan berbagai sistem yang menopangnya, adalah hasil dari kompleksitas tersebut.

Cerita-cerita

Otak juga bekerja dengan membangun cerita. Ia membangun cerita tentang dunia. Ia membangun cerita dengan warna, bentuk dan bau tertentu. Semua ini khas manusia. Hewan, dengan struktur otak dan sistem saraf yang berbeda, memiliki gambaran kenyataan yang berbeda.

Salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang keberadaan ego, atau diri. Otak membuat cerita, bahwa setiap orang adalah ego yang mandiri satu sama lain. Ada perbedaan mendasar antara satu orang dengan orang lainnya, atau antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Cerita tentang ego, yang sesungguhnya hanya ilusi, inilah yang menjadi akar derita dan perang sepanjang sejarah manusia.

Cerita lain adalah soal waktu. Otak membuat setiap kejadian seolah linear, yakni terjadi berurutan. Ada awal, tengah dan akhir. Ini juga bukan kenyataan, melainkan hanyalah “model” kenyataan yang dibuat oleh otak dengan berbagai sistem yang menopangnya. Waktu hanyalah ciptaan otak.

Neuro(Z)en

Temuan-temuan neurosains berjalan bareng dengan tradisi Zen. Sudah ribuan tahun, Zen, dan tradisi Buddhis pada umumnya, melihat kenyataan sebagai sesuatu yang kosong. Kenyataan adalah keterbukaan total pada segala yang ada. Tidak ada ego, waktu, warna, bentuk dan bau di dalamnya. Ini bukanlah ajaran yang harus dipercaya buta, melainkan lahir dari eksperimen yang teruji nyata berulang kali.

Otak bergerak dengan membangun cerita. Cerita tersebut hanyalah model, bukanlah sesuatu yang nyata. Namun, kita kerap lupa akan hal ini. Kita mengira mimpi sebagai kenyataan, dan akhirnya terjebak, karena kebodohan kita sendiri.

Zen ingin mengajak kita semua kembali ke kenyataan. Ini berarti kembali sebelum cerita. Kita melampaui unsur-unsur biologis yang selama ini menentukan hidup kita. Kita menjadi bebas seutuhnya.

Inilah yang disebut sebagai pencerahan di dalam tradisi Zen. Orang hidup dari kesadaran atas dunia sebagaimana adanya. Ia berada di titik sebelum pikiran muncul. Ia juga berada sebelum bahasa, konsep maupun teori.

Hasilnya adalah kejernihan dan kedamaian batin yang mendalam. Kita mengalami dunia seutuhnya disini dan saat ini. Pertimbangan kita menjadi sepenuhnya obyektif, karena tidak lagi dikotori oleh kepentingan diri yang sempit. Tindakan yang tepat pun akan muncul, sesuai dengan keadaan nyata di depan mata.

Tak ada ajaran yang perlu diimani secara buta. Tak ada neraka yang perlu ditakuti. Tak ada surga palsu yang digunakan untuk menipu. Tak ada dongeng yang mesti dipercaya mentah-mentah. Tak ada ibadah yang merusak ketenangan hidup bersama.

Semua menjadi sederhana. Pikiran digunakan seperlunya. Jika tak digunakan, kita kembali ke sebelum cerita, yakni sebelum pikiran. Kejernihan dan kedamaian akan datang berkunjung.

Jika lapar, maka kita makan. Jika lelah, maka kita beristirahat. Jika ada orang susah, maka kita membantunya semampu kita. Inilah kebijaksanaan yang berpijak pada ilmu pengetahuan: Kebijaksanaan ilmiah untuk manusia abad 21.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Belajar untuk Menderita

$
0
0

WebSyters | Suffering in silence, Art, Fictional charactersOleh Reza A.A Wattimena

Sejak kecil, kita diajarkan untuk menjadi juara. Kita diminta untuk melakukan yang terbaik di segala hal. Sistem sekolah mendukung hal itu. Sistem ekonomi kapitalisme Indonesia juga sejalan dengan itu.

Namun, kita tak pernah diajarkan untuk kalah. Kita tidak pernah diajarkan untuk menderita. Padahal, di dalam hidup, orang tak selalu bisa menang dan senang. Derita dan kekalahan kerap datang berkunjung, tanpa diundang.

Akibatnya, ketika derita datang, kita panik. Kita hanyut dalam emosi berlebihan. Kita marah secara berlebihan. Atau, kita tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut.

Ajaran Salah

Di hadapan emosi kuat, biasanya ada dua cara yang diajarkan masyarakat. Pertama, kita perlu mengekspresikannya. Ini berbahaya, karena bisa melukai orang lain. Kedua, kita menekannya, atau mencari pelarian. Ini juga berbahaya, karena tidak menyelesaikan masalah, dan memendam emosi kuat juga merusak kesehatan.

Juga ketika kalah, kita sulit menerima. Bahkan, hati kita penuh dengki dan dendam, ketika menderita kekalahan. Kita pun mulai berniat jahat. Kita menempuh cara-cara curang untuk mencapai keinginan kita.

Maka, kita perlu untuk belajar untuk kalah. Kita perlu belajar untuk menderita. Ini merupakan salah satu hal penting di dalam menjalani hidup. Tanpa kemampuan untuk menderita, hidup justru akan terasa amat berat.

Belajar untuk Menderita

Ada enam hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, semua penderitaan lahir dari pikiran. Emosi juga adalah sebentuk pikiran, namun dengan energi lebih kuat. Ketika pikiran muncul, cukup diamati dengan tenang. Jangan menilai, menolak atau mengejar pikiran. Cukup amati dengan tenang dan lembut.

Pikiran itu sementara sifatnya. Ia tidak memiliki bentuk yang kokoh. Ia seperti pelangi. Pikiran ada, namun transparan, dan sementara. Ketika kita mengamatinya, pikiran akan muncul, dan akan segera pergi.

Dua, pikiran berubah. Namun, kesadaran tidaklah berubah. Kesadaran ini bersifat kosong, namun sepenuhnya hidup. Ia adalah sang pengamat di dalam diri. Ia berada sebagai latar belakang dari semua pengalaman kita. Kesadaran ini adalah diri kita yang alami, yang sejati.

Kita perlu mengenalinya. Lalu, kita perlu berada bersama kesadaran sesering mungkin: menyadari kesadaran. Pikiran dan emosi tidak akan menganggu kita. Mereka datang, dan pergi dengan leluasa.

Tiga, kita perlu belajar dari filsafat Stoa tentang amor fati, yakni menerima segala yang terjadi dengan lapang dada. Apapun yang terjadi, itu sudah merupakan jalan kita. Tuhan atau semesta yang menghendakinya. Kita perlu menerimanya dengan lapang dada, dan melakukan apa yang kita bisa untuk menanggapinya.

