Quantcast
Channel: zen – Rumah Filsafat
Viewing all 139 articles
Browse latest View live

Menunggu itu Zen

$
0
0
NYWA ART PROJECT

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup ini menunggu. Sewaktu janin, kita menunggu untuk dilahirkan ke dunia. Sewaktu kita kecil, kita menunggu untuk menjadi dewasa. Begitu seterusnya, sampai ajal tiba.

Di kehidupan sehari-hari, menunggu pun merupakan bagian penting dari hidup. Kita menunggu transportasi untuk mengantarkan kita ke tempat kerja. Di tempat kerja, kita pun menunggu untuk bisa menyelesaikan pekerjaan kita, dan, jika mungkin, bisa naik pangkat. Mulai dari antri di berbagai tempat, sampai menunggu jodoh, menunggu menjadi bagian besar dari hidup kita.

Namun, menunggu tentu butuh kesabaran. Ini yang kiranya tidak dimiliki banyak orang. Menunggu adalah hal yang melelahkan dan membosankan. Jika terus dilakukan, menunggu bisa menciptakan kemarahan yang berbuah penderitaan dan konflik.

Tentu saja, menunggu bisa menjadi hal yang menyenangkan, asalkan kita memiliki pola pikir yang tepat. Menunggu bisa menjadi sebuah meditasi, yakni Zen. Zen adalah bagian dari Buddhisme dan Taoisme yang kemudian menyebar ke Cina dan Asia Timur. Intinya adalah meditasi yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.

Menunggu itu Zen

Tentang ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, menunggu bukan hanya soal waktu. Menunggu adalah sebuah sikap batin. Sebagai sebuah sikap batin, menunggu adalah sikap penuh harapan terhadap masa depan. Menunggu dalam harapan akan secara alami membawa kita pada meditasi.

Dua, menunggu hanya mungkin, jika batin kita sederhana. Artinya, kita bisa menjaga jarak dari pikiran dan emosi yang datang dan pergi. Kita bisa menjaga jarak dari bayangan dan ingatan yang menghantui. Batin yang sederhana ini adalah kunci kedamaian dan kejernihan.

Tiga, batin yang sederhana berarti, orang memiliki pandangan yang tepat tentang dirinya sendiri. Orang yang sombong, biasanya adalah orang-orang terdidik dan kaya, akan sulit memiliki batin yang sederhana. Kesombongannya menciptakan banyak bayangan yang membuat ia merasa lebih penting dari mahluk hidup lainnya. Orang semacam ini tak dapat menunggu. Baginya, menunggu, dan berarti juga hidup, adalah penderitaan besar.

Empat, di hadapan semesta, kita adalah mahluk yang teramat kecil. Dengan kesadaran ini, semua tindakan kita pun hampir tak berarti di hadapan semesta yang maha luas. Kesadaran ini pun akan mendorong kita secara alami untuk menunggu. Menunggu dalam harapan, inilah salah satu unsur penting Zen.

Sudah Sampai

Sebagai sikap batin, menunggu tak berarti diam saja, ketika dibodohi. Ada waktunya, orang perlu bertindak. Dasar tindakan ini bukanlah dorongan emosi sesaat, melainkan kejernihan yang lahir dari menunggu. Tindakan pun lalu sesuai dengan kebutuhan, tidak kurang dan tidak lebih.

Menunggu itu Zen. Menunggu adalah sikap batin yang melepaskan semua bayangan dan ingatan yang kerap kali menjadi sumber penderitaan. Menunggu berarti disini dan saat ini. Menunggu berarti orang menyadari tempatnya di semesta yang maha luas ini.

Dengan menunggu, sebenarnya, kita sudah sampai.

 

 

 


Agama dan Empati

$
0
0
René Magritte

Oleh Reza A.A Wattimena

Pakaiannya berlebihan. Ia seperti orang dari masa lalu dan dari dunia lain yang berkunjung ke bumi. Jalannya sangat percaya diri. Tak sadar, ia menjadi pusat perhatian sekitarnya.

Imannya tebal, namun dangkal. Ia percaya buta pada ajaran agama warisannya. Semua kata ditelan mentah-mentah. Jika disuruh membakar diri pun ia rela melakukannya.

Ia juga senang bergerombol. Jika sendirian, ia takut, dan tak percaya diri. Dengan bergerombol, ia bisa bersikap sombong dan seenaknya. Dengan bersembunyi di balik jubah agama, dan gemar bergerombol dengan teman-temannya, ia suka menindas orang-orang yang lebih lemah.

Ironinya, orang-orang semacam ini hanya “pasukan rendahan”. Mereka dipergunakan oleh kekuasaan yang sempit dan korup. Mereka menjadi alat penguasa yang busuk. Tak heran, mereka kerap kali mendapat banyak sponsor, baik dalam bentuk uang maupun nasi bungkus, hanya ketika peristiwa politik besar tiba.

Mereka juga menjadi mesin pendulang uang bagi penguasa busuk. Mereka rela memberikan uang mereka, kerap kali tanpa kejelasan, bagaimana uang itu dipergunakan. Akibatnya, segelintir elit politik, termasuk pemuka agama, hidup kaya raya. Sementara, pengikutnya hidup dalam kemiskinan yang mencekik.

Agama Tanpa Empati

Ini semua terjadi, karena agama kehilangan empati. Agama menjadi sistem yang mandiri, terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Agama juga hanya menjadi pelarian, karena sistem politik dan ekonomi yang bobrok. Agama tanpa empati berarti agama itu sudah kehilangan inti utamanya.

Empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Empati berarti, orang menunda sudut pandangnya sendiri, dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Empati adalah inti dari dialog yang sehat. Di dalam masyarakat demokratis, seperti Indonesia, empati adalah dasar dari kehidupan bersama yang sehat.

Mengapa di Indonesia, agama bisa kehilangan empati? Padahal, inti dari semua agama adalah sikap welas asih. Sikap ini lahir dari kesadaran mendalam, bahwa segala sesuatu adalah satu, yakni bagian dari alam semesta yang nyaris tak berhingga ini. Bentuk nyata dari ini adalah empati.

Ada empat sebab dari krisis empati. Pertama, pemahaman agama di Indonesia masih amat dangkal. Ajaran asing diambil begitu saja, tanpa pengolahan lebih jauh. Kedalaman dimiliki beberapa pihak, namun ia kurang tersebar di masyarakat luas, karena memang butuh usaha lebih besar untuk dipahami. Budaya berpikir instan jaman ini juga turut menyumbang dari kedangkalan pemahaman agama yang terjadi.

Dua, kedangkalan beragama juga lahir dari matinya sikap kritis. Sikap kritis adalah sikap tidak gampang percaya. Orang lalu mencari lebih dalam dari apa yang didengar atau dibacanya. Sikap kritis merupakan bagian penting dari pendidikan bermutu tinggi. Tanpa sikap kritis, empati juga akan tergilas oleh prasangka buta.

Tiga, krisis empati juga berakar pada krisis berpikir. Dunia pendidikan Indonesia memang tidak mendidik untuk berpikir, melainkan sekedar berhitung dan menghafal. Pola ini hanya menghasilkan kedangkalan, tidak hanya di dalam hidup beragama, tetapi juga di bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti politik maupun ekonomi. Ini bisa dilihat dengan mudah dari bagaimana kita di Indonesia mengelola kota-kota besar yang kita punya.

Empat, agama kehilangan empati, ketika ia hanya menjadi kendaraan politik dan ekonomi kelompok-kelompok busuk semata. Ajaran agama tidak diperhatikan. Moral tak diperhatikan. Empati lenyap ditelan udara. Yang tampak hanya kerumunan tak berpikir dan tanpa arah saja, siap untuk diperas oleh penguasa politik dan ekonomi busuk.

Lima, empati juga lenyap, ketika ketakutan berkuasa. Ketakutan membuat orang, atau kelompok, menjadi agresif. Ini terjadi, karena identitas dan ilmu pengetahuan mereka amat lemah serta dangkal. Kedalaman dan kokohnya identitas akan membawa pada sikap hening dan bersahaja.

Mengembalikan Empati

Empati tidak akan pernah hilang. Ia adalah kemampuan alamiah manusia. Namun, ia harus dilatih. Ada empat hal yang kiranya bisa ditawarkan.

Pertama, kita harus mendalami agama sampai ke akarnya. Jangan hanya berhenti soal aturan, cara berpakaian atau penampilan luar semata. Inti dari semua agama adalah meleburnya jati diri kita dengan semesta, sehingga semua perbedaan hilang. Di titik ini, empati akan muncul secara alami.

Dua, Indonesia harus melakukan revolusi secara mendasar. Mutu pendidikan kita amat sangat rendah. Mendidik nurani, empati dan akal budi harus dilakukan. Pola hafalan dan patuh buta harus disingkirkan.

Tiga, di ranah hukum, kita perlu untuk membuat aturan tegas pelarangan penggunaan agama untuk politik kekuasaan. Ajaran-ajaran agama bisa menjadi terang moralitas bagi arah politik. Tapi, ia tidak boleh digunakan di ruang publik untuk kepentingan politik sempit dan busuk. Aturan ini harus dibuat dasar hukumnya, dan diterapkan dengan tegas.

Empat, langkah terpenting adalah dengan mengembalikan spiritualitas ke dalam kehidupan. Agama adalah organisasi ciptaan manusia yang tak lepas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan kepentingan-kepentingan sempit lainnya. Sementara, spiritualitas adalah soal jalan hidup, supaya orang bisa menemukan dirinya yang sejati, dan menjadi tercerahkan. Di titik ini, empati akan muncul secara alami, karena empati adalah bagian penting dari spiritualitas.

Jalan Zen bisa menjadi satu kemungkinan, dari banyak kemungkinan lainnya. Zen adalah jalan hidup untuk menyentuh inti terdalam dari diri manusia. Inti ini bersifat abadi, jernih dan penuh kebijaksanaan. Hanya dengan ini, empati bisa muncul secara alami, dan mewarnai langsung kehidupan manusia. Agama, yang dipeluk dalam spiritualitas, akan membawa kedamaian, tidak hanya di dalam hubungan antar manusia, tetapi juga di dalam diri pribadi.

Bukankah itu yang kita semua inginkan?

 

 

 

 

Sampai Seribu Tahun Lamanya

$
0
0
The Zen Habits Book

Oleh Reza A.A Wattimena

Hidup yang utuh dan penuh. Hidup yang bermakna dan berbahagia. Ah, semua orang menginginkannya. Semua cara ditempuh untuk mencapainya.

Kata orang, uang akan membawa kebahagiaan. Punya uang berarti mendapat kehormatan. Orang bisa membeli apapun, termasuk pengabdian dan kesetiaan orang lain. Namun, setelah diperoleh, hidup yang utuh dan penuh tak kunjung tiba. Yang berkunjung justru kecemasan dan kerakusan.

Namun, bukankah uang bisa membeli kenikmatan? Pada jumlah yang masuk akal, kenikmatan itu menyehatkan, seperti makan, belanja, seks dan sebagainya. Namun, jika ia dilihat sebagai sumber kebahagiaan, maka orang akan memeras kenikmatan. Derita pun akan berkunjung.

Setelah semua jalan ditempuh, kita pun akan sampai pada perasaan hampa. Dunia memang menyediakan kenikmatan. Namun, ia tak akan pernah memberi kebahagiaan. Kesadaran inilah yang mendorong kita untuk mencari ke dalam diri kita sendiri.

Jalan Zen

Dengan menengok ke dalam, kita sedang menempuh jalan Zen, yakni jalan meditasi. Derita dan kecewa tetap berkunjung. Namun, semua itu dijalani dengan kesadaran. Kesadaran, sebagai dasar dari semua pengalaman dan pikiran, inilah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Di titik ini, kita pun sadar. Penderitaan datang dari ingatan. Kita mengulang-ulang peristiwa yang telah lalu, dan hidup di masa lalu. Inilah trauma. Ingatan lalu menjadi sumber penderitaan besar bagi orang yang tak mampu melepas masa lalunya.

Sumber derita lainnya adalah bayangan. Kita berpikir berlebihan tentang sesuatu. Kita lalu menciptakan bayangan-bayangan yang tak nyata di dalam pikiran. Kita pun jadi takut terhadap masa depan yang belum tiba.

Mungkin, ini bukan hal baru bagi kita. Kita sudah pernah mendengar pandangan ini. Namun, entah mengapa, kita tetap jatuh lagi pada derita dan kecewa. Kita jatuh lagi pada lubang yang sama.

Jika jatuh, maka kita harus bangun lagi. Kita harus mencoba lagi untuk sadar, untuk terus hidup dalam kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya. Jatuh lagi. Bangun lagi… Sampai seribu tahun lamanya.

Tubuh dan Pikiran

Sumber derita lainnya adalah tubuh. Ia akan sakit, menua dan hancur. Ini tak bisa dihindari. Inilah jalan alam semesta, yakni jalan Dharma.

Namun, kita bukanlah tubuh kita. Tubuh hanyalah sisa dari semua makan yang pernah kita makan. Pendek kata, tubuh adalah tempat sampah. Walaupun ia penting, tubuh bukanlah diri sejati kita.

Begitu pula dengan pikiran. Ia bukanlah milik kita. Pikiran adalah ide-ide yang kita kumpulkan dalam hubungan dengan dunia sosial, sejak kita kecil. Pikiran penting untuk menjalani kehidupan. Namun, ia tetaplah tempat sampah dari lingkungan sosial kita.

Diri kita yang sejati bukanlah tubuh ataupun pikiran. Diri kita yang sejati tak punya tempat dan waktu. Ia berada sebelum tubuh dan pikiran.

Pandangan ini juga bukan hal baru. Namun, walaupun memahaminya, kita tetap jatuh dalam derita dan kecewa. Cukup disadari, lalu bangun lagi dengan penuh kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya.

Ketidakpastian Hidup

Hubungan antar manusia adalah sumber kebahagiaan besar. Ia memberikan rasa aman, sekaligus dukungan sosial dalam kehidupan. Namun, seringkali hubungan justru menjadi sumber penderitaan besar. Patah hati kerap membawa duka yang begitu mencekam, bahkan sampai mendorong orang melakukan bunuh diri.

Semua dilakukan dengan penuh kesadaran. Kebahagiaan datang. Kebahagiaan pergi. Sadar. Sadar. Sadar.

Jatuh lagi. Bangun lagi. Hidup dengan kesadaran. Sampai kapan? Sampai seribu tahun lamanya.

Ini semua memang bagian dari perubahan. Perubahan menciptakan ketidakpastian. Semua teori dan ramalan runtuh, ketika kenyataan bersuara.

Tak selamanya pula kita akan beruntung. Terkadang, bisnis gagal. Rencana juga berantakan. Ini semua bagian dari perubahan yang tak akan pernah berhenti.

Zen mengajarkan kita untuk tetap sadar di tengah perubahan yang ada. Kesadaran ini terwujud dalam „pikiran tidak tahu“. Kita tidak membuat penilaian. Kita juga tak membuat kesimpulan. Kita tetap menjadi „seorang pemula“.

Sekali lagi, ilmu ini bukan hal baru. Tetap saja, derita dan kecewa, akibat perubahan, tetap tiba. Jatuh lagi. Bangun lagi dengan penuh kesadaran. Sampai kapan?… Sampai seribu tahun lamanya.

Sampai Seribu Tahun Lamanya

„Sampai seribu tahun lamanya“ berarti kita terus mencoba. Dalam jatuh bangun kehidupan, kita terus sadar dari saat ke saat. Kita tidak mengecek pikiran ataupun emosi yang muncul. Mereka datang, lalu mereka pergi. Kita jalan terus.

Kita terus mencoba kembali ke keadaan sebelum pikiran. Terkadang, emosi begitu kuat, dan kita larut. Terkadang, kita membuat kesalahan, dan melukai orang lain, maupun diri kita sendiri. Terkadang pula, kita lemah tak berdaya di hadapan ketidakpastian hidup.

