Oleh Reza A.A Wattimena
Sejatinya, tujuan kita hidup adalah untuk mengalami Tuhan. Karena dengan ini, kita menemukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan semacam ini tidak berubah-ubah. Ia tidak terganggu oleh perubahan keadaan dunia.
Sadar atau tidak, kita merindukan Tuhan. Tuhan itu seperti rumah sejati kita. Kita betah, ketika memasukinya. Kita menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
Peran Agama
Agama diciptakan untuk mengantarkan manusia pada Tuhan. Ia adalah organisasi dengan tujuan yang sangat mulia. Ia dibentuk oleh orang-orang yang tulus hati untuk membebaskan kita dari kebodohan dan penderitaan. Namun, seperti semua yang dibuat manusia, agama pun mengalami penurunan mutu.
Tujuannya terlupakan. Agama tidak lagi mengantarkan manusia pada Tuhan. Sebaliknya, agama kini menjadi Tuhan. Agama tidak dilihat sebagai alat, tetapi justru sebagai tujuan tertinggi yang disembah oleh manusia.
Agama pun menjadi busuk. Ia dipergunakan untuk memecah belah masyarakat. Agama digunakan untuk membenarkan ketidakadilan, penindasan dan kebodohan kita. Agama menjadi ajang pamer ibadah (menganggu ketenangan bersama), penghancuran budaya dan penindas perempuan.
Kerinduan
Namun, di seluruh dunia, kini hadir kerinduan. Manusia selalu rindu pada Tuhan. Ada kehausan untuk kembali ke asal. Di tengah terpaan krisis yang tanpa henti, manusia tidak lagi puas dengan rumusan agama tentang Tuhan. Ia ingin mengalami Tuhan langsung.
Ada kerinduan untuk keluar dari agama yang menindas dan memperbodoh. Ada kehausan untuk keluar dari ritual kering yang tak bermakna. Ada kebutuhan untuk keluar dari rumusan bahasa dan konsep yang membuat pusing kepala. Ada kebutuhan untuk pulang ke “rumah”.
Disinilah Zen berperan penting. Zen adalah jalan untuk mengalami Tuhan. Zen mengajak kita kembali ke asal. Mengalami Tuhan berarti mengalami langsung sumber dari segalanya. Mengalami Tuhan berarti mengalami langsung Sang Pencipta.
Mengalami Tuhan juga berarti mengalami diri kita yang asli. Diri sejati kita itu sepenuhnya jernih dan damai. Ia melampaui sekat-sekat agama. Ia seluas samudera. Ia seluas semesta.
Tuhan sebagai Diri Sejati Kita
Diri sejati kita berada sebelum kata. Ia adalah kesunyian. Ia adalah pengalaman langsung dengan dunia sebagaiman adanya. Diri sejati kita adalah Tuhan.
Diri sejati kita berada sebelum konsep. Ia berada sebelum rumusan teoritis. Ia melampaui dualisme bahasa dan konsep. Ia sepenuhnya utuh dan menyatu dengan segala yang ada.
Diri sejati kita berada sebelum pikiran. Ia justru yang melahirkan berbagai bentuk pikiran dan emosi yang kita rasakan. Diri sejati kita jugalah yang memungkinkan bahasa dan konsep tercipta. Bisa dibilang, bahwa ia adalah kesadaran murni (walaupun sebenarnya ia tak punya nama).
Diri sejati kita tak terbatas di dalam tubuh kita. Ia seluas semesta itu sendiri. Ia tak berbentuk, namun mengisi penuh segala yang ada. Ia adalah Tuhan kosmik yang sesungguhnya.
Zen adalah sekumpulan cara untuk mengalami Tuhan. Ia menawarkan berbagai metode untuk menyentuh diri sejati kita. Ia tidak rumit, malah justru amat sangat sederhana. Mungkin karena terlalu sederhana, manusia modern justru sulit memahaminya.
Ciri Diri Sejati Kita
Pertama, diri sejati kita itu kosong. Ia tidak memiliki isi konseptual, ataupun kata. Ia tidak memiliki identitas. Ia memberi ruang bagi segala bentuk pikiran maupun emosi untuk datang dan pergi.
Karena kosong, maka diri sejati kita itu terbuka luas. Ia adalah keterbukaan total pada segala. Tidak ada yang ditolaknya. Semua hal muncul dan lenyap di dalamnya.
Dua, diri sejati itu sepenuhnya sadar dan hidup. Ia bisa mempersepsi dunia. Karena tanpa konsep, diri sejati bisa mencerap dunia sebagaimana adanya. Ia adalah kejernihan sejati.
Tiga, diri sejati itu tak terbatas kemampuannya. Dengan kesadaran yang kita punya, kita bisa membangun semesta di dalam batin. Imajinasi kita tak terbatas. Ia lalu bagaikan pisau bermata dua, bisa menyakiti ataupun menyembuhkan kita.
Ketiga ciri ini adalah satu kesatuan. Ketiganya tak terpisahkan. Kosong, luas, sadar dan tak terbatas, inilah ciri diri sejati kita. Ia berada sebelum pikiran dan sebelum bahasa terucap.
Mengalami Tuhan
Diri sejati kita adalah Tuhan. Ia tidak terbatas pada kepribadian kita semata. Semua mahluk, dan seluruh alam semesta, adalah, sebenarnya diri sejati kita. Di dalam filsafat, paham ini disebut juga sebagai panpsikisme. Kuncinya adalah mengalami langsung diri sejati ini sebagai bagian dari keseharian kita.
Tuhan pun tidak lagi semata konsep. Ia tidak lagi hanya bayangan karangan para pemuka agama. Tuhan menjadi pengalaman nyata. Pengalaman inilah yang mengubah hidup kita dari dalam.
Kita pun mengalami pembebasan disini dan saat ini. Kesatuan dengan segala yang ada sungguh menjadi pengalaman nyata. Di dalam tradisi India, pengalaman ini disebut juga sebagai Yoga. Sejatinya, ini merupakan tujuan tertinggi di dalam hidup.
Mengalami Tuhan itu seperti pulang ke rumah. Kita merasa nyaman. Kita merasa tenang dan damai. Rumah yang, sebenarnya, tak pernah meninggalkan kita. Kita saja yang kerap lupa.***