Empat, kita juga perlu sadar, bahwa hidup ini sementara. Kematian bisa menjemput setiap saat. Inilah yang disebut sebagai memento mori, yakni mengingat terus, bahwa kita akan mati. Dengan kesadaran akan kematian ini, hidup kita jadi berharga dari saat ke saat. Tak ada waktu yang dibuang percuma untuk marah, dendam atau sedih berlarut-larut.

Lima, Simon Sinek, pemikir asal Amerika Serikat, punya pandangan menarik tentang hidup. Baginya, hidup itu adalah permainan tak terbatas. Kadang kita kalah. Kadang kita menang. Kadang kita bahagia. Terkadang kita menderita.

Itu semua tak menjadi masalah. Kita hanya perlu melakukan yang terbaik setiap saatnya. Kita hanya perlu mengenali jati diri kita yang asli, dan berusaha sebaik mungkin atas apa yang kita lakukan. Ini, menurut Sinek, adalah jalan hidup yang terbaik.

Enam, para master Vajrayana dari aliran Buddha Tibet berulang kali mengingatkan: dari kaca mata absolut, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang dalam hidup ini. Tak ada yang bahagia, dan tak ada yang menderita. Kita hanya perlu melihat hidup ini dari kaca mata absolut tersebut.

Artinya, kita mengambil peran sebagai pengamat yang netral. Di hadapan kita, ada kehidupan dengan segala warnanya. Itu semua seperti tarian. Kita adalah penonton netral yang melihat itu semua, dan mungkin terkadang ikut menari.

Belajar untuk menderita adalah salah satu hal terpenting dalam hidup. Kita tak boleh mengabaikannya. Jika tak memahami cara untuk menderita, maka kita belum mengerti hidup di dalam keseluruhannya. Hidup kita pincang. Ketika derita berkunjung, kita pun jatuh terpuruk. Apakah itu yang kita inginkan?

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Ketika Difitnah: Sebuah Perspektif Zen

$
0
0

Jaundice. alex gross | Surrealism painting, Graphic design photo  manipulation, Pop surrealismOleh Reza A.A Wattimena

Kata pepatah, fitnah lebih jahat dari pembunuhan. Tampaknya, ungkapan itu memang benar. Jika dibunuh, orang kehilangan tubuhnya. Jika difitnah, tanpa tanggapan yang tepat, orang bisa kehilangan mata pencahariannya, harga dirinya dan bahkan juga hidupnya.

Saya sendiri sudah berulang kali difitnah. Karena iri atau salah paham, banyak kebohongan disebarkan tentang diri saya. Ada fitnah yang sungguh merusak, sampai mempengaruhi banyak sisi hidup saya. Namun, sebagian besar fitnah hanya gosip di belakang yang tak bermakna.

Mungkin, yang paling menyakitkan terjadi, jika fitnah dilakukan oleh orang yang dekat di hati. Ini juga terjadi pada saya di masa lalu. Memang, seingat saya, rasanya begitu menyakitkan. Walaupun, fitnah tersebut juga akhirnya lenyap ditelan waktu dan peristiwa.

Di jaman digital ini, memfitnah menjadi begitu mudah. Sebuah kebohongan dengan mudah tersebar, dan dipercaya oleh massa yang tak berpikir. Memfitnah pun menjadi bagian dari gosip digital yang lumrah terjadi. Jaman digital menghadirkan kesempatan nyaris tak terbatas untuk menjadi peternak fitnah.

Dampak Fitnah

Ada ragam tanggapan terhadap fitnah, jika ia terjadi. Pertama, reaksi pertama banyak orang, ketika difitnah, adalah marah. Mereka merasa terhina, dan terbakar oleh emosi yang membara. Tak jarang, niat membalas pun muncul, dan konflik fisik yang bersifat massal pun terjadi, seperti perang antar kampung, antar ras dan antar agama.

Dua, banyak juga orang menolak percaya. Ini terjadi, terutama jika fitnah dilakukan oleh orang-orang yang dekat di hati. Orang tercengang oleh peristiwa yang terjadi di luar tata akal sehat. Dibarengi oleh amarah yang membara, rasa tak percaya menghadirkan derita batin yang sungguh menyiksa.

Tiga, depresi biasanya datang mengikuti. Orang merasakan kesedihan mendalam untuk jangka panjang. Fitnah sudah lama terjadi, dan mungkin sudah terlupakan di masyarakat luas. Namun, bagi si penderita fitnah, siksaan terus terjadi, serta membuat hidup terasa gelap dan suram.

Empat, depresi juga menggoyang harga diri. Orang merasa, dirinya tak berharga. Ia bisa begitu mudah dibuang, ketika pendiriannya bertentangan dengan tradisi yang digenggam erat oleh mayoritas. Ketika harga diri tergores dalam, bahkan hancur berkeping-keping, rasa ingin mati pun tak terhindarkan.

Fitnah, bagi manusia biasa, jelas punya dampak merusak. Derita yang muncul kerap tak tertanggungkan. Namun, dampaknya tak harus seperti ini. Ada jalan lain, yakni jalan Zen.

Jalan Zen adalah jalan pembebasan dari ilusi. Ilusi tersebut adalah sumber penderitaan yang amat besar. Dengan menyadari ilusi sebagai ilusi, kelegaan akan timbul seketika. Sebenarnya, ini proses yang amat sederhana, namun kerap luput dari mata yang terus mencari di kejauhan.

Mengapa Difitnah Menyakitkan?

Mengapa difitnah menyakitkan? Ada empat hal yang penting untuk dipahami. Pertama, ego yang kuat justru amat rapuh, ketika dihina, atau difitnah. Ego adalah rasa keakuan. Di dalamnya terkandung ingatan yang membentuk identitas. Di dalam ego yang kuat, kesombongan juga amat kuat berakar. Kesombongan yang terselip di dalam struktur ego inilah yang sangat tersiksa, ketika difitnah.

Dua, orang menderita dalam fitnah, karena ia sudah dicuci otaknya sejak kecil. Orang diajarkan, bahwa hidup haruslah memperoleh pujian. Jika tak dipuji, maka ia murka dan kecewa. Masyarakat kita menciptakan manusia-manusia yang kecanduan pujian.

Tiga, cuci otak kedua adalah cuci otak untuk takut dicela. Kita dididik untuk menghindari celaan. Kita dididik untuk takut pada hinaan. Ini membuat batin kita rapuh, ketika celaan, baik dalam bentuk fitnah atau yang lain, menghantam.

Empat, jika kita tak takut dicela dan tak haus pujian, siapa diri kita? Inilah jalan Zen untuk mengungkap jati diri kita yang sebenarnya. Jati diri itu sebelum suka dan tidak suka, sebelum celaan dan pujian. Jika orang tak paham jati diri aslinya, maka ia dengan mudah digoyahkan oleh pujian dan celaan, termasuk oleh fitnah.