Terkadang, kita putus asa. Terkadang, kita begitu marah pada keadaan yang tak kita inginkan. Ini semua adalah Dharma, yakni jalan alam semesta. Sejatinya, semua adalah jalan menuju pencerahan batin.

Apapun yang terjadi, tetap sadar. Kembali ke saat ini. Seringkali, lelah dan penat berkunjung. Bangun lagi. Sadar lagi. Sampai kapan?

Anda sudah tahu jawabannya…..

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Zen dan Seni Bersih-bersih Rumah

$
0
0

Image result for cleaning

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya harus mengakui, pendidikan masa kecil saya tidak bagus. Di rumah, kami punya dua pembantu. Padahal, kami hanya dua bersaudara. Alhasil, kami hidup seperti layaknya putri dan pangeran.

Semua hal dilayani. Rumah dibersihkan. Makan dimasak pembantu. Bahkan, sampai akhir sekolah dasar, saya masih dimandikan pembantu. Memalukan.

Saya dimanja. Padahal, memanjakan anak itu sama dengan membunuhnya. Memanjakan itu menghancurkan karakter, dan memperlemah daya juang. Tak heran, banyak anak yang dimanja akhirnya terus bergantung pada orang tua, atau pada saudara saudarinya, bahkan ketika mereka dewasa.

Namun, itu semua berubah, ketika saya memasuki SMA. Saya hidup di asrama dengan segala aturan dan kebiasaannya yang kompleks. Saya hidup dan belajar bersama teman-teman seumuran. Semuanya berubah.

Saya harus mengerjakan semuanya sendiri. Saya memasang sprei, dan membersihkan tempat tidur sendiri. Saya mencuci baju dan piring sendiri. Saya mengatur keuangan sendiri.

Masih teringat pengalaman mencuci baju pertama kali. Baju direndam, lalu disikat, dan dibilas. Namun, bilasan saya tak bersih. Alhasil, semua pakaian berbau apek, dan saya terpaksa harus mencuci dari awal.

Pengalaman serupa saya dapatkan, ketika merantau ke berbagai kota. Begitu banyak yang harus dikerjakan. Saya harus bekerja mencari uang dan berkarya. Saya harus membersihkan kamar, lalu mengangkut baju ke binatu murah untuk dicuci (karena sudah tak ada waktu dan tenaga untuk mencuci manual).

Di negara lain, saya memilih untuk mencuci sendiri. Seminggu dua kali, saya mencuci baju. Setiap hari, saya membersihkan kamar, mencuci piring dan bekerja. Hari-hari saya penuh.

Namun, waktu itu, saya belum mengenal Zen. Semua kegiatan, seringkali, saya lakukan, karena terpaksa. Padahal, dari sudut pandang Zen, kegiatan sehari-hari adalah jalan untuk mengolah batin, sehingga penderitaan bisa dilampaui. Kuncinya adalah dengan melakukan semuanya secara sadar dan fokus.

Maka, membersihkan rumah bisa dilihat sebagai tindakan spiritual. Membersihkan rumah bisa dilihat sebagai jalan untuk mencapai pencerahan. Penderitaan hidup pun lenyap. Pendek kata, kita tak memiliki waktu dan energi lagi untuk menderita.

Ketika membersihkan sesuatu, lakukanlah itu, seolah keselamatan seluruh dunia bertumpu pada kegiatan membersihkan tersebut. Pola pikir yang sama perlu diterapkan, ketika berjalan, duduk, berdiri atau tidur. Lakukan semua itu, seolah itu semua adalah tujuan tertinggi di dalam hidup ini. Tindak membersihkan pun menjadi tindakan spiritual yang mendalam.

Lakukan dengan sadar, fokus dan gesit. Tidak perlu bergerak terlalu lama. Bergerak terlalu perlahan justru tidak alami. Ini tak sesuai dengan gerak hidup manusia yang sebenarnya.

Ketika melakukan sesuatu dengan kesadaran dan fokus yang penuh, maka ego pun lenyap. Sejatinya, ego memang tak pernah ada. Ia diciptakan oleh kebiasaan pikiran kita. Lalu, ia semakin besar, dan menjadi sumber penderitaan hidup yang tiada tara.

Ketika orang menyadari, bahwa ego hanya sesuatu yang bersifat semu, maka penderitaan pun akan luntur secara alami. Orang terlibat penuh pada apa yang ia lakukan disini dan saat ini. Pikiran dan badan menyatu dengan saat ini. Memang, yang sesungguhnya ada dan nyata hanyalah saat ini.

Zen juga mengajarkan, bahwa di dalam bekerja, kita harus peka pada kehidupan lain. Ada serangga di sekitar kita. Ada nyamuk, semut dan sebagainya. Sedapat mungkin, kita harus memperhatikan kehidupan mereka, karena mereka juga punya hak untuk hidup bersama di bumi ini, sama seperti kita.

Ingatlah, bahwa saat ini adalah waktu yang terpenting. Masa lalu tak bisa lagi diubah. Masa depan belum terjadi, dan amat tergantung pada apa yang kita lakukan saat ini. Maka, di saat ini, kita tidak boleh menunda apapun.

Apa yang bisa dilakukan sekarang, haruslah dilakukan sekarang. Tentu saja, ini juga harus memperhatikan keadaan. Istirahat juga amat penting untuk kesehatan dan kebahagiaan hidup kita. Ketika badan lelah, maka istirahat pun harus dilakukan dengan penuh kesadaran.

Pikiran sehari-sehari adalah pencerahan kehidupan itu sendiri. Kita tak perlu bertapa di puncak gunung. Kita tidak perlu menyepi di hutan belantara. Disini dan saat ini, di tengah kegiatan hidup sehari-hari, seperti bersih-bersih, kita bisa memperoleh pencerahan dan kebahagiaan yang sejati.

Ketika pikiran mulai kembali mengulang masa lalu, atau cemas akan masa depan, kita hanya perlu kembali ke saat ini. Apa yang sedang dilakukan? Lakukan dengan fokus, totalitas dan penuh kesadaran. Ini perlu dilakukan terus, dan dianggap sebagai latihan seumur hidup.

Dengan cara ini, kita belajar untuk tidak hanyut dalam pikiran dan emosi sesaat. Kita bisa melepaskan masa lalu dan masa depan. Kita bisa hidup dalam kenyataan, dan meninggalkan ilusi. Kita pun bisa melepaskan diri dari rasa takut, marah, trauma dan derita yang selama ini mungkin mencengkeram.

Pada akhirnya, bersih-bersih rumah adalah bersih-bersih pikiran itu sendiri. Selalu saja ada yang perlu dibersihkan. Membersihkan debu itu bagaikan menghapus trauma dan luka lama. Ia perlu dilakukan terus.. dan terus.. dan terus.

Jadi, selamat bersih-bersih!

 

 

 

 

Mengalami Tanpa Kata

$
0
0

Image result for observer surrealism"

Oleh Reza A.A Wattimena

Sebagai seorang praktisi Zen, saya banyak mengalami pencerahan-pencerahan kecil dalam hidup. Dalam arti ini, pencerahan kecil adalah saat, dimana saya hidup sepenuhnya disini dan saat ini dengan penuh kejernihan. Saat-saat semacam ini muncul tak terduga. Semakin saya mendalami Zen, semakin sering saat-saat semacam ini muncul dalam hidup.

Salah satu yang paling berkesan adalah, ketika saya berada di kereta menuju Jakarta dari Yogyakarta pada akhir Oktober 2019 lalu. Saya pulang dengan kereta malam. Mungkin karena pesan tiketnya telat, saya dapat tempat duduk paling depan. Di tempat duduk ini, saya tidak bisa meluruskan kaki, karena langsung berhadapan dengan tembok depan gerbang kereta.

Alhasil, saya terjebak dalam posisi duduk sepanjang malam. Awalnya, tak ada masalah, karena saya bisa langsung tertidur. Namun, tak lama kemudian, rasa pegal mulai muncul di kaki. Duduk mulai terasa tak nyaman, sementara perjalanan masih sekitar enam jam lagi.

Saya mulai menerapkan teori Zen yang saya dalami. Just do it, lakukan saja semuanya dari saat ke saat. Saya hanya sekedar duduk, dan sekedar merasakan sakit yang muncul. Saya menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di dalam maupun di sekitar tubuh saya.

Karena perjalanan masih panjang, saya memutuskan untuk membaca. Judul buku yang saya baca adalah Awareness: A Key to Living in Balance, karangan dari Osho. Satu argumen langsung menyentak saya, ketika membacanya. Hiduplah dari saat ke saat dengan mengalami kenyataan, tanpa pengaruh bahasa. Ia menyebutnya sebagai non-verbal experience.

Ini sebenarnya sejalan dengan prinsip Zen lainnya, yakni just do it. Kita tidak memberi nama pada apa yang kita alami, melainkan sekedar mengalaminya. Kita tidak menilai baik atau buruk. Kita tidak mengejar, atau menolak apapun yang terjadi disini dan saat ini.

Di titik ini, kita menjadi pengamat yang hening (silent observer) atas segala yang terjadi. Kita berada sebelum bahasa dan sebelum pikiran itu sendiri. Yang muncul adalah keheningan dan kedamaian, bahkan ketika keadaan sekitar kita sedang sangat ramai. Kita bisa tetap bergerak aktif bekerja di dalam dunia, sambil mengalami keheningan dan kedamaian di dalam batin.

Setelah membaca argumen Osho tersebut, saya langsung merasa hening. Ada kedamaian yang luar biasa di dalam hati. Pikiran saya terasa luas, seperti ruang yang bisa menampung segalanya. Keadaan ini bertahan cukup lama, bahkan sampai hari ini (awal November 2019).

Bahasa dan Realita

Mengapa ini terjadi? Mengapa “mengalami tanpa kata” bisa membawa pada kejernihan, kedamaian dan keheningan yang begitu mendalam? Ada empat hal yang bisa menjadi pertimbangan.

Pertama, bahasa adalah ciptaan manusia untuk dua hak, yakni memahami dunia, dan berkomunikasi satu sama lain. Bahasa adalah kerangka yang memberikan makna pada pengalaman manusia. Di dalam bahasa terkandung budaya dan sejarah manusia. Ia adalah simbol dari identitas.

Dua, karena memberi makna, bahasa juga memberikan bumbu pada pengalaman manusia. Ia mengurangi atau menambahkan dari apa yang sesungguhnya terjadi. Bahasa menyempitkan pengalaman ke dalam konsep dan kata. Akhirnya, manusia tak mampu mengalami dunia sebagaimana adanya.

Tiga, bahasa juga penuh dengan beban masa lalu. Bahasa memberikan kerangka makna dengan berpijak pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Bahasa adalah penafsiran akan saat ini dengan berpijak pada masa lalu. Ketika mengalami sesuatu dalam kerangka kata dan bahasa, kita lalu tak bisa hidup sepenuhnya disini dan saat ini.

Empat, dalam kerangka masa lalu, kita akan terjebak di dalam kegelisahan. Trauma dan ingatan akan mengotori pengalaman kita. Kita kehilangan kejernihan dan keheningan. Pendek kata, kita akan terjebak dalam penderitaan.

Mengalami Tanpa Kata

Dengan mengalami tanpa kata, kita dapat mengalami dunia apa adanya. Kita tidak mengurangi atau menambahkan sesuatu kepada pengalaman kita. Kita menjadi pengamat yang hening atas segala yang terjadi. Di dalam keseharian yang sibuk dan ramai, kita tetap merasakan keheningan dan kedamaian di dalam batin.

Sebenarnya inilah tujuan utama dari Zen, dan dari semua jalan spiritual di dunia, termasuk filsafat Stoa di peradaban Eropa. Kita hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Kita tidak terbeban oleh ingatan dan trauma yang bersembunyi di balik bahasa dan kata. Kita pun menyadari kembali, bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan antara diriku dan alam semesta.

Kejernihan pun akan muncul. Artinya, kita bisa sadar akan segala yang terjadi. Kita bisa melihat semua apa adanya. Ini amat berguna di dalam proses pembuatan keputusan di dalam hidup.

Kita tidak lagi reaktif terhadap keadaan, yakni secara buta bereaksi pada keadaan, tanpa pertimbangan apapun. Kita bisa hening, dan secara sadar bertindak menanggapi keadaan yang terjadi. Inilah inti dari hidup yang seimbang. Hening dan jernih di dalam batin, sambil kita aktif bekerja di dunia yang kompleks.

Dalam perjalanan, keheningan dan kejernihan bisa bersembunyi, karena pikiran egoistik yang muncul. Gangguan ini bisa amat kuat, karena kebiasaan yang sudah dibangun bertahun-tahun. Kita pun seringkali merasa bersalah karenanya. Pada titik ini, kita hanya perlu kembali menjadi pengamat hening yang mengalami segalanya, tanpa kata. Perlahan tapi pasti, pikiran egoistik akan semakin jauh, dan penderitaan juga lenyap bersamanya.

Perjalanan dengan kereta malam Yogyakarta ke Jakarta menjadi salah satu perjalanan paling berkesan di dalam hidup saya. Seluruh pemahaman filsafat dan Zen saya mengerucut menjadi satu kalimat pendek, yakni “mengalami tanpa kata”, atau non-verbal experience. Dari saat ke saat, saya menjadi “pengamat yang hening” (silent observer) di dalam kehidupan. Tertarik mencoba?

 

 

 

 

 

Paradoks Zen

$
0
0

Image result for zen surrealism"

Oleh Reza A.A Wattimena

Sejak kecil, saya suka sekali belajar. Saya suka menemukan hal-hal baru. Saya suka mengetahui segala hal tentang kehidupan, termasuk sejarah dan kompleksitasnya. Belajar menjadi semacam petualangan yang membahagiakan untuk hidup saya.

Secara umum, belajar berarti mengumpulkan informasi. Kita membaca atau mendengar hal-hal baru yang menambah pengetahuan di dalam diri kita. Belajar ilmu pengetahuan terjadi dengan proses ini. Sekolah formal, mulai dari SD sampai perguruan tinggi, juga terjadi melalui proses yang sama.

Di dalam perjalanan, saya mulai menemukan filsafat. Filsafat adalah ibu dari semua ilmu. Proses belajarnya pun berbeda. Filsafat tidak semata mengumpulkan informasi, melainkan melatih kita untuk berpikir secara rasional, kritis dan sistematik.

Lalu, saya berjumpa dengan Zen. Zen tidak memberikan informasi baru, atau melatih cara berpikir. Zen adalah sekumpulan metode untuk mengajak orang kembali ke keadaan alamiahnya sebagai mahluk hidup. Keadaan alamiah ini disebut juga sebagai “Hakekat Buddha”, dan terletak sebelum semua pikiran muncul.

Buah dari Zen adalah kejernihan. Artinya, orang paham, apa yang terjadi di dalam diri dan di sekitarnya secara apa adanya. Tidak ada yang ditambahkan, dan tidak ada yang dikurangi. Pola pembelajaran Zen mengandung banyak paradoks yang menarik untuk dicermati.

Paradoks Zen

Pertama, proses belajar Zen adalah melepaskan semua pembelajaran yang ada. Semua teori dan informasi dilepas. Semua konsep dan kepastian intelektual ditunda. Yang tersisa adalah diri kita yang asli, yakni keadaan alamiah kita sebagai manusia.

Dua, di dalam Zen, jika orang ingin mencari kebenaran, maka ia tak akan mendapatkan kebenaran. Yang ia dapatkan adalah konsep kebenaran. Artinya, ia kembali terjebak ke dalam ilusi. Kebenaran hanya dapat diperoleh, ketika orang melepaskan keinginan untuk mencapai kebenaran.

Tiga, di dalam Zen, jika orang ingin mencapai kedamaian, maka ia tidak akan pernah merasa damai. Ia akan merasa tegang. Kecemasan pun muncul, karena kedamaian tak kunjung datang. Kedamaian hanya dapat diraih, jika orang melepaskan keinginan untuk merasa damai.