Menyingkapi Fitnah

Fitnah tak harus menjadi petaka. Ia bisa menjadi kesempatan untuk melatih batin. Ia bisa menjadi kesempatan untuk mengenali diri kita yang sebenarnya. Ada empat hal yang kiranya penting untuk dicatat.

Pertama, setiap pujian, fitnah ataupun celaan selalu dilontarkan pada ego abstrak. Ini adalah ego hasil ciptaan orang yang memuji dan mencela. Ini seperti orang yang menyerang asap. Seolah ada, tetapi sungguhnya hanya kabut tanpa bentuk. Maka, menanggapi pujian ataupun celaan secara serius adalah sebuah tindakan bodoh.

Dua, orang menjadi pelaku fitnah, karena mereka menderita. Mereka hidup dalam kebencian membara yang menyiksa jiwa. Justru, mereka perlu dikasihani. Pemahaman ini melahirkan belas kasih terhadap orang yang berbuat jahat terhadap kita.

Tiga, emosi membara, ketika fitnah terjadi pada diri kita. Ini kesempatan untuk sungguh mengamati emosi yang membara dalam batin. Tujuannya sederhana, supaya kita sungguh mengalami, betapa sementaranya emosi itu. Pada satu titik, emosi hanya menjadi tamu yang numpang lewat, tanpa banyak mengganggu batin.

Empat, emosi datang dan pergi. Siapa yang mengamati emosi tersebut silih berganti? Ini adalah keheningan yang sadar, atau jati diri kita yang asli. Kita perlu menyadari keheningan tersebut, dan bertindak darinya.

Dalam konteks fitnah, jika perlu penjelasan, maka kita menjelaskan. Jika hanya perlu diabaikan, maka kita juga mengabaikan dengan legawa. Bertindak tepat berarti bertindak dari titik hening yang mengamati pergantian emosi tersebut. Inilah inti utama dari jalan Zen.

Pada satu titik dalam hidupnya, setiap orang pernah menjadi korban fitnah. Ini bisa sangat menyakitkan, jika orang tak memiliki pemahaman yang tepat. Zen menawarkan kejernihan batin untuk menanggapi segala keadaan. Fitnah bisa menjadi berkah, ketika ia dilihat sebagai kesempatan untuk melatih batin, dan mengenali diri kita yang sebenarnya.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Keindahan dari Kesementaraan (Dari Friedrich Nietzsche sampai Taylor Swift)

$
0
0

Taylor Swift's Video for "Style" Is Totally Dreamy | InStyleOleh Reza A.A Wattimena

Tak biasanya, saya mendengar lagu-lagu baru. Namun, ini perkecualian. Taylor Swift, salah satu musisi perempuan terbaik di dunia saat ini, merekam dan menyebarkan ulang salah satu lagu lamanya. Judulnya All too Well (10 Minute Version) (Taylor’s Version) (From the Vault).

Lagu itu unik. Durasinya 10 menit. Ini sungguh tak biasa untuk musik jaman sekarang. Itu juga salah satunya yang membuat saya tertarik. Anda juga bisa melihatnya dengan gratis di Youtube, termasuk film pendek yang dibuat atasnya.

Lagu itu berisi tentang duka dan luka yang diawali dengan cinta emosional. Ingatan tentang peristiwa masih tergores jelas. Ceritanya sederhana. Namun, liriknya sangat kuat, dan amat menggores di hati.

Ada yang indah dalam luka. Itu kiranya yang ditawarkan oleh Swift. Ada juga kritik terhadap budaya patriariki di dalam lagu tersebut. Sang pria mempermainkan hidup sang perempuan, dan meninggalkannya dalam luka begitu saja.

Yang kuat dari lagu itu adalah gambaran atas ingatannya. Ini mengingatkan saya pada satu hal, bahwa waktu dan peristiwa itu unik. Keduanya tak berulang. Keduanya sama rapuhnya, seperti kapas atau awan.

Lagu tesebut mencecap begitu dalam kenangan. Warna dan lirik dilukis di atas ingatan. Luka bisa menjadi inspirasi yang begitu menyakitkan. Ia adalah lagu yang dinyanyikan di atas kesementaraan dari kenyataan.

Segalanya sementara. Cinta sekuat apapun akan berakhir. Hidup sebahagia apapun akan dijemput ajal. Kesombongan sungguh tak masuk akal di hidup yang segera berlalu ini.

Di satu sisi, ini mengundang kesedihan. Segala upaya akan menjadi debu kenangan di dalam guratan sejarah. Segalanya pun terasa sia-sia. Tapi, Swift tidak melihatnya begitu.

Sisi lain dari kesedihan adalah inspirasi. Berjuta karya berharga lahir dari luka yang diberikan makna. Ini kiranya kutukan menjadi manusia. Kita tenggelam dalam ingatan, dan keluar dengan karya berharga yang lahir dari darah serta air mata.

Martin Heidegger, pemikir Jerman, mengingatkan kita tentang kerapuhan hidup. Baginya, manusia (Dasein) adalah keberadaan menuju kematian (Sein zum Tode). Tujuan dari hidup adalah kematian. Hidup menjadi bermakna, persis karena ia mengarah pada kematian.

Dzongsar Jamyang Khyentse, seorang pemikir Buddhis, juga berpikir serupa. Baginya, kesementaraan (Anicca) adalah Dharma (hukum semesta) tertinggi. Orang yang menyadarinya akan mengalami pencerahan. Ia melepaskan cengkraman pada dunia, dan hidup dari saat ke saat dengan keindahan dari kesementaraannya.

Bagi Khyentse, hidup indah, karena ia sementara. Hidup ini bermakna, persis karena kesementaraan dan kerapuhannya. Dengan sungguh menyadari ini, kita tak punya waktu untuk membenci, atau mencerca. Setiap detik sama berharganya seperti keabadian itu sendiri.

Sebaliknya, apapun yang abadi itu tak bermakna. Yang bertahan lama kerap kehilangan arti. Ia miskin luka, sehingga juga miskin cerita. Para jenius dalam sejarah menolak yang aman dan abadi, karena itu pucat dari warna serta kisah.

Pada akhirnya, segala rencana akan gagal. Segala harapan akan pupus. Segala cita-cita akan lenyap ditelan debu. Ini bukan sesuatu untuk diratapi, namun justru untuk dirayakan dalam tawa dan tari.

Sebab, beginilah hidup. Nietzsche, seorang pemikir Jerman, mengingatkan kita untuk selalu berkata YA! pada kehidupan (Das Leben, Ja zu Sagen). Hidup itu kompleks dan bergejolak dengan kontradiksi serta kerapuhan. Maka, hiduplah, dan lampaui moralitas yang menolak kehidupan atas nama surga yang tak pernah ada, begitu katanya.

Kesementaraan itu baru terasa, ketika kita gagal. Kerapuhan baru menggigit, ketika patah hati berkunjung. Kita belum sungguh mengerti hidup, jika tak pernah gagal, dan tak pernah patah hati. Luka yang disebabkannya adalah pintu menuju dunia dewasa. Ia tidak boleh ditolak, melainkan dipeluk di dalam keutuhannya.

Kita perlu menyelam ke dalam luka. Kita perlu terbuka pada luka. Kita perlu menatapnya dengan segala kesadaran yang ada. Baru dengan begitu, hati kita bisa terbuka, dan kita menjadi bijaksana seutuhnya. Inilah ajaran Dharma tertinggi.

Jalan lain hanya menggiring kita pada kedangkalan. Cerita tentang surga yang tak pernah ada hanyalah alat untuk menipu kita, dan membuat kita tunduk pada kemunafikan. Panduan moral dangkal dari ribuan tahun lalu hanya membuat kita menjadi cetek, serta miskin rasa terhadap dunia. Ilusi tentang sosok maha besar yang selalu siap membantu, bersama semua pernak perniknya, hanyalah isapan jempol belaka yang membuat kita dangkal dan bodoh.

Kita perlu keluar dari ilusi yang memperbodoh. Kita perlu menatap serta mengalami hidup sebagaimana adanya. Ia indah, persis karena ia rapuh, dan sementara. Kiranya, dengan karyanya tersebut, Taylor Swift mengajarkan kita secuil kebijaksanaan dari hidupnya. Jangan sampai kita melewatkannya.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Distraksi Sebagai Derita

$
0
0

600px-Joos_de_Momper_the_Younger,_Anthropomorphic_Landscape_c.1600-1635Oleh Reza A.A Wattimena

2022 sudah tiba. Sebenarnya, itu hanyalah angka. Ia tak sungguh punya makna. Namun, karena kebiasaan manusia selama ribuan tahun yang bersifat global, maka ia memiliki pola tetap yang bermakna.

Tahun-tahun sebelumnya tak mudah. Pandemik mengancam nyawa dan kesehatan batin banyak orang. Krisis ekonomi menggiring milyaran orang ke dalam jurang kemiskinan. Yang lebih parah, kecemasan akan masa depan yang tak pasti terus menghantui dunia.

Ini tentu tak bisa dibiarkan. Tahun baru, kita perlu cara berpikir baru. Kita tak bisa terus hanyut dalam cemas dan derita berkepanjangan. Kita perlu keluar dari neraka.

Neraka adalah keadaan batin. Ia bukanlah tempat. Ia tidak hanya ada, setelah kita mati. Detik ini dan disini, kita berada di neraka, jika batin kita tersiksa.

Sudah jelas, bahwa emosi-emosi jahat adalah neraka. Jika kita membenci, maka kita berada di neraka. Jika kita mendendam, maka kita berada di neraka. Namun, ada satu neraka yang sangat halus, sehingga kita mengabaikannya.

Dzongsar Rinpoche, Master Buddhis Tibet, menyebut neraka halus tersebut sebagai distraksi. Ia halus, tetapi bisa terjadi setiap saat. Batin yang terdistraksi adalah neraka itu sendiri. Emosi bisa kecil, namun distraksi akan menggiring orang langsung ke neraka.

Distraksi membuat orang tak sadar, apa yang sedang ia lakukan. Ia bernapas, namun ia tak sadar, bahwa ia bernapas. Orang berjalan, namun pikirannya melantur. Ia tidak sadar, bahwa ia sedang berjalan. Distraksi membuat tubuh di satu tempat, namun batin terbang jauh ke tempat lain.

Distraksi membawa ilusi. Masa lalu yang telah lama lewat seolah kembali terjadi. Hal-hal yang menyakit darinya pun terasa di masa kini. Ilusi lain terkait dengan masa depan yang belum terjadi. Distraksi menghadirkan rasa cemas luar biasa tentang apa yang belum, atau tidak akan, terjadi.

Karena distraksi, kita kehilangan saat ini. Kita kehilangan momen indah di masa kini. Padahal, masa kini ini unik. Ia tidak diulang, dan akan lewat begitu saja, jika tidak diperhatikan.

Akibatnya, emosi pun mengayun tajam. Penyesalan dan kecemasan datang silih berganti. Hidup menjadi terasa hampa dan tak bermakna. Jika ini terjadi, kita sudah berada di neraka.

Dalam jangka panjang, derita bisa menciptakan berbagai penyakit. Tubuh akan rusak, karena fungsi organ yang tak berjalan baik. Daya tahan tubuh menurun, sehingga infeksi rutin terjadi. Kewarasan pun bisa runtuh di depan mata, jika derita dibiarkan berkuasa.

Mengapa distraksi terjadi? Ini terjadi, karena kita bodoh. Kita tak paham, apa arti hidup ini. Kita mengira hidup itu berada di masa depan yang perlu terus direncanakan, atau di masa lalu yang terus diratapi.

Padahal, hidup itu sederhana. Ia terjadi disini dan saat ini, selalu. Distraksi lenyap, ketika kita hidup disini dan saat ini dengan penuh kesadaran. Ini sangat mudah, namun juga sangat sulit, terutama bagi manusia modern yang begitu terbiasa berencana jauh ke depan.

2022 sudah tiba. Tentu, kita tak mau terus berkubang dalam derita. Kita ingin keluar dari neraka. Sudah waktunya, kita belajar untuk memahami kebenaran yang selalu ada ada di depan mata kita disini dan saat ini. Jangan ditunda lagi.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/


P4 (Pertolongan Pertama pada Penderitaan)

$
0
0

face-man-migraine-aura-against-rainbow-shards-oil-surrealism-165763079Oleh Reza A.A Wattimena

“Kekuatan untuk mengubah hal-hal yang bisa diubah

Menerima hal-hal yang tak bisa diubah

Kebijaksanaan untuk membedakan keduanya”

Suasana tempat makan itu ramai. Di sana, seorang teman berkomentar tentang buku saya: Urban Zen. “Memang mengapa jika hidup itu menderita? Mengapa harus panik?”, begitu tanyanya.

Memang, hidup harus terus bahagia? Pertanyaan-pertanyaan itu penting untuk direnungkan. Hidup memang tak harus selalu bahagia. Derita adalah bagian tak terpisahkan dari hidup.

Namun, derita tak selalu sama. Ada derita biasa yang merupakan bagian dari keseharian, seperti terkena macet, pusing kepala ataupun bertengkar dengan pasangan. Namun, ada derita yang begitu kuat, seperti kehilangan orang yang dicinta, ataupun ragam kesulitan yang datang bersamaan, tanpa kompromi. Derita semacam ini menggiring orang untuk mengakhiri hidupnya, karena sudah tak tertahankan lagi.