Empat, di dalam Zen, jika orang ingin memperoleh kebebasan, maka ia akan terbelenggu. Ia akan terjebak di dalam konsep tentang kebebasan. Ia pun akan semakin tidak bebas. Jika orang ingin bebas, maka ia harus melepaskan semua keinginan untuk mendapatkan kebebasan.

Lalu?

Lalu, apa yang mesti dilakukan, jika orang ingin mendalami Zen? Tidak ada! Kita hanya perlu menjadi diri kita yang sebenarnya, yakni kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang berisi kesadaran murni (pure awareness), tanpa penilaian dan analisis apapun.

Banyak orang yang sulit memahami ini. Ini terjadi, karena mereka terbiasa dengan pola belajar formal, yakni menambah informasi belaka. Zen terlihat amat sulit, persis karena ia terlalu sederhana. Ini juga merupakan salah satu paradoks di dalam Zen.

Kita terbiasa dengan kerumitan yang kita buat sendiri. Kita terbiasa tenggelam di dalam kotoran ilusi yang kita ciptakan sendiri. Artinya, kita menyiksa diri kita sendiri, tanpa kita sadari. Semua ini dengan mudah dilepas, asal kita memiliki pandangan yang tepat tentang dunia sebagaimana adanya.

Tujuan Zen adalah memahami, siapa diri kita sebenarnya. Pemahaman ini akan melahirkan kejernihan. Kejernihan akan melahirkan kebijaksanaan. Jika ini terjadi, kerak derita yang mengekang hidup kita selama ini pun akan lenyap secara alami.

Zen memberikan kesegaran di dunia yang serba cepat dan kompleks. Zen memberikan pencerahan di dunia yang terus berlari tanpa arah dan motivasi yang jelas. Zen memberikan dasar yang kokoh di dunia yang terus berubah. Paradoks Zen adalah sebuah upaya untuk memecah kebuntuan pikiran kita, akibat informasi sampah yang tersebar begitu luas dan cepat sekarang ini.

Di abad 21 ini, Zen bukan hanya hobi golongan tertentu semata, melainkan alat yang amat penting untuk kewarasan pikiran, sekaligus penentu mutu keseluruhan hidup kita.

 

 

Zen di dalam Drama Keluarga

$
0
0
WhatsApp Image 2019-12-23 at 09.53.38
Ilustrasi Karya Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

Jika anda sudah merasa tercerahkan, cobalah hidup bersama keluarga anda. Begitulah kata-kata seorang Zen master terhadap muridnya, setelah ia mendapat pencerahan. Hidup di dalam keluarga tak selalu seperti di dalam surga. Salah kata dan salah sikap bisa memicu konflik panjang yang menyesakkan jiwa.

Kita semua lahir di dalam keluarga. Keluarga bisa menjadi sumber kebahagiaan yang besar. Namun, ia juga bisa menciptakan derita tiada tara. Bahkan, menurut data yang dikumpulkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) pada 2017, dari seluruh perempuan yang menjadi korban pembunuhan, 58% diantaranya terbunuh oleh anggota keluarganya sendiri.

Suami dan istri yang melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik, adalah sumber penderitaan besar bagi yang mengalaminya. Kekerasan menjadi jauh lebih menyakitkan, ketika dilakukan oleh orang terdekat. Kekerasan orang tua terhadap anak, baik verbal maupun fisik, menyisakan trauma besar yang mempengaruhi hidup anak tersebut selanjutnya. Pengalaman kekerasan akan mendorong orang untuk menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari.

Drama keluarga adalah konflik yang terjadi, akibat perbedaan nilai, ataupun krisis komunikasi yang ada di dalam keluarga. Drama keluarga merentang luas, mulai dari cekcok ringan, sampai dengan kekerasan yang berujung pada kematian. Perbedaan nilai kerap lahir dari sikap otoriter orang tua yang memaksakan nilainya kepada anak. Jika tak dikelola dengan tepat, konflik atas perbedaan nilai bisa memecah keluarga yang ada.

Drama juga muncul, akibat luka lama yang menganga. Konflik di masa lalu bisa menjadi sumber konflik di masa kini dan masa depan, jika maaf tak terucap, dan pengampunan tak diberikan. Persoalan kecil bisa memicu cekcok besar yang mengguncang seluruh keluarga. Luka yang menganga akan berkembang menjadi trauma, serta membuat komunikasi antar keluarga menjadi terhalang.

Akar Drama Keluarga

Setidaknya, ada tiga hal yang memicu lahirnya drama keluarga. Yang pertama adalah masalah komunikasi. Salah kata bisa berujung pada cekcok raksasa. Seringkali, hal ini tak terhindarkan di dalam keluarga yang tinggal bersama setiap harinya.

Terkadang, diam bisa menjadi jalan keluar. Namun, dalam keadaan tertentu, diam bisa menciptakan salah paham. Konflik pun membesar, akibat diguyur oleh salah paham. Komunikasi dengan kejernihan dan kesadaran memainkan peran penting disini.

Yang kedua adalah emosi yang menutupi kejernihan pikiran. Pikiran dan emosi memang selalu berubah. Ada kalanya mereka mereka tenang dan damai. Namun, tak jarang juga, emosi dan pikiran begitu mengguncang batin, sehingga orang kerap kali marah ataupun sedih tanpa alasan yang berarti. Ini bisa memicu konflik di dalam keluarga.

Yang ketiga adalah kesalahpahaman tentang arti pikiran dan emosi di dalam diri. Emosi adalah sesuatu yang alami di dalam diri manusia. Emosi adalah pikiran dengan daya rasa yang lebih kuat. Ia bisa membuat jantung bergetar, dan badan berkeringat. Namun, inti keduanya adalah sama.

Emosi harus dipahami sebagai kabut yang datang dan pergi. Ia bagaikan tamu yang numpang minum teh. Biarkan ia datang, dan biarkan ia pergi. Yang penting, kita tidak tersesat.

Peran Zen

Bagaimana supaya kita tidak tersesat di dalam emosi dan pikiran yang muncul? Caranya sederhana, yakni jangkarkan perhatian pada kelima indera, entah penciuman, sensasi kulit ataupun pendengaran. Dengan berjangkar pada panca indera, kita ditarik untuk hidup disini dan saat ini. Kita pun tidak hanyut ke dalam emosi dan pikiran yang muncul.

Ini adalah latihan seumur hidup. Tidak ada yang sungguh sempurna menguasainya. Dengan berjalannya waktu, perhatian kita akan secara alami tertuju pada panca indera. Kita pun menjadi jernih, karena tetap berjangkar di saat ini, walaupun pikiran dan emosi menerpa, seperti badai.

Dengan kejernihan, kita bisa melihat keadaan sebagaimana adanya. Kejernihan ini amatlah penting untuk membuat keputusan yang tepat. Kejernihan juga berarti kesadaran akan apa yang terjadi disini dan saat ini, tanpa hanyut ke dalamnya. Inilah inti dari meditasi, dan ini juga merupakan jantung hati dari Zen.

Drama dan Kehidupan

Berbagai drama keluarga juga lalu bisa dilihat sebagaimana adanya. Akar masalah akan terlihat. Komunikasi juga bisa dibangun dengan berpijak pada kejernihan tersebut. Jalan keluar dari masalah pun bisa terlihat, dan kemudian menjadi bahan diskusi bersama.

Kita pun bisa bertindak tepat. Ada waktunya, kita harus bertindak lembut penuh kasih. Ada waktunya, kita perlu bersikap tegas, dan mungkin galak. Ini semua amat tergantung pada keadaan, sekaligus kejernihan kita untuk membacanya.

Menanggapi drama keluarga, ada waktunya, kita harus diam. Kita mendengar, dan melakukan refleksi atas diri sendiri. Namun, ada waktunya, kita harus bersuara. Kejernihan pula yang menentukan hal ini.

Drama keluarga tidak harus menjadi masalah. Ia bisa menjadi warna warni yang memperkaya kehidupan. Ia bisa menjadi peluang belajar untuk melatih kesadaran dan kejernihan yang kita miliki. Dipahami seperti ini, drama keluarga adalah sebuah permainan yang mengasyikan, asal kita tidak hanyut di dalamnya.

 

 

 

Bandar Sabu VS Bandar Zen: Mencari Sensasi Tanpa Adiksi

$
0
0
Ilustrasi Karya Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

2020 sudah menyentuh hidup kita semua. Sejatinya, tahun memang ilusi. Ia tak sungguh ada. Matahari, planet, bulan dan bintang tak mengenal waktu, apalagi tahun.

Namun, bagi manusia, waktu sungguh nyata. Detik dan menit bisa menjadi beda antara hidup dan mati. Waktu adalah ilusi yang menjadi nyata, persis karena pikiran manusia. Dan di tahun 2020 ini, kita hidup di masa yang menarik.

Kita hidup di abad kemudahan. Semua hal menjadi mudah. Semua keperluan bisa dicapai dengan hanya melakukan klik di gadget ataupun komputer. Bahkan, mencari pasangan jiwa kini dilakukan dengan mengklik foto di layar telepon seluler.

Kita juga hidup di abad sensasi. Semua orang ingin mendapat kenikmatan setiap saat, tanpa jeda. Berbagai cara dilakukan, mulai dari makan enak, belanja, bergosip, seks sampai dengan narkoba. Bahkan, sensasi dan kenikmatan dicari kerap kali dengan mengorbankan keseimbangan hidup.

Sensasi adalah kenikmatan sesaat. Panca indera kita dimanjakan oleh berbagai hal. Ia kerap datang, dan pergi setelah beberapa saat. Yang tersisa adalah rasa hampa, dan kerinduan untuk kembali merasakannya.

Manusia Pemburu Sensasi

Pertama, kerinduan akan sensasi membuat diri kita tak sabar. Kita menjadi rakus akan kenikmatan berikutnya. Kita dipenjara oleh kenikmatan yang kita raih dengan susah payah. Inilah salah satu dilema manusia abad 21: kita dipenjara oleh diri kita sendiri.

Dua, abad sensasi dan abad kemudahan juga membuat kita manja. Daya tahan kita menjadi lemah terhadap penderitaan. Sedikit kesulitan hidup akan membuat kita patah tak berdaya. Tak heran, kita kini menjadi spesies tukang mengeluh dan tak pernah puas, walaupun sudah mendapatkan semuanya.

Tiga, gejala kecanduan juga dapat dilihat dari sudut pandang ini. Kerinduan akan sensasi, dibarengi dengan kemanjaan kolektif, mendorong orang masuk ke dalam dunia narkoba. Gesekan dengan penegak hukum pun tak terhindarkan. Walaupun seringkali, suap dianggap menjadi jalan keluar.

Empat, kenikmatan akan selalu bermuara pada penderitaan. Itulah hukum alam yang tak akan bisa digoyang. Sensasi nikmat yang muncul akan berlalu, dan yang tersisa hanya kehampaan. Jika tak dipahami, maka keadaan hampa ini akan memperpanjang dirinya sendiri, dan menciptakan depresi.

Inilah siklus kenikmatan di dunia. Maka, selama kita mencari kenikmatan, kita akan selalu terjebak pada kehampaan. Untuk mengisi kehampaan itu, kita lalu mencari kenikmatan lainnya. Kita dipenjara oleh kerinduan untuk merasakan kenikmatan. Kita pun menderita.

Kecanduan Berpikir

Kerinduan akan sensasi juga terkait dengan kecenderungan orang untuk melekat pada pikirannya. Manusia modern memang suka terjebak di dalam berpikir, ataupun menganalisis sesuatu secara berlebihan. Pendek kata, mereka diperbudak oleh pikirannya. Padahal, pikiran itu alat yang amat berguna untuk menjalani kehidupan.

Namun, ketika pikiran berhenti menjadi alat, dan mulai berlagak sebagai penguasa, maka segala macam masalah pun akan muncul. Masalah yang sebenarnya bagaikan bayangan, karena muncul hanya ada di kepala kita. Dalam jangka panjang, jika keadaan tetap seperti ini, orang pun bisa terjebak pada beragam bentuk penyakit mental. Penderitaan yang dirasakan amatlah besar.

Disinilah sensasi seolah menjadi jalan keluar. Kenikmatan dicari, supaya orang bisa berjarak dari pikirannya sendiri, dan keluar dari penderitaan di kepalanya. Sebenarnya, inilah fungsi dari beragam bentuk narkoba, yakni supaya orang keluar dari pikirannya sendiri, dan hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Kerinduan akan sensasi adalah pelarian dari penjara pikiran.

Sensasi Tanpa Adiksi

Di titik ini, ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, sensasi tak sama dengan kebahagiaan. Kenikmatan juga bukanlah kebahagiaan. Kenikmatan akan menciptakan rasa yang berwarna, namun selalu berakhir dengan rasa hampa dan kecewa.

Dua, kebahagiaan sesungguhnya terletak pada kedamaian yang berada di latar belakang semua pikiran dan perasaan. Ia menjadi panggung dari pengalaman kita di dalam hidup. Inilah Sabu-Zen, yakni keadaan yang memberi terang dan kenikmatan, tetapi tidak membuat kecanduan. Dampak yang dihasilkan serupa, yakni energi dan terang pikiran. Namun, ia tidak memenjara batin di dalam kecanduan dalam bentuk apapun, kecuali kehidupan itu sendiri.

Tiga, kecanduan akan kehidupan membuat kita menyentuh „api“ di dalam diri kita. Terkadang, kita menemukan kedamaian. Terkadang, kita menemukan gairah untuk bertindak. Dan kehidupan itu adalah energi. Ia abadi, hanya bentuk-bentuknya saja yang berubah.

Kerinduan akan sensasi tidak akan pernah bisa terpuaskan dengan kenikmatan belaka. Ia membutuhkan sesuatu yang bersifat abadi untuk sungguh memuaskannya. Kehidupan adalah sabu alami itu sendiri. Ia memberikan api, tetapi tidak memenjara orang di dalam kecanduan. Kehidupan itu sendiri adalah „sabu-zen“.

Kehidupan ini bisa sungguh disentuh, jika kita melihat ke dalam. Inilah jalan Zen, sekaligus inti dari semua ajaran pencerahan di dunia. Dunia luar selalu berubah, dan menjebak kita di dalam tipuan kenikmatan. Namun, jika kita melihat ke dalam, kita akan menyentuh inti dari kehidupan itu sendiri. Nama lainnya beragam. Salah satunya adalah tuhan.

 

 


Menyentuh Keabadian

$
0
0
Ilustrasi Karya Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

Alkisah, tiga praktisi Zen sedang duduk di taman. Mereka melihat daun-daun pohon bergerak diterpa angin. Muncul pertanyaan di kepala mereka. Apakah angin yang bergerak, atau pohon yang bergerak?

Diskusi berubah menjadi perdebatan. Keadaan pun memanas. Karena tak menemukan jawaban, salah satu praktisi Zen memutuskan untuk berbicara kepada master Zen. Menyimak perdebatan yang terjadi, sang master Zen berkata, „Yang bergerak bukanlah angin ataupun daun pohon, melainkan pikiranmu,…  dan juga mulutmu.“

Batin yang Bergerak

Batin yang bergerak adalah asal muasal dari segalanya. Batin yang bergerak akan menciptakan pikiran. Pikiran terbentuk, karena analisis terhadap sebuah keadaan. Artinya, orang tidak bisa melihat keadaan sebagaimana adanya, dan melakukan analisis terhadapnya.

Hasilnya adalah penolakan, atau kesetujuan. Keduanya merupakan penjara. Orang menolak apa yang tak ia suka. Ia pun ketagihan pada apa yang ia suka.

Inilah jantung hati dari tegangan maupun penderitaan hidup manusia. Di dalam tradisi Zen, inilah yang disebut sebagai lingkaran hidup dan mati. Masalahnya, orang kerap kali tak bisa memilih keadaan yang terjadi atasnya. Jika ia menolak apa yang ia benci, dan melekat pada apa yang ia cintai, maka seluruh hidupnya akan berubah menjadi kereta naik turun yang menghasilkan derita.