Urban Zen

Stoa dan Zen

Maka, saya menulis artikel kecil ini. P4 bukanlah pendidikan Pancasila dogmatik ala Orde Baru dulu. P4 adalah pertolongan pertama pada penderitaan. Saya melangkah dari beberapa pandangan Stoa, lalu masuk ke kunci final, yakni jalan Zen.

Filsafat Stoa adalah salah satu aliran di dalam filsafat Yunani Kuno. Pendirinya adalah Zeno dari Athena sekitar 2300 tahun yang lalu. Ada ragam pandangan Stoa yang berasal dari berbagai tokoh, seperti Markus Aurelius dan Cicero. Stoa menekankan cara berpikir yang masuk akal dan sejalan dengan alam untuk melampaui penderitaan manusia.

Zen adalah upaya untuk memahami jati diri manusia yang asli. Di dalam sejarah, ia berkembang dari ajaran Buddha. Namun, akarnya jauh sebelum itu, yakni di dalam tradisi Upanishad dan Vedanta di India. Dengan memahami jati dirinya yang asli, manusia akan terbebas dari derita sepenuhnya.

Tujuh Prinsip

Ada tujuh hal yang penting. Yang pertama adalah soal kontrol. Kita perlu belajar untuk melepaskan hal-hal yang berada di luar kontrol. Dan, kita juga perlu bekerja sebaik mungkin untuk menata hal-hal yang bisa kita kontrol.

Cuaca, perilaku orang lain, pikiran orang lain, keadaan sosial politik global, itu semua di luar kendali kita. Kita memahaminya, tetapi tidak perlu frustasi, jika tidak mampu mengubahnya. Sebaliknya, pikiran kita, perilaku kita, kebahagiaan kita, semua ada di tangan kita. Kita perlu menatanya sebaik mungkin.

Yang kedua adalah mencintai keadaan. Seburuk apapun, kita perlu belajar untuk menerima keadaan. Hanya dengan begini, kita bisa berbuat sesuatu dengan akal sehat. Perbaikan hanya mungkin, jika kita terlebih dahulu menerima keadaan sebagaimana adanya.

Yang ketiga adalah selalu ingat, bahwa kita akan mati. Kematian tak bisa ditebak datangnya. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia, terutama untuk membenci atau marah. Setiap detik menjadi terasa berharga, dan dijalani dengan penuh kesadaran.

Yang keempat terhubung dengan sebelumnya, yakni hidup berkesadaran. Pandangan ini ditemukan di dalam filsafat Stoa maupun Zen. Artinya, apapun yang terjadi, setiap saatnya, semua disadari sepenuhnya. Tak ada penolakan apapun, walaupun mungkin derita sedang berkunjung.

Yang kelima adalah mengelola harapan. Para filsuf Stoa menyarankan, agar setiap pagi, kita membayangkan segala hal yang buruk terjadi. Ini dilakukan, supaya kita siap, jika mereka datang. Jika mereka tak datang, kita bisa merasa lega. Yang membuat kita kecewa bukanlah keadaan, tetapi harapan kita yang terlalu tinggi.

Yang keenam adalah membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Keinginan manusia tak terbatas, bahkan kerap diciptakan oleh kekuatan pasar yang tak masuk akal. Namun, kebutuhan manusia terbatas, dan amat masuk akal untuk dipenuhi. Belajar membedakan ini, dan berfokus pada kebutuhan, akan membuat hidup jauh lebih ringan untuk dijalani.

Yang ketujuh berakar pada pandangan Zen. Segala sesuatu itu kosong, termasuk diri kita sendiri. Kata dan konsep membuat sesuatu itu seolah kokoh. Namun, ini hanya ilusi. Kenyataan yang sebenarnya, termasuk diri kita, adalah kosong.

Menyadari kekosongan berarti mengalami pencerahan. Tak ada lagi subyek dan obyek. Tak ada lagi aku, kamu, mereka, kalian, kami dan kita. Semua hal melebur menjadi satu di dalam kekosongan. Derita berakhir sampai ke akar, dan kita akan kembali ke fitrah, yakni sebagai mahluk semesta yang tak memiliki batas.

Derita bisa menjadi pintu masuk untuk perubahan hidup. Derita bisa menjadi panggilan untuk hidup lebih dalam dan utuh. Stoa dan Zen bisa membantu kita dalam hal ini. Selamat menerapkannya.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Bisa Mudah, Bisa Sulit, Mau yang Mana?

$
0
0

12121212 (1)Oleh Reza A.A Wattimena

Beberapa kali, saya berbicara tentang Zen di acara publik. Ini sudah beberapa tahun terjadi. Ada yang di luar jaringan (offline), ada yang di dalam jaringan (online). Seorang teman pun berkomentar.

“Mengapa kamu tidak pernah mengutip teks-teks klasik? Mengapa tidak mengacu pada ortodoksi, terutama ortodoksi Dharma di dalam ajaran Vedanta, Hindu dan Buddhis?” Tidak sekali saya mendapat pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Jawaban saya pun selalu sama.

Jalan pembebasan itu seluas semesta. Ada yang sulit, yakni yang mengacu pada ortodoksi agama. Ada yang sangat mudah dan langsung, seperti Zen. Mau pilih yang mana?

Jalan Ortodoksi

Jika mengacu pada ortodoksi agama, maka banyak yang mesti diperhatikan. Ada aturan moral yang, seringkali, ketinggalan jaman. Ada tradisi. Ada ritual yang panjang dan, kerap kali, tidak jelas tujuannya.

Contoh sederhana dari jalan pembebasan yang ditawarkan Gautama, atau sang Buddha. Ada empat kebenaran mulia. Lalu, ada delapan jalan yang pecah dari empat kebenaran itu. Pengetahuan dan metode yang ditawarkan pun sangat kompleks.

Ada tiga ciri dasar dari kenyataan. Ada empat dasar dari hidup berkesadaran. Ada lima penyusun dari keberadaan manusia. Ada lima penghalang dari pembebasan. Ada tiga kotoran batin.

Semua daftar tersebut juga mengandung konsep dalam bahasa Sanskrit atau Pali, yakni bahasa klasik di dalam tradisi India. Jika diminta, saya bisa menjelaskan semua konsep tersebut. Namun, sampai sekarang, tak ada yang meminta. Yah, saya santai saja.

Masih ada juga tafsiran atas berbagai ajaran tersebut. Masih banyak daftar lainnya, dan itu tersebar di berbagai teks klasik. Jika ditelusuri, ini seperti tak ada habisnya. Akibatnya, orang bingung.