Konflik batin adalah akar dari konflik dengan orang lain. Ketika batin tak menemukan damai, maka orang akan terus merasa cemas. Hanya tinggal selangkah, sampai ia menyerang orang lain. Seluruh konflik politik di tataran global terjadi, persis karena para pemimpin bangsa gagal menemukan kedamaian di dalam diri mereka.

Semua dimulai dengan batin yang bergerak untuk membuat analisis. Ketika itu terjadi, kita kehilangan keadaan alamiah kita. Kita kehilangan kejernihan, dan terjebak pada penilaian suka ataupun tidak suka tentang dunia. Kita menciptakan neraka melalui pikiran kita sendiri.

Batin yang Tak Bergerak

Salah satu teks yang paling menarik di dalam tradisi Zen adalah Unfettered Mind yang ditulis oleh Takuan Soho. Ia adalah seorang master Zen yang hidup, ketika Shogun dan Samurai masih menjadi penguasa di dalam politik Jepang abad 16. Inti pandangannya adalah batin yang tak bergerak di hadapan segala keadaan. Ini menjadi amat penting bagi para Samurai yang akan bertarung mempertaruhkan nyawa di medan perang.

Batin yang tak bergerak tak membuat analisis apapun. Segala hal terjadi di depan matanya. Ia berada sebagai pengamat yang tak berpihak. Karena tak ada analisis, maka tak ada juga penolakan, ataupun kesetujuan. Yang tersisa: keadaan sebagaimana adanya.

Tak ada distraksi. Tak ada penderitaan. Tak ada pula penilaian. Batin lalu menjadi luas, siap menampung apapun yang terjadi. Inilah akhir dari penderitaan. Inilah keadaan batin Zen (Zen mind).

Keadaan batin ini berada sebelum waktu dan ruang. Ia berada sebelum bahasa dan juga sebelum konsep. Tak ada derita, dan tak ada bahagia. Di dalam filsafat Asia, ia disebut juga sebagai Nirwana, yakni lenyapnya semua kecenderungan batin.

Di titik inilah orang menyentuh keabadian. Orang menyentuh sepenuhnya saat ini. Waktu lenyap. Hidup menjadi saat demi saat.

Ada waktunya, gerak batin muncul. Ini terjadi, karena kebiasaan, atau keperluan. Tak masalah. Orang hanya perlu menyentuh kembali batin yang tak bergerak, yang merupakan dirinya yang asli. Ini adalah latihan seumur hidup, tanpa henti.

Tak Seperti yang Kita Pikirkan

Menyentuh keabadian berarti menyentuh kenyataan. Ini juga berarti, orang menyentuh kehidupan. Inilah inti dari semua ajaran spiritual di dunia. Ia berciri pribadi, namun memiliki dampak besar di dalam hidup sehari-hari.

Spiritualitas yang sejati berada sebelum konsep. Ia berbeda dari agama. Ia tak terkait dengan ritual. Ia juga melepaskan diri dari kepatuhan buta pada tradisi yang tak sesuai lagi dengan perubahan hidup.

Ia menghentikan semua analisis tentang kenyataan yang melahirkan tegangan dan derita. Ia mengajak orang untuk menyentuh keabadian.Pikiran lalu digunakan seperlunya. Analisis juga dilakukan sesuai tuntutan keadaan.

Tak lebih. Tak kurang. Inilah keadaan batin Zen. Inilah batin yang mampu menyentuh keabadian.

 

 

Hidup Hanya Numpang Ketawa

$
0
0
Ilustrasi dari Ucil Prastya Leonard

Oleh Reza A.A Wattimena

Sekilas Info, begitu judul dari lagu karya Jason Ranti. Satu lirik yang terus terngiang di kepala saya: heii.. hidup hanya numpang ketawa. Kutertawa maka ku apa….Nadanya mengayun, dan begitu mudah menempel di telinga.

Apakah benar, bahwa hidup hanya numpang tertawa? Jason Ranti tampaknya berpikir begitu. Rupanya, ia tidak sendirian. Ribuan Zen Master di dalam sejarah berpikiran serupa.

Alkisah, ada seorang Zen Master yang hidup bersama murid-muridnya. Setiap malam menjelang tidur, ia akan tertawa terbahak-bahak di kamarnya. Tertawanya menggelegar mengisi biara Zen tempat ia tinggal bersama murid-muridnya. Apa arti tertawanya?

Hidup Hanya Numpang Tertawa

Zen penuh dengan kebijaksanaan yang bersifat spontan. Tidak hanya itu, ide-ide di dalam Zen juga praktis. Ia bisa digunakan untuk mencerahkan hidup sehari-hari. Seringkali, percikan pencerahan mengundang tawa yang melegakan dada.

Di dalam hidup, kita selalu mencari kebahagiaan. Kita ingin memperoleh kedamaian hati di tengah keadaan yang terus berubah. Untuk itu, kita mencari ke seluruh penjuru dunia. Uang dan tenaga habis, namun kita tak juga menemukan, apa yang kita cari.

Yang membuat tertawa adalah, bahwa apa yang kita cari sesungguhnya ada di dalam diri kita. Semua pencarian kebahagiaan akan percuma, jika orang tak melihat ke dalam dirinya sendiri. Dengan menyadari ini, senyum akan tergores sekilas di wajah. Tawa pun akan mengikuti.

Zen Master asal Vietnam, Thich Nhat Hanh, pernah menjelaskan. “Ini bukanlah tertawa orang yang mendapatkan harta melimpah. Juga bukan tertawa orang yang barus saja memenangkan pertandingan. Ini adalah tertawa yang muncul, setelah kita mencari sesuatu dengan susah payah, dan ternyata itu ada di kantong celana kita.” (dalam Foreman, 2015)

Jangan Terlalu Serius

Salah satu hal penting dalam Zen adalah, jangan melihat hidup terlalu serius. Jika dilihat secara keseluruhan, hidup adalah absurditas yang mengundang tawa. Segala hal berubah. Hari ini untung, besok buntung. Terlalu serius justru akan membuat kita menderita sia-sia.

Longchenpa, master Buddhis dari Tibet, pernah juga berkata. „Semuanya adalah kesementaraan belaka. Tidak ada yang sungguh jahat dan baik pada dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa ditolak, ataupun diterima. Maka cuma satu yang bisa kita lakukan: tertawa selepas-lepasnya.“ (dalam Foreman, 2015)

Diri kita pun hanya sementara. Yang disebut diri adalah kepribadian kita. Ia terus berubah. Tidak ada pusat yang mengikat.

Maka, kita bukanlah diri yang kita pikirkan. Saya bukan Reza. Itu hanya kepribadian sementara yang dibuat oleh lingkungan sekitar saya. Sadar akan hal ini, tak ada pilihan lain: kita hanya bisa tertawa.

Banyak Tertawa

Saya sudah belajar begitu banyak tradisi filsafat dan spiritualitas dari berbagai penjuru dunia. Ada satu ciri yang sama dari para master tersebut. Mereka mudah sekali tertawa. Tidak hanya tertawa, tetapi mereka juga tertawa terbahak-bahak.

Alan Watts, Zen Master asal Amerika, juga pernah menulis. „Orang menderita, karena mereka menganggap serius apa yang diciptakan oleh Alam untuk bersenang-senang.“ (dalam Foreman, 2015) Di dalam ilmu fisika, semakin banyak yang ditemukan, semakin banyak pula pertanyaan baru bermunculan. Hanya ada satu tanggapan terhadap hal ini: tertawa.

Tertawa bisa menghapus omong kosong. Kerap kali, para pelawak dan seniman adalah orang yang paling jujur di dalam masyarakat. Mereka mengambil jarak, dan melihat keanehan dari semua ini. Mereka seringkali jauh lebih jujur dari para pemuka agama, guru, apalagi politikus.

Di dalam Zen, ini disebut sebagai “orang-orang bodoh yang tercerahkan” (enlighten fool). Mereka melihat kesia-siaan dari segala upaya manusia, dan masih mampu menemukan tawa di dalamnya. Dengan senjata tawa dan komedi, mereka memotong ketololan hidup manusia, dan membawa kesegaran untuk semua. Inilah kebijaksanaan yang gila (crazy wisdom).

Mereka menolak tunduk pada tradisi dan kata masyarakat. Mereka melihat hidup sebagai tarian yang penuh kreativitas. Tak jarang, mereka menyinggung hati orang-orang tolol yang dicekik tradisi. Walaupun dimaki dan ditolak, mereka tetap tertawa, dan berkarya.

Tertawa itu Menyembuhkan

Tertawa adalah obat terbaik. Ini amat sangat benar. Tertawa menghapus tegangan hidup sehari-hari. Tertawa menghapus rasa bosan yang mencekik jiwa. Orang-orang yang berbeda berkumpul bersama untuk tertawa bersama.

Tertawa juga menunda ego. Ego adalah kepribadian hasil bayangan kita. Lingkungan sekitar juga turut serta menciptakannya. Dengan tertawa, ego tertunda, walaupun untuk sementara.

Banyak orang mengira, bahwa orang yang tercerahkan adalah orang yang sempurna. Mereka tak pernah marah. Mereka tak pernah sedih. Bahkan, mereka tak pernah tertawa.

Ini pandangan yang tolol, dan justru mengundang tawa konyol. Pandangan inilah yang melahirkan pemujaan kosong. Sekte-sekte sesat tercipta di sekeliling guru yang dianggap sempurna. Jika kita tak mampu meniru kesempurnaan tersebut, kita lalu dicekik oleh rasa bersalah dan tak berguna.

 

Kembali ke Kenyataan

Di dalam Zen, kamu harus membunuh Tuhan yang kamu temukan di jalan. Tuhan yang ditemukan di jalan adalah Tuhan palsu. Ia adalah konsep dan ilusi yang menipu. Dengan melepas semua ide tentang Tuhan, kita justru akan berjumpa, dan menyatu dengan-Nya.

Melepas semua ide berarti kembali ke saat ini. Saat ini adalah yang nyata. Saat ini sederhana, sekaligus rumit. Ada beragam emosi dan pikiran yang datang pergi. Beberapa menyakitkan. Beberapa membahagiakan.

Menjadi sempurna berarti hidup dalam mimpi. Kita lalu meninggalkan saat ini. Melepas saat ini berarti mengundang derita. Dalam derita, ego menjadi raksasa, dan mengundang derita lebih dalam.

Alan Watts juga pernah menegaskan, bahwa kita tak dapat menentukan kiri, tanpa kanan. Kita tidak dapat menentukan atas, tanpa bawah. Semua hal di dunia ini satu paket. Mencari bahagia justru akan mengundang derita.

Kita hanya perlu menjadi diri kita yang asli. Pikiran berhenti. Emosi juga berhenti. Hanya sadar dan hidup.. mungkin juga tertawa.

Kita Semua Akan Mati

Hal terlucu yang pernah ada adalah, bahwa kita semua akan mati. Ini kenyataan. Ini tidak menakutkan. Ini justru amat sangat super lucu.

Beragam agama meyakinkan, bahwa ada hidup setelah mati. Jika patuh pada agama, maka masuk surga. Jika tak patuh, maka masuk neraka. Mendengar itu, saya hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Tau dari mana? Ngarang aja.

Anda bisa cerdas. Anda bisa cantik atau ganteng. Anda juga bisa amat sangat kaya. Namun, anda akan mati. Kita semua akan mati.

Kita bisa bekerja keras. Kita bisa belajar semua hal. Kita bisa mengubah dunia. Namun, semua itu akan dilepas, karena kita akan mati.

Inilah “lelucon kosmik yang agung” (the great cosmic joke). Osho pernah menulis. “Hidup sesungguhnya sudah cukup membuat kita tertawa. Hidup begitu absurd. Hidup begitu sia-sia. Tetapi, ia juga begitu indah, dan sangat-sangat menakjubkan. Hidup adalah lelucon kosmik yang agung.“ (dalam Foreman, 2015)

Setelah tertawa di hadapan segalanya, apa yang tersisa? Kita hanya perlu menjadi diri kita yang asli. Kita kembali ke titik awal kita memulai segalanya. Kita menjadi pemula di dalam memandang kehidupan: menjadi hidup sepenuhnya.

Hidup lalu menjadi permainan. Ia bukan lagi kumpulan tugas yang wajib dikerjakan. Hidup juga menjadi tempat berbagi tawa dan komedi.

Aaa.. hidup hanya numpang ketawa….aaa… kutertawa maka ku apa… Kembali terngiang lantunan lagu Jason Ranti. Jangan-jangan, ia adalah seorang Zen Master.  HAHAHAHAHAHAHA

 

 

 

 

 

Jika Kamu Mencintai Aku, Jangan Ciptakan “Aku”

$
0
0
Ilustrasi karya Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

Jika kamu mencintai aku, jangan ciptakan “aku”. Begitulah kata Ajahn Amaro, seorang Bikkhu Buddhis, ketika diminta berbicara soal cinta. Saya langsung menampilkan kutipan itu di beberapa media sosial pribadi. Beberapa teman langsung bertanya, apa artinya? Saya tergelitik untuk memberikan jawaban.

Ini adalah soal cinta. Tema abadi dalam hidup manusia yang menjadi inspirasi untuk sejuta lagu, film, buku maupun puisi. Siapa yang tak suka, ketika cinta datang berkunjung? Hati berbunga, dan hari terasa seperti bernyanyi, tanpa ujung.

Namun, tak jarang cinta berujung pada duka. Hati yang bernyanyi patah disiksa rasa kecewa. Beberapa melanjutkan hidup dalam nestapa. Tak sedikit pula yang putus harapan, dan memilih kematian sebagai teman.

Mekanisme Jatuh Cinta

Mengapa ini terjadi? Ini terjadi, karena ketika jatuh cinta, kita jatuh cinta pada sebuah gambaran. Kita jatuh cinta pada konsep tentang orang lain. Kita menciptakan “dia” di dalam kepala kita. Padahal, “ia” yang nyata pasti berbeda dengan “ia” yang kita bayangkan.

Kita jatuh cinta pada seorang “pribadi”. “Pribadi” adalah kumpulan cerita. Ia bukanlah kenyataan. Pribadi adalah ciptaan kita yang sedang melihat dan memikirkannya.

“Pribadi” adalah ilusi. “Dia” juga adalah ilusi. Ketika kita jatuh cinta pada pribadinya, maka kita jatuh cinta pada isi kepala kita sendiri. Tak heran, kita terjerumus dalam derita dan nestapa.

Realita

Segala hal berubah. Tidak ada yang tetap. Orang yang kita kenal dan sayangi pun juga berubah. Sifat dan bentuk fisik mereka pun terus berubah, seperti sungai yang tak berhenti mengalir.

Karena segalanya berubah, maka tak ada inti yang bisa dipahami. Tak ada inti yang bisa digenggam dengan erat. Tidak ada ciri pribadi yang bisa dibaca. Tidak ada sifat ataupun karakter yang tak berubah.

Karena segalanya berubah, dan tak ada inti, maka tak ada yang pasti. Upaya untuk memperoleh kepastian akan berakhir dengan kekerasan. Inilah penyakit para radikalis agama, maupun radikalis ideologi (Marxisme, Liberalisme, Fasisme dan sebagainya). Upaya untuk memastikan dan mengontrol kehidupan akan berakhir dengan kekerasan dan penderitaan.

Lalu Bagaimana?

Maka, kita perlu melihat dan memahami kenyataan sebagaimana adanya. Kita perlu hidup dengan kehidupan, bukan dengan pikiran-pikiran kita semata. Pikiran dan emosi lalu digunakan seperlunya, tidak secara berlebihan. Inilah kebijaksanaan tertinggi yang bisa diraih manusia.

Ketika cinta tiba, jangan membuat cerita tentangnya. Jangan menebak karakter orang yang kita berikan cinta. Jangan membuat asumsi apapun. Jangan membuat “dia” di dalam kepalamu.