Orang bisa tersesat di belantara konsep. Orang jadi malas untuk belajar lebih jauh. Apalagi, kita hidup di masa digital, dimana orang bergerak sangat cepat. Waktu dan kesempatan untuk berpikir mendalam menjadi sangat kecil, bahkan hilang sama sekali. Jalan yang rumit khas ortodoksi tentu harus mengalami perubahan.

Hal serupa terjadi di dalam tradisi Vedanta, Yoga dan Hindu. Filsafat yang ditawarkan begitu dalam dan luas. Postur Yoga yang diajarkan juga kerap kali amat sulit. Ada beragam tipe dan tingkatan Samadhi. Untuk mencegah jatuhnya orang ke dalam kebingungan, terutama di masa digital yang serba cepat sekarang ini, cara baru tentu diperlukan.

Jalan Tol Pembebasan

Sejauh pemahaman saya, semua jalan pembebasan kembali pada satu konsep, yakni “saat ini”. Detik ini, apakah kamu sadar, atau tidak? Apakah kamu hanyut dalam pikiran dan emosi? Apakah kamu hanyut dalam ingatan dan bayangan?

Jika hanyut dalam pikiran dan emosi, maka kita terbelenggu. Jika kita hanyut ke masa lalu atau masa depan, maka kita menderita. Ini sederhana. Namun, penerapannya mesti dilatih setiap saat.

Masa lalu sudah lewat. Tak ada yang banyak bisa diperbuat. Kita bisa belajar darinya. Lalu, kembali ke “saat ini”.

Masa depan tak akan pernah tiba. Kita bisa membayangkan beragam hal. Kita bisa membuat berbagai rencana. Namun, kita harus selalu kembali pada kebenaran di sini dan saat ini. Inilah inti utama dari Dharma sebagai jalan pembebasan.

Di saat ini, apa yang terbaik bisa dilakukan? Jika saya sedang berjalan, saya perlu berjalan dengan sepenuh hati. Jika saya bekerja sebagai guru, saya perlu menjadi guru terbaik yang saya bisa. Di sini dan saat ini, hidup sepenuhnya, maka kita terbebaskan. Itu cukup.

Tak ada konsep rumit yang mesti dipikirkan. Tak ada kata asing yang mesti dihapalkan. Tak ada guru yang mesti dipuja secara buta. Tak ada aturan moral rumit yang membuat pusing kepala.

Sejauh saya amati, jalan ortodoksi yang rumit juga kerap menjadi pengalihan. Kita sibuk mengejar hal-hal yang tak penting. Bahkan, kita ingin menjadi sakti, dan justru memperkuat ego kita. Dengan pola itu, penderitaan yang kita alami justru semakin besar.

Ada banyak jalan untuk pembebasan. Ada yang rumit, dan itu mungkin dibutuhkan oleh sebagian orang. Ada yang sederhana dan langsung, seperti yang menjadi minat saya, dan saya tawarkan ke publik. Silahkan dipilih.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Bunuh “Tuhanmu”, Bunuh “Orang Tuamu”, lalu…. Bunuh “Dirimu” Sendiri

$
0
0

5ac1a5cc173ad462474c68f84191de6e--science-illustration-weird-art

Oleh Reza A.A Wattimena

Percakapan di kafe sederhana itu memanas. Seorang teman minta dijelaskan, apa inti utama dari Zen. Saya menjawab: bunuh “tuhanmu”, “orang tuamu” lalu “dirimu” sendiri. Reaksinya bisa dimengerti: APA??!!

Reaksi anda pasti serupa, ketika membaca judul ini. Apakah Reza sudah gila? Apakah ia menyarakan orang untuk bertindak tak bermoral, dan melawan hukum? Beberapa penjelasan tentu diperlukan.

Ungkapan “bunuh tuhanmu, orang tuamu dan dirimu sendiri” bukanlah ciptaan saya. Begitu banyak master Zen terbesar di dalam sejarah menyarankannya. Bagi mereka, inilah ajaran Zen yang tertinggi. Pola serupa, dengan ungkapan yang lebih halus, juga ditemukan di dalam berbagai tradisi Dharma Asia.

Satu hal yang pasti. Tidak ada anjuran untuk sungguh membunuh disini. Tidak ada anjuran untuk hidup sebagai seorang kriminal. Justru sebaliknya, tiga tindakan membunuh ini akan membawa orang pada pembebasan dan pencerahan batin tertinggi.

Bunuh “Tuhanmu”

Manusia gemar merumuskan konsep tuhan. Konsep tersebut lalu disembah. Orang yang tak sepaham dengan konsep itu dipinggirkan. Bahkan, mereka dibunuh dengan kejam, hanya karena tak sepaham.

Tuhan yang sebenarnya tidak bisa dikonsepkan. Bahkan, ia tidak bisa dibahasakan. Tuhan berada melampaui pikiran dan bahasa manusia. Ia tidak bisa dipahami dengan akal budi, tetapi bisa dialami, asal kita memahami caranya.

Tuhan yang bisa dikonsepkan bukanlah Tuhan. Tuhan yang bisa dibahasakan bukanlah Tuhan. Itu hanya gambaran manusia tentang Tuhan. Itu hanya ilusi. Karena ilusi ini, begitu banyak konflik, perang dan penderitaan terjadi.

Bunuh “Orang Tuamu”

Orang tua, bagi banyak orang, adalah simbol kenyamanan. Orang tua adalah ingatan masa lalu yang indah. Ini membuat orang terlena di dalam ingatan. Orang jadi malas untuk keluar dari kenyamanan, dan menemukan jati dirinya yang asli.

Zona nyaman memang nikmat. Namun, ia berbahaya. Orang bisa terlena, dan malas berpikir. Akhirnya, orang tidak sungguh hidup, melainkan hanya mengikuti segala peristiwa dengan buta.

Manusia yang hidup dalam zona nyaman akan menjadi manusia yang kerdil. Ia mengikuti tradisi buta, tanpa tanya. Ia menjadi budak dari lingkungan sosialnya. Pikirannya dangkal, dan bahkan cenderung fanatik, sehingga berbahaya untuk kehidupan yang beragam.

Bunuh “Dirimu” Sendiri

Karena pengaruh lingkungan sosial, ego pun terbentuk. Ego adalah identitas diri yang dibangun dalam hubungan dengan dunia sekitar. Di dalam ego, ada nafsu untuk mengontrol segalanya, supaya sesuai dengan keinginan. Di dalam ego, ada kehendak untuk berkuasa yang kerap kali berbahaya untuk kehidupan.

Padahal, dunia terus berubah. Kita hidup di lempengan api yang terus bergerak. Bencana alam bisa terjadi setiap saat. Jantung pun bisa berhenti seketika, dan tubuh kita berakhir masa hidupnya.