Maka, cinta pun akan tumbuh dengan alami. Tidak ada gangguan pikiran dan emosi yang tak berguna. Yang tercinta akan selalu dilihat di dalam kenyataan disini dan saat ini. Cinta semacam ini telah menyentuh keabadian.

Keheningan dan Kreativitas

Ketika kita berhenti membuat cerita tentang kehidupan, kita akan menemukan keheningan. Bahkan, ketika sekitar kita gaduh, batin kita tetap hening dan damai. Kiranya rumus yang sama bisa diucapkan. “Jika kamu ingin kehidupan yang bahagia, jangan membuat cerita apapun tentang kehidupan.”

Di dalam keheningan, ide berkembang. Kebijaksanaan dan welas asih bertumbuh. Tak ada buku yang perlu dibaca, dan tak ada sekolah yang harus ditempuh. Inilah kebijaksanaan alami yang sejalan dengan hukum-hukum alam (Dharma).

Kreativitas pun mengalir deras. Dorongan untuk mencipta tampil ke depan. Kepedulian pada kehidupan tumbuh dengan sendirinya. Kita lalu menjadi hidup sepenuhnya, dengan segala api dan damai yang ada di dalamnya.

Ajahn Amaro kiranya tepat. Saya sudah mencobanya. Ketika saya tak membuat cerita tentang apapun, segalanya menjadi jelas dan jernih dengan sendirinya. Tak ada kenikmatan yang lebih tinggi daripadanya. Anda tertarik mencoba?

 

 

 

 

 

 

 

Seks dan Zen

$
0
0
Ilustrasi Karya Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

Lebih dari 13 tahun, saya mengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi. Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara kritis, sampai ke akarnya. Tema seks pun kerap kali muncul, terutama dalam kuliah terkait manusia. Lucunya, setiap kali berbicara soal seks, banyak mahasiswa malu tersipu-sipu, atau merasa cemas.

Mengapa? Karena di masyarakat kita, seks adalah barang tabu untuk dibicarakan. Hampir semua agama berbicara soal melarang atau membatasi seks. Hukumannya pun kejam, yakni api neraka bagi yang melanggar. Karena mutu pendidikan kita yang rendah, sehingga pikiran kritis dan rasional itu dianggap berbahaya, maka orang pun patuh buta pada ajaran terbelakang semacam itu.

Padahal, kita semua lahir, karena orang tua kita berhubungan seks. Cinta bisa hadir, ataupun tidak. Namun, seks pasti hadir. Perjumpaan sperma dan sel telur melahirkan kehidupan baru. Ini tidak dapat disangkal.

Jika kita semua lahir dari seks, mengapa seks lalu ditabukan? Inilah kesalahan berpikir mendasar. Ajaran-ajaran lama membungkam akal sehat dan pikiran kritis. Bahkan, sumber kehidupan pun ditakuti, dan bahkan dipenjara atas nama moralitas dangkal.

Seks adalah bagian dari kehidupan. Ia tidak jelek. Ia tidak perlu ditabukan. Kita hanya perlu untuk melihat seks sebagaimana adanya.

Seks Sebagaimana Adanya

Pertama, seks adalah dorongan biologis. Tujuannya sederhana namun penting, yakni pelestarian spesies manusia. Tanpa seks, manusia akan punah. Hal ini berlaku tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk semua mahluk hidup di muka bumi ini.

Dua, pada pria, dorongan seks terasa lebih kuat. Ini terjadi, karena tugas pria (pejantan) adalah mencari pasangan untuk melestarikan spesies. Dorongan ini juga ada pada perempuan, namun dalam tingkat yang lebih kecil. Tak heran, pria jauh lebih suka berbicara dan berwacana soal seks, daripada perempuan.

Bagi beberapa orang, pandangan ini dituduh meremehkan peran perempuan. Kata mereka, banyak perempuan memiliki dorongan seks yang sama besar, bahkan lebih, daripada pria. Pandangan ini kiranya bertentangan dengan pengalaman saya. Namun, kiranya, penelitian lebih lanjut diperlukan.

Tiga, di abad 21 ini, seks menjadi barang dagangan. Iklan mengumbar seks untuk menjual barang mereka. Lekukan tubuh perempuan digunakan untuk menjual alat elektronik, ataupun kondom. Garis keras tubuh pria digunakan untuk memikat perhatian, dan mengundang orang untuk berbelanja.

Empat, maka, kita mengalami paradoks seks di Indonesia. Seks ditabukan di muka umum, namun meledak di dalam ruang-ruang gelap. Tak heran, di masyarakat yang mengaku suci dan menabukan seks, Indonesia memiliki salah satu industri pelacuran gelap terbesar di dunia. Para penikmat pornografi pun menemukan rumah nyaman mereka di Indonesia. Paradoks yang bermuara pada kemunafikan.

Lima, pornografi adalah upaya untuk menjadikan seks sebagai barang dagangan pada dirinya sendiri. Tidak ada barang lain yang ingin dijual. Di abad 21 ini, industri pornografi meledak tanpa batas. Ini tentunya menciptakan kesalahpahaman berpikir soal seks itu sendiri, dan letaknya di dalam kehidupan manusia.

Seks Sebagai Zen

Zen adalah meditasi. Zen adalah jalan spiritual universal untuk membawa orang lepas dari penderitaan hidup. Di dalam bahasa Jerman, meditasi kerap disebut sebagai Versenkung. Kata ini punya arti lain, yakni melebur.

Di dalam seks, hal yang sama terjadi. Dua orang melebur menjadi satu. Tubuh bergesekan. Di dalam melebur, kenikmatan besar pun muncul.

Seks adalah dorongan untuk melebur dengan yang lain. Di dalam seks yang sejati, ego lenyap. Kecemasan, ketakutan dan kepentingan diri lenyap seketika. Pada titik itu, orang tidak hanya menyatu dengan pasangan seksnya, tetapi juga dengan seluruh alam semesta.

Orang lain pun tidak ada. Alam semesta pun tidak ada. Semua itu adalah bagian dari diriku. Inilah cinta yang sesungguhnya, ketika aku, orang lain dan seluruh alam semesta tidak lagi bisa dibedakan.

Kesedihan orang lain adalah kesedihanku. Gangguan di alam semesta pun dapat dirasakan, asal kita cukup memberikan perhatian. Inilah makna terdalam dari pembebasan, yakni orang terbebaskan dari ego yang menyiksa dirinya sendiri. Di dalam alam pikir India, keadaan batin semacam ini disebut sebagai Yoga.

Seks menjadi Zen, ketika ia dilakukan dengan arah yang tepat. Seks tidak diperjualbelikan. Seks pun tidak lagi hanya pemuasan nafsu dangkal semata. Seks lalu menjadi jalan spiritual untuk melebur dengan segala yang ada.

Baru-baru ini, Ajahn Brahm, master Buddhis asal Inggris, memberikan ceramah di Indonesia. Tema ceramahnya menarik, yakni Zero Ego. Ketika kita melepas ego, kita akan merasakan cinta dan kebahagiaan yang sejati. Saya rasa, pandangannya tepat, namun kurang.

Jika Ajahn Braham paham dan melakukan seks dengan arah yang serupa, maka ia pasti bisa melebur lebih dalam dengan segala hal. Ia bisa mencintai lebih dalam. Setuju?

 

 

 

 

 

 

 

Korupsi, Zen, Filsafat dan Kehidupan: Sebuah Percakapan Santai namun Ilmiah

$
0
0

Tema: Pendidikan Anti-Korupsi Berbasis Nilai- Nilai Pancasila

Fasilitator : Hendar Putranto, M. Hum.

Narasumber: Dr. der Phil. Reza A.A Wattimena

Hari, tanggal: Selasa, 12 Juni 2018 (14.00-14.50)

Lokasi: Booth Dairy Queen, Mall Kota Kasablanka

Sesi Pembuka oleh Hendar Putranto, M. Hum.

Oke, hari ini tanggal 12 Juni 2018, bertempat di Dairy Queen, Kota Kasablanka jam 13.55. Hendar Putranto sebagai ketua tim peneliti skema PKPT, sebagai ketua tim TPP (Tim Peneliti Pengusul) sedang bertemu dengan narasumber, salah satu narasumber ahli untuk pendalaman tema: Anti-Korupsi Berbasis Nilai-Nilai Pancasila. Beliau bernama Reza Wattimena, doktor filsafat lulusan dari Universitas Munchen[1] jurusan filsafat dan kapasitas beliau sebagai penulis buku Filsafat Anti-Korupsi yang diterbitkan Kanisius tahun 2012. Atas dasar itulah, maka Hendar mengontak Dr. Reza Wattimena untuk dijadikan narasumber terkait dengan pendalaman tema Anti-Korupsi Berbasis Nilai-Nilai Pancasila.

Konklusi Pertanyaan :

  1. Latar belakang dan metodologi penelitian yang digunakan untuk menulis buku Filsafat Anti-Korupsi?
  2. Apakah langkah pencegahan anti-korupsi yang dilakukan di sekolah level SMA akan berlangsung efektif atau tidak?
  3. Jika tidak, apakah langkah pencegahan bisa mulai lebih awal yaitu di dalam keluarga? Apakah Zen bisa berkontribusi dalam pencegahan anti-korupsi tersebut?

 

(03:31-05:33)

Reza : Oke, terimakasih, Pak Hendar. Jadi, mungkin alasan saya dahulu menulis buku itu adalah karena korupsi sudah seperti kanker yang menyebar  di masyarakat Indonesia dan selama ini orang memahami korupsi sebagai pelanggaran hukum semata, lupa bahwa itu adalah akar budaya, akar moral, bahkan akar spiritualitas yang cukup dalam. Buku saya tahun 2012 itu ingin memahami korupsi dan mencoba melampaui korupsi tidak dengan pendekatan hukum, itu juga dipakai tapi itu hanya syarat, tetapi juga terlebih dengan memahami korupsi dalam kaitannya dengan kehidupan manusia yang lebih menyeluruh. Ada faktor mental, faktor sosial, budaya, spiritual, ada faktor pendidikan juga. Jadi memang korupsi harus dipahami keseluruhan, multidimensi, tidak hanya soal hukum. Ini mungkin salah satu kelemahan mendasar dari pemberantasan korupsi di Indonesia, yang melihatnya hanya soal hukum.

Hendar : Pelanggaran hukum dan harus ditindak secara hukum.

Reza : [bahwa Korupsi itu pelanggaran hukum dan harus ditindak secara hukum] itu sudah jelas, tapi dampaknya jauh lebih luas, maka pencegahan dan pemberantasan (korupsi) harus lebih luas daripada soal hukum. Seharusnya kita sevisi dalam hal ini, ya. Dan metode yang saya pakai waktu itu, saya mencoba mengaitkan beberapa teori dari pemikir-pemikir besar dalam filsafat untuk melihat korupsi sebagai sisi gelap manusia, sisi kejahatan manusia. Jadi, manusia itu punya dorongan untuk rakus, iri hati, dorongan untuk melakukan hal-hal jahat kepada orang lain untuk kepuasan dirinya, dan bagaimana itu dipahami. Jadi tidak diabaikan, tetapi dipahami. Karena dari situ korupsi berasal, dari kerakusan, dari iri hati, dari keinginan untuk mencuri, mencuri apa yang bukan haknya. Dan di dalam buku itu, saya mencoba meneropong dengan beberapa teori yang dipakai di filsafat dan teori-teori sosial pada waktu itu.

 

(05:34-08:14)

Hendar : Misalnya salah satu atau dua pemikir yang masih diingat?

Reza : Saya pakai pemikiran Elias Canetti yang melihat bahwa manusia itu memiliki sisi hewani. Bagaimana manusia berperilaku seperti binatang tanpa kontrol nurani, tanpa kontrol akal sehat, rampas tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan misalnya merampas hak orang, merampas uang rakyat tanpa pertimbangan nilai-nilai yang beradab. Saya juga pakai Nietzsche yang mana manusia itu didorong oleh kehendak untuk berkuasa- Der Wille zur Macht–ingin menguasai (dan) salah satu cara untuk menguasai adalah dengan kekuasaan, punya uang. Dan uang itu lalu dicari dengan segala cara termasuk nyolong atau korupsi. Dan itu akarnya cukup dalam ya, dalam kerakusan manusia. Saya juga baru nulis, baru saja tadi malam. Saya nulis artikel soal kerakusan, seluk beluk kerakusan. [https://rumahfilsafat.com/2018/06/11/seluk-beluk-kerakusan/]

 

Hendar : oh tulisan ini yang ada di blog “rumahfilsafat”, ya?

Reza : Iya, saya baru nulis ini. Dan ini juga sumber dari korupsi. Orang sudah kaya tapi masih corrupt itu, masalahnya dimana gitu? Bukan karena dia miskin atau apa, tetapi emang namanya rakus. Dan rakus ini unsurnya banyak yang saya bahas dalam tulisan ini.

Hendar : Secara psikologis, begitu, atau?

Reza : Secara psikologis, sosial. Karena itu sekali lagi tidak bisa dipahami hanya dari satu sudut. Psikologis, pasti. Ada faktor pendidikan, ada faktor keteladanan. Bagaimana melihat para pemimpin masyarakat kita yang corrupt, justru malah dipuja-puja, gitu, ya?  Ya, itu akhirnya memberikan kesan bahwa koruptor itu biasa kok, semua orang melakukannya, tinggal pinter-pinter aja gak ketangkap. Anggapan-anggapan salah yang tersebar di masyarakat. Nah ini yang perlu dibongkar, karena ini tidak bisa dicegah oleh hukum, karena ini ‘kan pandangan/ide. Ide itu ‘kan menyebar. Koruptornya paling, “Ah, biarin lah, paling dua, tiga tahun dipenjara. Keluar dari penjara, masih kaya.” Kayanya pun kaya bener, bukan kaya doang. Dan memang, pada akhirnya di dalam buku itu saya bilang, solusi korupsi di samping hukum adalah transendensi, satu, bagaimana orang memahami kerakusan, iri hati, memahami sisi-sisi gelap dalam dirinya. Setelah dia paham itu, dia bisa melampauinya. Tapi kalau dia tidak paham itu, bahkan cenderung mengabaikannya atau menganggapnya sebagai dosa atau godaan setan, [tidak paham itu] akhirnya dia hanyut.

 

(08:15-09:00)

Hendar : Eksternalisasi kesalahan itu sendiri merupakan bentuk dia tidak mau mengakuinya ya?

Reza : Iya, karena dia tidak paham. Dia menyangkal bahwa dirinya itu punya sisi gelap itu, sisi rakus, sisi hewani. Nah buku itu memang terlebih untuk memahami sisi  gelap manusia yang menjadi sumber korupsi, lalu mencoba menawarkan jalan keluar dari situ, dari pemahaman bukan dari penyangkalan. “Oh, kita ini makhluk suci, makhluk pilihan Tuhan.”

Hendar : Imago dei.. Citra Allah.

Reza : Imago dei, citra Allah. Itu bener, tapi tidak hanya itu. Maka, solusinya adalah transendensi, bagaimana manusia memahami sisi-sisi gelap dirinya. Lalu, kedua adalah mencoba melampaui semuanya itu. Memang pada akhirnya, jalan paling  efektif untuk membongkar korupsi adalah pendidikan. Tidak bisa disangkal.

 

(09:01-13:30)

Hendar : Oke, Good. kalau begitu, kita bisa masuk ke poin nomor dua. Sekarang yang kami sedang lakukan penelitian, tahun lalu sebagai background aja, tahun lalu kami sudah masuk ke sekitar 10 sekolah di Banten dan 10 sekolah di Jakarta, cukup banyak ya 20 itu. Tapi, efektif yang mau bekerjasama sekitar 19 sekolah, artinya kami tempuh dengan tahap kuisioner dulu, kami berikan daftar pertanyaan kepada para siswa 30 orang di tiap sekolah, jadi sekitar totalnya responden ada 570-an  siswa SMA se-DKI Jakarta dan Banten. Lumayan itu 570. Kami masih punya berkasnya semua, data orisinilnya kami masih punya. Hasil olahan datanya juga ada. Diantaranya misalnya ada  pertanyaan yang begini, “Apakah menurutmu, korupsi bisa dilakukan di sekolah, dalam setting sekolah?” Kami berikan contoh: menyontek. Tapi hasilnya mengejutkan sekali, karena dari 570 siswa, ini yang sejauh saya ingat untuk koma persennya saya gak hapal. Tetapi begini, dominan mengatakan bahwa menyontek, baik itu waktu ujian maupun nyontek PR, bagi mereka itu bukan korupsi. Itu merupakan kesalahan, tapi bukan korupsi.  Jadi, mereka menoleransi sikap seperti itu atau tindakan nyontek itu dengan mengatakan itu adalah hal yang biasa saja. Salah ‘sih memang karena mereka tahu itu melanggar aturan sekolah, tapi bukan korupsi. Nah, kami akhirnya kemarin memberikan penyadarannya adalah itu adalah benih korupsi, karena kamu mengakui bahwa sebenarnya itu tidak jujur. Nah, itu. Jadi itu adalah contohnya aja, jadi, ternyata mereka sendiri melihat  bahwa korupsi itu lebih dekat dengan materialisasi. Jadi, kayak misalnya nyontek, bagi mereka itu bukan materialisasi karena bagi mereka, saya cuma melihat, “Oh, dia gak kehilangan kok.” yang nyontek dia, tapi dia gak kehilangan barangnya. Tapi, mengambil uang kas kelas, bagi mereka itu korupsi.

 

Reza : Nah, tahan dulu. Sebenarnya, korupsi itu apa? Jadi ada dua. Yang pertama, korupsi  dari kata corruptus, tapi akar (etimologis)nya adalah pembusukan. Jadi, sesuatu itu disebut corrupt kalo itu membusuk. Dan itu dari hal-hal yang sangat immaterial, misalnya kamu bersahabat sama orang karena ada maunya, kamu ingin naik pangkat makanya kamu bersahabat dengan dia. Artinya persahabatan itu turun derajatnya, membusuk menjadi corrupted friendship istilahnya. Persahabat yang corrupt, membusuk. Jadi nilai-nilai luhur manusia, misalnya agama itu ‘kan luhur, untuk membantu manusia untuk menemukan kebaikan dan kedamaian. Tapi ketika itu dipolitisir, agama menjadi  corrupt, agama menjadi busuk. Dan itu disebut corrupted religion, agama yang sudah menjadi alat politik.

Hendar : Itu bentuk immaterialnya dari korupsi ya?

Reza : Iya, sesuatu yang luhur tapi karena dicampuri oleh kepentingan-kepentingan busuk. Akhirnya jadi ikut busuk sesuatu itu.

Hendar : Termasuk pendidikan juga bisa masuk disitu?

Reza : Pendidikan, ketika pendidikan menjadi proses cuci otak  untuk indoktrinasi. Apalagi, pendidikan di Indonesia dijajah oleh dua, formalisme agama, jadi pendidikan itu dijadikan pendidikan agama-agama yang seperti itu sama pendidikan yang untuk mengabdi kepada kepentingan bisnis, pokoknya ada duitnya. Duit, duit, duit, duit, duit. Makanya jurusan-jurusan seperti sastra Jawa, sejarah malah semakin minim. Sekarang sudah akuntansi, komputer, perpajakan, yang ada duitnya justru semakin banyak, ya. Jadi, ketika pendidikan sudah kena virus itu, formalisme agama dan kepentingan bisnis, pendidikan jadi corrupt , pendidikan jadi busuk. Jadi itu adalah arti asalinya, arti sebenarnya ya. Tapi dalam pendidikan ‘kan berkembang, korupsi yang dipahami oleh banyak ahli saat ini sebagaimana dalam buku saya yang saya pake adalah ketika kita menggunakan barang publik untuk kepentingan privat. Jadi, barang itu adalah sesuatu yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum atau bersama, kita gunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan kita semata. Contoh, trotoar. Trotoar itu ‘kan punya umum, ketika saya pakai buat jualan. Saya sedang melakukan korupsi, kenapa? Karena saya menggunakan barang umum untuk kepentingan pribadi saya.

Hendar : Dan menghalangi orang lain yang mengakses itu.

Reza : Iya, meresahkan orang lain. Jadi, tindakan-tindakan korupsi yang dalam tindakan sehari-hari. Ketika naik motor, motong jalan lewat trotoar. Itu ‘kan buat orang pejalan kaki bukan buat pengendara motor. Makanya pengendara motor itu sedang melakukan korupsi, menggunakan barang publik untuk kepentingan privat. Apalagi kalau sudah urusan keuangan negara, itu mah sudah jelas.

 

(13:31- 15:00)

Hendar : Iya, kalau itu ‘kan Undang-Undang tindak pidana  korupsi.

Reza : Iya, Nah kalau itu ‘kan sudah jelas masuk ke dalam Undang-Undang tindakan pidana  korupsi. Dana APBN digunakan untuk kepentingan-kepentingan jalan-jalan sama keluarga, beli mobil baru, itu ‘kan nyolong, itu jelas korupsi.

Hendar : Iya, betul.

Reza : Nah, dalam kasus anak SMA ini, mungkin mereka juga agak blur ya dengan pengertian corrupt. Mereka tahu kalau menyontek itu salah, itu perbuatan salah itu jelas. Tapi apakah bisa dikategorikan korupsi, juga mungkin mereka agak bingung, karena mereka gak paham korupsi itu apa sebenarnya.

Hendar : Hmm, Iyaa.. Iyaa.

Reza : Kalau dalam soal sekolah itu misalnya, yang justru jadi banyak gurunya ya yang saya ambil.

Hendar : Ya, Ya. Itu memang terjadi dan memang mereka cerita juga ke kami.

Reza : Laptop yang seharusnya digunakan untuk keperluan mengajar, dibawa ke rumah untuk main games sama anaknya. Ya, gapapalah semua orang melakukan itu, akhirnya korupsi menjadi budaya, ‘kan tidak ada kepekaan, “Oh, ini korupsi loh.” Karena itu barang untuk kepentingan sekolah, kepentingan bersama. Ketika dipakai untuk main game kamu dan anakmu, kamu menggunakan barang publik untuk kepentingan privat itu korupsi per definisi.

Hendar : Per definition-nya. Belum dana BOS dan sebagainya lagi yang lain.

Reza : Ya, kalau sekolah-sekolah negeri, ya. Mudah dipakai untuk macam-macam, pemelintiran macam-macam. Jadi, memang harus ada pemahaman dulu kalau menggunakan barang publik untuk kepentingan privat itu korupsi, disini. Masalah ada hukum atau engganya, engga ada urusan.  Tapi itu korupsi. Dan ini harus disebarkan pemahaman, karena banyak orang Indonesia gak tahu. Karena memang konsep barang privat di Indonesia itu belum jelas ‘sih. Masih blur ya.

 

(15:01-17:28)

Hendar : Oh, oke..

Reza : Ya, ini ‘kan tanah, tanah milik Tuhan bisa dipakai semuanya. Padahal itu tanah milik orang, sudah jelas ya. Tanah milik negara dibikin rumah. Yang seperti di pinggir rel, itu ‘kan banyak dibuat rumah-rumah. Itu ‘kan tanah milik negara, tapi bikin rumah, nanti ujungnya tanah ini milik Tuhan. Ya bener, tapi bukan itu konteksnya, ‘kan? Yaa, semua juga milik Tuhan.

Hendar : Everything under the sun, lalu ya.

Reza : Jika mau mendirikan rumah di tanah negara, kamu menggunakan barang publik untuk kepentingan privat, itu korupsi.  Per definition-nya. Kayaknya hukum belum sampai ke situ. Undang-Undang Tipikor itu hanya soal penyelenggara negara.

Hendar : Ya, gratifikasi misalnya atau penyuapan, birokrasi, administratif juga, ya unsurnya.

Reza : Belum sampai pemahaman yang hidup sehari-hari. Saya dulu pernah membahas soal korupsi di Jerman untuk mahasiswa Jerman. Mahasiswa Indonesia di Jerman (PPI). Kalau ngomong itu ada kasus dimana mereka tinggal di asrama, mereka menggunakan kertas toilet milik asrama untuk kepentingan privat mereka, misalnya di kamar.

Hendar : Dibawa maksudnya?

Reza : Iya, dibawa. Mereka gak melihat itu korupsi. Ya kan itu kita pake bareng-bareng. Ya, kan itu dipake di WC umum bukan di kamarmu.

Hendar : Dan pendanaan pembelian tisu itu sendiri dari negara?

Reza : Iya, itu dari negara Jerman. Itu dipakai untuk kepentingan asrama bukan untuk kepentingan di bawa ke kamar untuk kepentingan sendiri-sendiri, maksudnya ya, “Daripada beli baru mending  ambil aja tisu yang ada di toilet.” Ya, untuk bersihin kaca, macam-macam.

Hendar : Itu mereka kaget dong digituin?

Reza : Kaget. Ya, waktu saya bilang, mereka korupsi, mereka kaget.  Karena mereka gak tahu kalau itu korupsi.  Mereka mengira, yaa…

Hendar : Padahal ini mahasiswa yang studi di Jerman. Itu aja mereka gak paham. Waw, luar biasa ya. Kalau begitu, ini memang revolusioner sekali ya.

Reza : Iya. Memang banyak banget orang yang melakukan korupsi, tetapi mereka gak tahu kalau itu korupsi. Karena di kepala mereka kalau korupsi itu, ya soal KPK, pejabat publik, tapi bahwa dalam kehidupan sehari-hari ketika menggunakan barang milik publik untuk kepentinganmu, itu korupsi per definisi. Itu yang di buku saya bahas, yang terbitan 2017. Saya ada soft copy-nya.

Hendar : Nanti saya bisa tanyakan David, dia agennya Kanisius, bisa.

Reza : Oke, jadi ya begitu.

 

(17:29-19:42)

Hendar : Oke, itu apakah ada contoh-contoh seperti itu di buku?

Reza : Engga ada. Saya cuma bilang itu, korupsi ya itu. Bisa secara logika digunakan untuk menganalisis kasus-kasus lain.

Hendar : Jadi, kalau pada siswa SMA tadi yang antara kaitan menyontek, bagi mereka itu salah tapi bukan korupsi. Kalau bagi tim peneliti itu adalah benih-benih menuju korupsi, Anda setuju gak?

Reza : Jadi, benih korupsi itu rakus.

Hendar : Oke, jadi kita tarik lebih dalam ya. Jadi..

Reza : Jadi, orang ingin memiliki sesuatu yang bukan haknya karena berbagai sebab lah. Sambil pamer, Indonesia masih begitu ‘kan? Tetangga beli mobil baru, kita harus beli mobil baru. Budaya itu, saya sendiri masih merasakannya di gang saya.

Hendar : Tekanan seperti itu ya?

Reza : Iya, karena mobil saya itu mobil tua dan saya bangga dengan itu. Tapi tetangga saya beli mobil baru, tetangga yang lain, “Ih, dia beli mobil baru tuhh. Yuk, kita beli mobil baru juga. Mas Reza gak beli mobil baru?” “Oh, gapapa masih oke nih.” Tapi jawaban saya nih aneh buat mereka. Ni mestinya kita semua, ya gak enak dong, tetangga beli mobil baru. Budaya semacam itu loh. Budaya pamer, budaya iri hati,

Hendar : sawang sinawang, lihat-lihatan, kok lu punya ini, gue gak punya.

Reza : Budaya pamer, budaya iri hati, terus besar pasak daripada tiang, pendapatan seberapa, pengeluaran seberapa. Budaya-budaya semacam itu yang menjadi celah untuk korupsi.  Dan itu sayangnya, masih tersebar begitu luas di akar rumput terutama.  Ya, tadi, tetangga renovasi rumah, “Ih, duit darimana?” “Kita juga harus renovasi, ahh..” kan gak ada duit, akhirnya bagaimana caranya supaya dapet uang? Cara cepat biar dapet uang, gimana?  Nyolong.

Hendar : Korupsi, itu.

Reza : Entah kamu dapat warisan, cepet dapet duit, atau kamu nyolong? Ya gitu aja, akhirnya mereka nyolong.  Kalau kebetulan mereka pegawai pemerintah, bisa ambil dari macem-macem, kalau dia pegawai swasta bisa markup segala macam.  Tapi itu korupsi, anaknya melihat itu, “Oh, Bapak saya dapet duit cepet, tinggal nyolong. Yaudah, saya ikut juga.” Ya gitu. Itu tadi pendidikan keluarga, yah. Akhirnya, ada faktor keteladanan. Korupsi jadi teladan.

Hendar : Hmm.. Korupsi malah jadi teladan.

Reza : Di sekolah diajarin tidak melakukan korupsi, tapi Bapak saya korupsi?

 

(19:43-21:48)

Hendar : Nah itu bagaimana skemanya itu inverted values, pembalikan nilai-nilai, ressentiment [konsep Nietzsche]. atau apa ini?

Reza : Engga, masalahnya adalah mana yang lebih punya pengaruh kuat ke anak. Orangtua apa sekolah? Ya, jelas orangtua. Di sekolah diajarin tidak boleh korupsi, tapi kemudian ia lihat bapaknya atau ibunya atau keluarganya korupsi, didiamkan? Malah dianggap keren karena jadi kaya tiba-tiba, gitu ya.  Lalu anak mengalami kebingungan, mana nih yang bener? Keluarga atau sekolah? Ya, kalau anak itu belum punya pemikiran kritis, ya dia pasti ikut keluarga, itu secara alamiah. Dan, ya akhirnya itu salah satu tatanan besar membongkar korupsi  adalah karena itu menjadi sesuatu yang dianggap bagus. Menjadi kaya karena korupsi, itu sesuatu yang dianggap biasa atau bahkan layak dicontoh dan orang berlomba-lomba untuk masuk ke posisi-posisi dimana mereka bisa korupsi yang biasa disebut lahan basah. Apa kek..?

Hendar : Dinas pekerjaan umum misalnya.

Reza : DPM, makanan atau jadi polisi.

Hendar : Bea cukai.

Reza : Orang mau jadi polisi bukan karena ingin mengayomi rakyat, karena banyak pemasukan-pemasukan yang tidak jujur, gitu ya?

Hendar : uncountable ini, ya. Income.

Reza : Pemasukan yang seharusnya buat negara, masuk ke kantongnya dia. Korupsi kan itu, misalnya tilang, ngurus-ngurus surat, biar bisa dapet shortcut segala macem. Tapi kan itu harusnya uangnya uang negara, tapi akhirnya diambil untuk dia.  Nah, itu dianggap biasa. Polisi aja melakukan itu.

Hendar : Polisi yang menegakkan hukum aja melakukan itu.

Reza : Cobalah saya perpanjang SIM, “Mas, mau jalur cepat bayar segini atau jalur nunggu bayar segini?”  itu polisi yang minta begitu. Kalau jalur cepet, nanti segini langsung nanti selesai. Nah, ya orang, kita pilih cepet lah ya, gak mau bertele-tele ‘kan?

Hendar : Dikondisikan untuk ..

Reza : Dikondisikan. Polisinya aja melakukan itu dan…

Hendar : Masa kita melawan polisi,  engga saya gak mau ini. Kan kita juga, ya lalu ‘kan susah.

Reza : Dan sejauh saya tahu, KPK belum berani untuk polisi.

Hendar : Karena unsur KPK sendiri diantaranya adalah polisi. Jadi ya mau bagaimana mau ngobrak-abrik rumahnya sendiri?

 

(21:49-24:52)

Reza : Belum lagi yang masuk ke militer.

Hendar : Hmm.. Di TNI segala maksudnya?

Reza : TNI. Saya punya temen yang jelas-jelas salah satu bagian dari militer, sering mengadakan pelatihan-pelatihan palsu. Ada dananya tapi  tidak ada pelatihannya, misalnya..