Tak ada yang bisa dikontrol. Kontrol adalah ilusi ego. Ini sangat berbahaya, karena bisa membuat derita yang sangat berat, dan menghancurkan segalanya. Bunuh dirimu sendiri berarti membunuh ego, ambisi dan nafsu ingin mengontrol di dalam batin. Orang pun lalu sampai pada kesadaran, bahwa ego itu sesungguhnya tak pernah ada.

Setelahnya?

Setelah “tuhan, orang tua dan diri” dibunuh, apa yang tersisa? Yang tersisa adalah kesadaran murni. Ini adalah inti dari kehidupan. Seluruh filsafat dan jalan spiritual mengarahkan manusia untuk menemukan kesadaran murni ini. Ia adalah jati diri asli dari manusia, dan inti dari segala sesuatu.

Ada tiga ciri dari kesadaran murni. Yang pertama, ia kosong. Tidak ada konsep dan bahasa di dalamnya. Tidak ada penilaian moral dalam bentuk apapun di dalamnya.

Dua, kesadaran murni sepenuhnya sadar. Ia membuat manusia mampu menjalankan kelima fungsi inderanya. Kesadaran murni sepenuhnya utuh, dan tidak pernah padam. Sepanjang hidup, kita perlu untuk terus mengenali kesadaran murni di dalam diri. Ketika tubuh kita hancur, kesadaran murni perlu untuk terus disadari, sehingga pembebasan tertinggi bisa dicapai.

Tiga, kesadaran murni bersifat tak terbatas. Ia tidak memiliki tempat fisik. Ia juga tidak memiliki unsur materi. Ia seluas semesta, dan menjadi titik hubung kita dengan segala yang ada. Sesungguhnya, kita tak pernah berpisah dengan segala yang ada.

Terus Berlatih

Mengenali kesadaran murni adalah pembebasan yang sejati. Derita lenyap dalam seketika. Pencerahan pun dialami secara nyata. Ini hanya dapat dicapai, jika “tuhan, orang tua dan diri” sudah dibunuh.

Dalam keseharian, kita bisa juga terus berlatih. Apa yang sedang anda lakukan sekarang? Lakukan sesadar mungkin. Keterlibatan total dalam setiap saat kehidupan adalah jalan tercepat untuk menyentuh kesadaran murni.

Apa yang sedang terjadi? Alami sepenuhnya. Jangan ditolak. Jangan dinilai, atau diberi beragam cap. Cukup alami dan sadari. Maka, kesadaran murni akan muncul ke depan.

Ini pelajaran terpenting dalam hidup. Karena kedunguan kita di Indonesia, ia terlupakan. Kita justru mengajarkan begitu banyak hal yang tak penting dan tak mutu di Indonesia. Mau sampai kapan?

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Zen untuk Deradikalisasi

$
0
0

4d4ae064710791.5adb43bfd4580Oleh Reza A.A Wattimena

Surabaya selalu dekat di hati saya. Selama kurang lebih empat tahun, saya tinggal disana. Pada 2018 lalu, Surabaya dihantam bencana. Teroris Islam dari aliran Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) membom tiga Gereja disana.

Tepatnya, pemboman Gereja terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur pada 13 dan 14 Mei 2018. Gereja yang dibom adalah Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jemaat Sawahan. Tidak hanya Gereja yang menjadi korban. Rumah Susun Wonocolo di Taman Sidoarjo dan Markas Polrestabes Surabaya juga menjadi sasaran. 28 korban tewas, termasuk pelaku bom bunuh diri, serta 57 orang mengalami luka.

Biasanya, Surabaya selalu aman. Umat beragama hidup dalam kedamaian. Surabaya itu unik dan sangat majemuk. Namun, Mei 2018, seluruh Surabaya terbakar oleh tindakan teroris Islam kejam. “Teroris Jancuk!”, kata seorang teman.

Bangsa yang Terpecah

Fanatisme, radikalisme dan fundamentalisme agama sudah lama menjadi masalah di Indonesia. Dalam banyak kesempatan, pemerintah seolah membiarkan penyebarannya. Hasilnya, berbagai institusi negara, dari yang mengurus pendidikan sampai dengan pemerintah daerah, disusupi oleh pandangan radikal begitu dalam dan begitu cepat. Radikalisme agama yang melahirkan terorisme adalah musuh dalam selimut Republik Indonesia.

Di negara yang dipenuhi radikalisme agama, perempuan ditindas dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pendidikan berubah menjadi cuci otak yang memperbodoh. Korupsi, kolusi dan nepotisme dilakukan dengan menggunakan agama sebagai pembenaran. Hidup bersama pun jauh dari ketenangan, karena diisi oleh kebisingan yang tiada henti.

Keutuhan Indonesia pun diujung tanduk. Jika pemerintah tak bisa bertindak tegas, dan justru hanyut ke dalam radikalisme agama, maka Indonesia akan pecah. Beberapa propinsi siap memberontak, dan memerdekakan diri. Pola serupa yang terus berulang di dalam sejarah.

Zen untuk Deradikalisasi

Proses deradikalisasi pun dibutuhkan. Para teroris harus dididik ulang. Selama ini, pendekatan nasionalis dan Pancasila yang diberikan. Ini tidak cukup.

Ini seperti menghantam pikiran dengan pikiran. Tak akan ada yang menang. Yang tercipta justru kebingungan. Seorang nasionalis juga bisa menjadi radikal, dan siap melakukan kekerasan demi hal yang ia percaya secara buta.

Cara lain tentu diperlukan. Saya ingin menawarkan Zen sebagai jalan yang berbeda. Zen adalah jalan pembebasan. Ia melepaskan manusia dari kebodohan yang melahirkan penderitaan. Caranya adalah dengan memahami jati diri yang asli dari manusia, dan seluruh alam semesta yang ada.

Sebelum Pikiran

Zen tidak terjebak pada kata dan konsep. Ia justru membebaskan manusia dari kata dan konsep. Jati diri manusia yang asli berada sebelum pikiran, kata dan konsep. Ia adalah pengalaman langsung yang bersifat utuh dan jernih.

Dengan Zen, orang belajar untuk melihat dunia apa adanya. Semua teori, kata dan konsep ditunda penerapannya. Orang menjadi sepenuhnya alami disini dan saat ini. Dunia sebelum pikiran, kata dan konsep ini bersifat luas, kosong dan hidup.

Hasilnya adalah ketenangan dan kejernihan batin. Orang berbuat jahat, karena kebodohan dan penderitaan yang ia alami. Hal serupa berlaku untuk para teroris. Ketika kebodohan dan penderitaan dilepas, maka alasan untuk melakukan kekerasan pun juga menghilang.