Hendar : Bukti tanda tangan daftar hadir?

Reza : Ada. Tapi ‘kan itu bisa dibikin.  Tapi pelatihan aslinya enggak ada.

Hendar : Foto-foto, dokumentasinya?

Reza :  Ya dibuat-buat aja.  Yang penting ‘kan ada dokumentasi. Masalah bener apa enggaknya ‘kan.. Lagian enggak ada yang ngecek juga. Siapa yang meminta akuntabilitas TNI dan POLRI? Transparansi dana? Engga ada yang berani. Itu salah satu faktor kenapa…

Hendar : Kok serem ya sebenarnya kalau korupsi di kubu militer itu …

Reza : Ya, maka pengadaaan apa?

Hendar: Iyaa, misalnya mau dari tank sampai dengan …

Reza : Beli rudal sampai dengan senapan-senapan baru, siapa yang mau ngecek?

Hendar : Di DPR kan ada bagian untuk pertahanan dan keamanan, ‘kan? Tapi ya dari DPR-nya sendiri aja begitu.

Reza : Komisi 1. Ya, tapi tau kan lah ya DPR kita kayak gimana ? Jadi, yaaa..

Hendar : LSM juga enggak ada berani yang ngutak-ngatik TNI ya? Untuk apa, misalnya TNI watch gitu kan ya?

Reza : Saya belum pernah denger.

Hendar : TNI watch memang belum pernah denger, tetapi kalau Polisi watch kan ada ‘kan? Terus mereka juga ada komisi, Kompolnas, ya.

Reza : Mungkin kali. Saya belum pernah denger. Dimana mereka masuk untuk minta transparansi dana, penggunaan pembelian tadi. Dan mereka itu ‘kan aparat hukum, ya. Ketika mereka saja tidak transparan dan malah cenderung banyak korupsi. Ya, wajarlah kalau itu jadi budaya di masyarakat. Orang tidak  merasa sungkan lagi untuk melakukan korupsi, walaupun mereka tahu itu korupsi.  Jadi ada dua, yang pertama, mereka tidak tahu itu korupsi. Yang kedua, mereka tahu tapi tetap dilakukan, kenapa? Karena semua orang sudah melakukan itu termasuk lembaga hukum.

Hendar : Sudah menjadi kelaziman.

Reza : Saya juga pernah dapet cerita nyata, teman saya yang di pemerintahan Jawa Barat, oknum KPK-nya pun bisa diajak korupsi. Jadi KPK pun tidak kebal korupsi. Saya bilang ini apa, bupatinya minta dana, apa ya? Uang memperlancar ‘lah biar lancar dalam birokrasi ‘lah istilahnya. Terus, dilaporin KPK loh? Hahaha, pegawai KPK-nya nih, pegawai KPK-nya juga minta uang pelancar juga.

Hendar : Pegawai itu bukan penyidik, ya?

Reza : Saya gak tahu persis, ya. Mungkin oknum KPK juga. Ya, KPK selalu tampil di headline berita sebagai..

Hendar : Ya, ya, malaikatnya lah istilahnya.

Reza : Iya, menangkapi para koruptor ini.

Hendar : Santo Mikhael  yang bawa pedang, ini, ya?

Reza : Iya, tapi apakah lembaga ini sungguh bersih, ini ‘kan…

Hendar : Di dalamnya sendiri, kita gak tahu.

Reza : Itu kesulitan memang. Salah satu dilema di demokrasi. Siapa yang mengurus para pengurus? Siapa yang mengawasi para pengawas? Nah, disitu makanya solusinya harus lebih fundamental, daripada hanya sekadar hukum. Karena ketika aparat hukumnya sendiri sudah terbiasa dengan korupsi, lalu solusi untuk menghancurkan korupsi itu menjadi mentah.

 

(24:53-27:11)

Hendar: Tapi kekuatan.. Contoh karena tadi bicara tentang keteladanan tanda kutip nilai korupsi, orang-orang dengan tokoh yang kita sudah tau namanya seperti Bapak Kapolri Hoegeng Imam Santoso  (mantan Kapolri ke-5, bertugas 1968-1971), polisi yang katanya jujur sekali, terus ada (mantan Hakim Agung 2 September 2000 s.d 1 Juni 2018) Artidjo Alkostar yang masih hidup, yang jadi hakim agung itu kan.. Ada beberapa lagi tokoh-tokoh anti korupsi, misalnya Benjamin Mangkoedilaga kalau pernah dengar. Jadi apakah mereka itu tidak cukup kuat untuk mengangkat moral maupun moril dari roh bangsa ini, supaya ini lho yang diteladani tuh yang ini, bukan yang tuh tuh tuh tuh itu. Bagaimana?

Reza: Ya itukan seperti pemanis bibir, ya istilahnya ya. Ya ini … supaya kesannya ada upaya memberantas korupsi, tapi dalam pelaksanaan sehari-hari tuh masih korup total-totalan, mulai dari pengurusan paspor, pengurusan SIM, perpanjangan surat, motor, mobil, segala macem, urusan tilang menilang, ngurus tanah, segala macem, itu juga masih suap kiri suap kanan. Itu seperti, itu membangun citra kosong aja, karena upaya, apa ya, dalam kesehariannya juga masih jauh ya. Jadi seperti istilahnya, ya, menampilkan sesuatu yang bagus untuk menutupi yang buruk.

Hendar: Façade aja ya di depan aja ya?

Reza: Iya pencitraan aja. Façade, kayak gedung bagus, tapi dalamnya bocor, listriknya macet, kecoanya banyak, toiletnya jorok, tapi depannya bagus.

Hendar: Oke, oke.

Reza: Itu seringkali digunakan oleh penguasa politik ya untuk memodifikasi supaya mereka bisa dipilih lagi, diangkat lagi, seolah-olah mereka tuh bersih dan anti korupsi, pencitraan! Dan itu memang taktik politik. Diangkat, misalnya 3 orang anti korupsi, tapi ada 10 juta lainnya koruptor, ya mau gimana?

Hendar: Jadi ada penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption award yang (diberikan) setiap tahun..

Reza: Itu tetap dilakukan, sebagai sebuah usaha-usaha simbolik untuk memerangi korupsi, tapi, membongkar birokrasi, penyebaran pemahaman korupsi dalam masyarakat sebenarnya dari mulai penggunaan trotoar untuk berdagang, itu juga harus terus dilakukan.

 

(27:12-31:01)

Hendar: Baik, yang terakhir tadi tentang keluarga? Penarikan nilai-nilai sikap, nilai-nilai dan pembentukan sikap anti korupsi yang dimulai dari keluarga, kira-kira apakah ada blueprint yang bisa kita contoh, berangkat dari pengalaman Saudara Reza karena pernah tinggal di luar negeri, gitu misalnya?

Reza: Pengalaman saya tinggal di Jerman adalah, korupsi itu memalukan ya, mereka tidak melihat itu sebagai pelanggaran hukum, mereka melihat itu sebagai masalah harga diri. Kalau orang korup, itu orang gak punya harga diri. Makanya ketika misalnya, kita mau nyuap polisi di Jerman, kita seperti menghina mereka. Dengan mengatakan “lo tuh bangsat, lo tuh koruptor, makanya gue bayar.” Jadi memang sudah ada budaya, orang yang melakukan korupsi itu orang yang gak punya harga diri, orang yang martabatnya rendah.

Hendar: Scum of the earth, artinya sampah masyarakat, semacam itu.

Reza: Ya, jadi jelek lah. Kalau di Indonesia, kan orang koruptor mobilnya Alphard, bagi-bagi, nyumbang ke gereja, ke masjid, ke wihara, ke tempat-tempat ibadah, biar untuk mereka dianggap suci. Kita masih terpukau sama itu, walaupun kita tahu itu uang korupsi. Wah mobilnya baru, wah rumahnya besar, wah nyumbang buat masjid, wah berzakat. Padahal uangnya darimana kita gak tahu.

Hendar: Ya, ya. Kalau disana belajar pembentukan harga diri itu dari keluarga juga di bule atau gimana?

Reza: Persis, persis. Jadi banyak, dan itu masalah hukum ya. Kalau ketangkap tuh hancur ya. Jadi gak kayak di Indonesia, ketangkap 2-3 tahun keluar. Ketangkap hancur, harus dikembalikan, dan dia ya bangkrut lah total dan dipenjara lama sekali. Itu satu. Dan yang kedua, ada pemahaman yang tersebar di masyarakat bahwa korupsi itu hanya dilakukan oleh orang-orang rendah, martabat rendah. Dan mereka gak melakukan korupsi karena mereka tahu itu menunjukan bahwa mereka gak punya harga diri. Itu yang harus, saya pikir harus ditanamkan.

Hendar: Oke, integritas ya.

Reza: Integritas terlalu luas ya. Integral, menyeluruh. Tapi lebih bagaimana kita rebranding. Rebranding itu berarti membangun pemahaman baru bahwa korupsi itu soal pelecehan harga diri. Satu itu. Terus kedua, mungkin masuk ke yang lebih mendalam lagi ya. Memang pada akhirnya solusinya adalah pendidikan, itu sudah jelas lah.

Hendar: Pendidikan nilai di dalam keluarga kah?

Reza: Jelas. Tapi pendidikan nilai yang disertai keteladanan. Jangan bapaknya bilang, “kamu harus jujur!” tapi bapaknya nyolong, “kamu harus jujur!” tapi bapaknya selingkuh. Anak itu melihat apa yang dilakukan, bukan apa yang dikatakan.

Hendar: Oke.. Ya, ya.

Reza: Itu psikologis banget ya. Anak itu meniru apa yang, meniru perbuatan, bukan meniru perkataan. Itu jelas. Nanti lo.. hahaha, ajarin anak-anak yang baik-baik, lo harus lakukan. Supaya dilihat. Yang dilihat adalah apa yang lo lakukan. Bukan apa yang lo katakan, yang lo katakan akan dilupakan. Jadi membangun keteladanan di dalam keluarga, orang tua tuh harus, ya mereka mengajarkan yang baik-baik ke anaknya, mereka harus mengikuti itu. Saya bahkan punya pemikiran orang gak bisa sembarangan jadi orang tua, harus ada seleksi. Hahaha. Jangan nikah, punya anak, nikah, punya anak, kayak kelinci aja.. Tapi gak siap didik anak. Ngomongnya baik-baik, harus jujur, harus soleh, tapi bapaknya selingkuh, atau ibunya selingkuh, atau apa.. Mukulin anaknya, kekerasan dalam keluarga. Ngomongnya sayang, tapi mukul. Bapak sayang kamu, besok dipukul.

 

(31:02-34:39)

Hendar: Jadi, rebranding suatu, apa ya namanya ya, kerangka pembentukan sikap itu lewat adanya nilai, pengajaran pendidikan nilai, tapi juga keteladanan dari nilai yang diucapkan itu..

Reza: Pasti. Keluarga dan guru.

Hendar: Gurunya juga, mulai dari TK ya berarti ya.

Reza: Guru kan sosok kedua ya, yang menjadi panutan seorang anak. Guru TK, guru harus bersih dari korupsi. Keteladanan-keteladanan itu harus dibangun. Jangan sampai anak lihat, loh kita diajarin anti korupsi, tapi guru itu bawa laptop ke rumah, itu mobil sekolah dipakai jalan-jalan, apa penghapus, bolpen dari sekolah di bawa pulang. Anak melihat itu kan. Jadi kita jadi munafik aja deh. Jadi sebenarnya yang diajarkan di banyak keluarga dan pendidikan di Indonesia yang saya lihat adalah mengajarkan kemunafikan. Artinya, mereka mengajarkan harus jujur tapi mereka nyolong, mereka mengajarkan harus baik, harus penuh sayang, tapi mereka kasar. Menghukum dengan kasar, memaki dengan kasar, membunuh kebebasan. Jadi banyak kemunafikan-kemunafikan yang diajarkan, secara tidak langsung sebenarnya. Mereka juga gak sadar, mereka mengajarkan kemunafikan. Kaya tadi orang tua, “kita harus hidup hemat, nak..” tiap awal tahun ganti mobil, tiap minggu ke mall, “kita harus hidup sederhana, nak..” tapi handphone ada dua puluh di rumah, bayar pake kartu kredit, yang harus ngutang. Jadi kemunafikan-kemunafikan, kontradiksi-kontradiksi itu yang akhirnya mematikan dan anak jadi bingung. Seperti yang saya bilang, anak meniru apa yang diperbuat, meniru perbuatan bukan meniru perkataan. Itu terjadi di sekolah maupun di keluarga, dan mereka jeli melihat itu.

Hendar: Jeli walaupun tidak terkatakan ya?

Reza: Mereka melihat..

Hendar: Mereka melihat, mereka membentuk ya.

Reza: Iya.

Hendar: Mengkonstruksi ya didalam.

Reza: Bapak gua bilang gua harus jujur, tapi bapak gua kemarin katanya mau ngajak jalan, tapi sekarang gak jadi. Berarti dia bohong. Berarti bohong gapapa. Tuh dia kemarin bilang mau jalan, sekarang gak jadi. Bohong. Yang gitu-gitulah, hal kecil seperti itu yang mereka lihat. Bapak gua bilang gua harus penuh sayang, sayang sama orang lain, tapi bapak gua mukulin ibu gua. Yang mereka tiru yang mana? Yang sayang diomongin atau yang dilakuin bapaknya? Yang dilakuin bapaknya! Nanti anak itu akan mukulin orang lain juga atau mukulin istrinya atau suaminya. Ya itu proses sosialisasi kan gitu, internalisasi. Begitu juga soal korupsi. Diajarin harus nilai-nilai agama yang luhur, bapaknya maling. Korupsi birokrasi, entah dirjen, atau apalah, atau pegang proyek dari negara, nyolong. Anaknya kan lihat. Jadi nyolong itu boleh? Ya gua nyolong aja. Jadi kita membangun generasi koruptor, tanpa kita sadari. Kita pengennya membangun generasi anti korupsi, tapi karena tidak ada keteladanan, yang ada adalah kemunafikan, lalu secara tidak langsung kita membangun generasi koruptor. Jadi kayak sebaliknya. Itu yang disebut unintended consequences, dampak yang tidak diinginkan tapi terjadi karena kita tidak jernih dalam melaksanakan proses pendidikan itu, penuh kemunafikan, penuh kontradiksi. Ya itulah.

 

(34:40-36:27)

Hendar: Kalau sumbangan dari zen yang dipelajari oleh Saudara Reza bagaimana?

Reza: Zen itu kan begini.. Jadi kejahatan manusia, hal-hal jahat termasuk korupsi, itu terjadi karena manusia itu menderita. Entah dia dirongrong oleh rasa iri hati, lihat tetangga beli mobil baru misalnya, atau lihat kok kakak saya lebih sukses daripada saya, atau adik saya lebih sukses, atau ponakan saya lebih sukses daripada saya, ada rasa iri hati, itu kan menderita, orang iri itu kan gak enak rasanya. Pernah gak sih ngerasa iri hati? Itu orang apartemennya keren banget, rumah gue biasa-biasa aja. Rasa iri hati kan gak enak, atau rakus. Gue udah punya cukup, ingin lebih. Ada perasaan yang diisi dengan makan, dengan belanja. Jadi, banyak kejahatan, hampir semua kejahatan yang manusia lakukan kepada orang lain, termasuk maling, membunuh, korupsi, itu karena orang menderita. Dia diserang oleh rasa iri, rasa rakus, itu dia pasti menderita. Nah, dari kacamata zen, orang menderita itu karena dia tidak tahu siapa dia sebenarnya. Orang melihat dirinya melulu sebagai identitas sosialnya. Saya adalah nama saya, saya adalah agama saya, profesi saya, kondisi ekonomi saya, keluarga saya. Nah, itu kan hal-hal yang berubah ya. Kondisi ekonomi naik turun, nama juga bisa diubah, profesi bisa ganti, agama pun bisa ganti  sekarang. Jadi, ketika orang menyamakan diri mereka dengan identitas sosial mereka, mereka rapuh, selalu dalam keadaan insecure. Kenapa? Karena itu semua berubah. Sekarang saya kaya, besok saya bisa miskin, kan gak ada yang tau, penuh ketidakpastian. Miskin karena bukan salah saya, karena kondisi ekonomi nasional mungkin. Dolar naik tujuh belas ribu misalnya. Jadi serajin apapun saya bakal miskin, apalagi kalo kerja saya ekspor impor ya. Jadi ketika orang hidup dengan penuh ketidakpastian seperti itu, orang lalu menderita. Dan menderita itu ujungnya banyak..