Identitas Seluas Semesta

Di ranah sebelum pikiran, tak ada aku dan tak ada kamu. Tak ada dunia, konsep, teori ataupun bangsa. Yang ada adalah ruang besar yang luas, tanpa sekat. Tak ada negara, bangsa, agama ataupun ideologi untuk dipercaya, serta dibela sampai mati.

Identitas sosial pun tertunda. Yang tersisa adalah identitas semesta. Aku, bersama segala yang ada, adalah satu dan sama, yakni sebagai warga semesta. Nafsu untuk menjadi radikal, fundamentalis dan teroris lenyap secara alami, tanpa jejak.

Ini bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kita semua lahir sebagai mahluk semesta. Hanya masyarakat dan keluarga yang menempelkan identitas sosial, seperti agama, kepada kita. Itu tidak nyata, dan hanya merupakan tempelan luar semata yang tiada sungguh berarti.

Dengan Zen, orang bergerak dari kebodohan menuju pengetahuan. Ini bukanlah pengetahuan konseptual yang diperoleh dari buku, ataupun diskusi. Ini adalah pengetahuan sejati yang didapat dari pengalaman langsung akan dunia sebagaimana adanya. Ini adalah pengetahuan sejati yang membebaskan (path of liberation).

Bertindak Sesuai Keadaan

Dengan identitas seluas semesta, dan pengetahuan yang sejati di dalam genggaman, orang bisa bertindak tepat sesuai keadaan. Jika lelah, maka beristirahat. Jika lapar, maka makan. Jika haus, maka minum. Jika tak punya uang, maka bekerja untuk mendapat uang.

Jika ada orang susah, maka dibantu. Jika tidak bisa dibantu, ya sudah. Semua jelas dan jernih dari saat ke saat. Tak ada yang istimewa.

Zen bisa diajarkan dengan dua cara. Yang pertama adalah pemahaman yang tepat. Orang perlu dilepaskan dari konsep, kata dan bahasa yang selama ini menyiksa batinnya. Yang kedua, orang juga diajarkan beberapa metode laku, seperti meditasi dan Yoga, supaya bisa memiliki pengalaman langsung atas kenyataan sebagaimana adanya.

Zen bisa menjadi alat manjur untuk deradikalisasi. Tidak hanya itu, Zen juga bisa memberikan pengetahuan sejati yang membebaskan. Orang tidak lagi menderita, karena kebodohannya sendiri. Di masa yang serba rumit sekarang ini, Zen menawarkan setitik kejernihan yang diperlukan seluruh dunia.

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Beragam Budaya, Banyak Nama, Namun Satu Makna

$
0
0

img_8606_virtual_divorce_marital_love_surreal_bw_floating_two_headsOleh Reza A.A Wattimena

2014, derita menerpa hidup saya. Tak tertahankan, karena mereka datang bergerombolan pada waktu yang sama. Semua keadaan tak sesuai rencana. Kematian tak terduga dari keluarga sungguh membuka mata.

2014 juga, perjalanan Dharma saya dimulai. Saya meninggalkan mitos dan takhayul dari cara berpikir lama. Dharma adalah jalan pembebasan yang sesuai dengan alam sebagaimana adanya. Sedikit demi sedikit, mata saya terbuka.

Mistik Kristen

Lahir dan besar di dalam tradisi Katolik Roma, saya mendalami akarnya. Saya berjumpa dengan sosok mistikus Kristen, dari Anthony de Mello, Yohannes Salib sampai Meister Eckhart. Mereka semua berkata serupa, bahwa diri kita yang asli itu sejati. Diri kita yang sejati itu adalah Kristus.

Kerajaan Allah tidak di luar diri. Ia tidak di tempat-tempat suci nun jauh disana. Kerajaan Allah ada di dalam diri setiap orang. Kita semua, sejatinya, memiliki hakekat Kristus, yakni hakekat Ilahi.

Zen Buddhis

Perjalanan Dharma mengajak saya ke tradisi Zen Buddhis. Dalam sekejap mata, saya langsung jatuh cinta. Ajarannya begitu sederhana, dan nyata. Tak ada teori yang membuat pusing kepala. Tidak ada bahasa asing yang terasa tak bermakna.

Diri kita yang sejati adalah Buddha. Ia bersifat sadar, dan kosong dari konsep. Hakekat Buddha (Buddha nature) adalah kekosongan yang hidup (aware emptiness). Batin menjadi jernih, dan siap menolong semua mahluk, tanpa kecuali.

Vajrayana Tibetan

Tradisi Buddhis Vajrayana Tibetan juga memukau jiwa. Diri kita yang asli itu adalah rigpa. Rigpa itu jernih seperti cermin. Ia memantulkan semuanya, tanpa pilih kasih.

Para Rinpoche pun menjadi guru yang menata jiwa. Mantera dan laku tapa diajarkan dengan begitu sabar dan sistematis. Kehadiran guru menjadi penting untuk mengarahkan jalan Dharma. Semua bertujuan untuk menyadari Rigpa yang tertanam di dalam diri setiap mahluk.

Yoga

Jalan spiritualitas juga adalah jalan tubuh. Tradisi Yoga pun masuk. Seorang tokoh besar dari India Selatan, Sadhguru, pun kini menjadi guru pembimbing. Baginya, Yoga adalah jalan untuk menjadi peka pada energi kehidupan yang ada di dalam diri.

Sadhguru selalu berkata, kita bukanlah tubuh kita. Tubuh hanyalah sisa makanan yang telah kita makan. Kita juga bukanlah pikiran kita, karena itu hanya hasil pola didik dari masyarakat. Kita yang sejati adalah kehidupan yang bersifat jernih dan tak terbatas.

Tai Chi

Olah tubuh pun juga ditemukan di tradisi Cina. Tai Chi dan Qi Gong mengajarkan berbagai jalan, supaya orang terbebaskan dari sakit dan derita. Keduanya menekankan, bahwa diri sejati manusia adalah energi semesta. Namanya adalah Chi.

Chi adalah pencipta dan penopang semesta. Ia ada di dalam diri setiap mahluk. Sebagai manusia, kita hanya perlu mengenali, dan mengembangkannya. Dengan begitu, kita menjadi manusia yang seimbang, yakni cerdas, bijaksana dan sehat.

Satu Makna

Ada banyak budaya yang saya sentuh. Ada banyak nama dan konsep yang saya pelajari. Namun, semua itu mengarah pada satu makna. Diri kita yang sejati itu sadar dan tak terbatas.

Kecemasan hancur seketika. Ketakutan akan kematian sirna dalam sekejap mata. Beragam pertanyaan terjawab dengan sempurna. Di sini dan saat ini, keabadian hadir di dalam jiwa.

Yang saya cari selama ini, ternyata, sudah selalu saya miliki. Saya hanya perlu berhenti sejenak, dan melihat. Tak lebih. Tak kurang.***

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Viewing all 139 articles
Browse latest View live