Hendar: Outlet penyalurannya ya?

Reza: Dampaknya banyak. Dari iri hati, rakus, kekerasan. Orang melakukan kekerasan kan karena dia tidak nyaman, tidak bahagia dengan dirinya. Makanya saya bilang, coba tunda semua identitas sosialmu. Tunda pemahamanmu tentang agamamu, negaramu, lalu kembali ke diri kamu yang sebenarnya, sebelum itu semua, sebelum identitas sosial.

Hendar: Original position.

Reza: Ya original. Sebelum original position. Masih ada konsep, masih ada kata. Sebelum identitas sosial..

Hendar: Sebelum kata..

Reza: Bahkan sebelum konsep.

Hendar: Sebelum konsep..

Reza: Jadi ya kita ini kan, salah satu sumber penderitaan manusia adalah pikiran. Pikiran itu.. Pikiran itu berguna untuk kerja, nyetir, atur duit. Tapi ketika semua hal dipikirkan, jadinya overthinking, terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak berpikir melahirkan kecemasan. Jadi, lagi kencing mikir, lagi nyetir mikir, lagi jalan mikir, lagi duduk mikir. Ketika pikirannya overload ya, terus berlangsung gitu ya, itu membuat orang cemas, takut. Mikirin masa depan, menyesal atas masa lalu, coba dulu saya begini, apalagi kalo punya keluarga, nanti anak saya gimana, cucu saya gimana, cicit saya gimana, tujuh turunan dipikirin. Itu karena pikiran yang overload. Nah, zen mengajak kita untuk melepaskan semua itu dan kembali ke sebelum pikiran. Kondisi kejernihan, sebelum pikiran ini, yang ada cuma dua, jernih dan damai. Ini yang disebut kondisi asal manusia, jati diri manusia. Ketika orang sampai ke kondisi itu, dia jernih, dia damai, lalu dia kembali lagi bisa menggunakan pikirannya dengan maksimal. Saya membuktikan sendiri kalo saya abis belajar zen, saya jadi lebih produkitif, lebih bahagia, lebih.. Walaupun mungkin..

Hendar: Fullfilled ya..

Reza: Ya, lebih damai. Sehingga saya tidak menderita. Karena saya tidak menderita, saya tidak berbuat jahat ke orang lain, saya tidak korupsi, saya tidak maling, dan tidak perlu iri hati. Walaupun banyak kesempatan untuk itu ya, untuk iri hati, untuk maling, untuk korupsi, saya tidak mau mengotori, buat apa? Saya sudah bahagia kok dengan apa yang ada. Jadi belajar untuk, ya, damai jernih dengan keadaan yang ada. Lalu lakukan apa yang perlu dilakukan.

 

 

 

(39:43-41:55)

Hendar: Bagaimana pendekatan zen itu bisa didamaikan dengan tuntutan birokrasi modern, misalnya, atau konsep progresivitas bahwa manusia perlu progress dong, hidupnya tadinya misalnya gubuk miskin menderita lalu jadi punya rumah kavlingan, kontrakan, dan seterusnya. Itu kan progresivitas. Itu apakah semacam bentuk-bentuk dari excess dari modernitas yang lahir dari ketidakbahagiaan-ketidakbahagiaan atau disebut hollow consciousness misalnya, atau bagaimana? Kalau zen melihat..

Reza: Mungkin begini, progress oke, tapi, apa dasar dari kemajuan itu? Apakah ketakutan? Kalau dasarnya adalah ketakutan, kecemasan, pasti akan kacau. Sebenarnya saya ingin maju karena takut miskin. Harus saya pokoknya ngapain aja, supaya gak miskin. Bayangkan hidup semacam itu ya. Dibayangi terus ketakutan, ketakutan akan miskin, ketakutan akan gagal, kecemasan akan masa depan. Mungkin dia akan sukses nanti, tapi hidup macam apa yang dia jalani ya.  Banyak orang sukses, baru-baru ini ada dua orang yang sangat sukses di dunia global, bunuh diri.

Hendar: Yang si Kate Spade (desainer fashion ternama yg bunuh diri) itu ya? [https://www.cnn.com/2018/06/05/us/kate-spade-dead/index.html]
Reza: Ada dua. Satu lagi, siapa tuh namanya lupa. Maka kesuksesan material, jika itu didasari ketakutan kecemasan, takut miskin, takut menderita, itu justru malah melahirkan penderitaan lebih besar lagi. Penderitaan kerakusan, iri hati, dan segala macam itu, korupsi. Pertanyaannya, hidup macam apa itu? Hidup macam apa itu yang dijalani? Manusia hidup cuma 70 tahun, 80 tahun lah ya, masa mau hidup kayak begitu? Hahaha. Oke, kaya, sukses, tanah dimana-mana, tabungan deposito dimana, tapi selalu dihantui oleh ketakutan akan miskin, ketakutan akan masa depan, hidup macam apa seperti itu? Dan ironisnya banyak orang menjalani hidup semacam itu. Mereka kerja banting tulang karena takut miskin. Sudah kerja banting tulang di hal yang tidak dia sukai, pulang ke rumah masih ada ketakutan akan miskin dan ketakutan menderita. Pantesan orang banyak stres, depresi, bunuh diri, dan narkoba. Narkoba itu kan pelarian. Orang tuh kalau gak ada masalah mana mau pake narkoba. Narkoba itu pelarian sesaat, masalahnya narkoba itu menciptakan kecanduan.

 

(41:56-43:51)

Hendar: Lalu industrinya juga ada. Jadi memang ada industri yang untuk mengekstrapolasi ketakutan manusia yang seperti itu ya?

Reza: Iya, pasti. Dan ada banyak industri yang mendistraksi ketakutan manusia itu. Belanja, diskon Ramadhan, hahaha. Atau film-film baru yang selama dua jam kita terdistraksi, setelah dua jam kita cemas lagi. Hahaha. Atau belanja, wah baju baru, seminggu lah seneng baju baru, habis itu menderita lagi. Hidup seperti lingkaran setan, itu yang disebut sengsara ya. Naik turun naik turun naik turun.

Hendar: Cycle of suffering, ya?

Reza: Ya, lingkaran penderitaan. Nah itu, jadi apa dasar, kalau kemajuan didasarkan oleh kejernihan dan kedamaian, tadi ya misalnya, dia sudah paham jati dirinya, dia sudah paham bagaimana cara kembali ke sebelum identitas sosial, kembali ke sebelum pikiran, dia sudah bisa jernih bisa damai lalu dia progress dari situ ya gak ada masalah. Karena dasar dari kemajuan ya kejernihan dan kedamaian, malah jadinya proporsional. Kerja tapi kerja secukupnya, seimbang lah, ada waktu untuk keluarga, ada waktu untuk rekreasi, apa lagi.. Punya ambisi boleh, tapi ambisinya bukan karena ketakutan atau iri hati.

Hendar: Yang kalaupun tidak diperoleh, ya dia tidak perlu sampai..

Reza: Ya kalau pun gagal, ya, coba lagi lah. Ambisinya, ambisi yang lebih altruis, misalnya untuk meruntuhkan kemiskinan, melawan korupsi. Seperti Bapak Hendar ini yang ambisinya sudah altruis ya, hahaha. Misi saya adalah membongkar korupsi.

Hendar: Mencegah. Mencegah korupsi dengan pembentukan sikap anti korupsi!

Reza: Ya, itu kan ambisi ya. Tapi ambisi yang tujuannya altruis, untuk kebaikan bersama. Bukan untuk..

Hendar: Buat saya sendiri, menang saya sendiri, bukan.

Reza: Supaya nanti anaknya bisa tinggal di Indonesia yang lebih..

Hendar: Ya, yang lebih peaceful.

Reza: Lebih kurang korup tuh, lebih kurang korup.

Hendar: Less corrupt than our era.

 

(43:52-48:11)

Reza: Intinya itu, silahkan bekerja, silahkan punya ambisi, tapi apa dasar ambisi. Kalau dasarnya adalah ketakutan, kecemasan, penderitaan, itu akan hancur. Itu akan menciptakan lingkaran penderitaan, lingkaran setan penderitaan. Tapi kalau dasarnya adalah kedamaian, sudah belajar kembali ke sebelum pikiran, kembali ke sebelum identitas sosial, sebenarnya gampang kok, duduk, dengerin. Dengerin orang jalan, orang ngomong..

Hendar: Gitu ya.

Reza: Karena detik ini gak ada pikiran. Ada suara apa, suara anak kecil. Ketika kita duduk dan hanya mendengar, itu tidak ada pikiran, tidak ada konsep. Ketika kita bisa sering disitu, ya ketika kita nyetir, kita di tempat makan, kita mandi, pikiran kita menjadi jernih. Dan ketika waktunya dibutuhkan untuk berpikir, pikirannya jadi lebih bagus. Karena lebih segar. Gak habis energinya. Itu zen. Itu saya kupas dalam dua buku saya.

Hendar: Yang terbaru.. Ada fotonya.

Reza: Bisa dibeli di penerbit, hahaha.

Hendar: Yang uang penjualan dan royaltynya.

Reza: Uang penjualannya saya sumbangkan ke pengembangan wihara.

Hendar: Oke. Mantap, altruis ya, motifnya altruis. Luar biasa. Oke, jadi, terima kasih atas sesi siang hari ini, dengan Saudara Reza Wattimena, kami teman lama sejak dulu kuliah di (nama kampus), back in 2005 ya, kita ketemu lagi setelah dua belas tahun, dalam percakapan yang selama ini baru, ya kayaknya baru ini lagi lah ya, secara face to face ya. Jadi saya sangat berterimakasih, dan bersyukur bisa ketemu sama Saudara Reza dengan kita bertukar pikiran, tidak semua selalu disetujui tapi kadang-kadang, ya ada perbantahan yang masih dalam koridor akademis ya, masih dalam koridor akademis, penggalian-penggalian pertanyaan juga, dan mudah-mudahan sumbangan dari pemikiran zen kembali back to basic yaitu sebelum berpikir yaitu adalah kondisi yang jernih dan damai.

Reza: mencerap … to perceive, bahasa Inggrisnya.

Hendar: to perceive..

Reza: (bahasa Jerman) sekedar melihat, sekedar mendengar.

Hendar: Tanpa menjudge ya, tanpa analisis, tanpa judge.

Reza: Mungkin bagusnya adalah, mengamati tanpa penilaian. Saya melihat ada anak. Saya tidak menilai anak itu baik anak itu buruk. Saya melihat.

Hendar: Lihat saja ya.

Reza: Itu dalam buku zen. Nah kalau kita mempraktekkan itu, keluarnya adalah jernih dan damai. Kalau kita jernih dan damai, kita mau ngapain aja terserah. Mau kerja, mau nganggur, mau kawin, mau gak kawin, urusan masing-masing. Tapi setidaknya adalah kamu paham, detik dimana kita hanya melihat, kita mendengar, jati diri asli kita keluar secara otomatis, secara alamiah. Karena memang dia selalu ada disana, tapi ketutup dengan logika, rasionalitas, ambisi,  oleh programming masyarakat, kerakusan, iri hati, kebencian, dendam, yang membuat hidup orang menderita. Itu alasannya mengapa banyak orang yang sudah dianggap sukses oleh masyarakat tetap terjebak dengan penderitaan. Entah dia jadi narkoba, pengguna narkoba, kecanduan.

Hendar: Atau seks juga kecanduan..

Reza: Kecanduan seks. Itu kan pelarian juga, kalau tidak didasarkan kejernihan dan kedamaian. Atau dia kelilit hutang, walaupun mungkin dia selebriti atau orang sukses lah, perusahaannya banyak, tapi dia tetap kelilit hutang kenapa? Banyak sekali kasus kaya gitu kan di Indonesia, di seluruh dunia apalagi.

Hendar: Luar biasa. Baik, saya akan tutup sekitar 48 menit, sekitar segitu. Dan untuk urusan administrasinya akan dibereskan menyusul.

Reza: Tiga million.

Hendar: Hahaha. Gak nyampe, anggaran cuman seratus juta. Karena sebagai narasumber juga ada haknya yang diterima dan itu diatur juga dalam peraturan menteri keuangan no 49 tahun 2017, halaman 19. Artinya memang ada untuk narasumber, dan ini kan memang narasumber yang in line with the research. Jadi kita bisa justify itu untuk pengeluaran. Oke, saya tutup.

[1] Doktor dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München Jerman dengan disertasi berjudul Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung.

[2] Lih. https://rumahfilsafat.com/2012/08/26/buku-filsafat-terbaru-filsafat-anti-korupsi/; Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi (2012)

Penulis: Reza A.A Wattimena, ISBN: 978-979-21-3362-2, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta

Bukan Apa-apa Sekaligus Segalanya

$
0
0
WhatsApp Image 2020-03-31 at 20.41.55

Ilustrasi dari Jason Ranti

Oleh Reza A.A Wattimena

Beberapa minggu ini, kita semakin sadar, bahwa hidup manusia itu rapuh. Sedikit penyakit, hidupnya bisa berakhir. Sedikit terjatuh, cacat langsung menimpanya. Sudah mencapai segalanya, harta dan kuasa, namun manusia harus mati meninggalkan semuanya.

Virus nan kecil bisa menganggu kesehatan badannya. Tak hanya itu, sang virus kecil kini menciptakan kepanikan dunia. Ekonomi ambruk. Politik kacau. Masyarakat hidup dalam kecemasan akan kematian.

Virus nan kecil pun tak pilih-pilih. Orang kaya dihantamnya. Orang muda dan tua diserangnya. Orang berkuasa, dengan kuasa politik dan uang, pun tak berdaya.

Begitulah hidup manusia. Amat gemilau, sekaligus juga amat rapuh. Setelah usaha seumur hidup membangun harta dan kuasa, kematian lalu menjemputnya. Kematian bisa memicu derita, namun juga bisa membangunkan kita dari tidur yang sia-sia.

download

wallpapersafari.com

Pada dasarnya, manusia hanyalah debu di alam semesta. Keseluruhan semesta amatlah tua dan luas. Tak ada ukuran pasti. Bahkan, penelitian terbaru menyatakan, bahwa alam semesta terus berkembang dan meluas, tanpa henti.

Sebagai debu semesta, kita tak berdaya. Berbagai peristiwa menghantam kita. Tahun 2020 ini sudah bisa menjadi alat berkaca. Banjir di awal tahun, kini Korona datang menghadang. Semuanya membuat kita panik dan bertanya-tanya.

Sebagai debu semesta, kita penuh dengan derita. Ini semua berlanjut, sampai kita paham, siapa kita sebenarnya. Aliran filsafat dan spiritual berulang kali mengajarkan, bahwa kita harus “bangun”. Kita harus bangun pada kenyataan tentang siapa kita yang sebenarnya.

Gautama, manusia yang hidup lebih dari 2500 tahun yang lalu, menjalani hidup yang serupa. Ia kaget dan cemas melihat usia tua, sakit dan kematian manusia. Ia juga terbangun, ketika melihat sang pertapa mencari yang sejati di tengah hidup yang fana. Perjalanan Gautama adalah perjalanan kita semua.

Derita bisa membuat manusia patah. Namun, ia bisa menjadi titik balik untuk berubah. Di dalam tradisi Yoga, derita mendorong manusia untuk menemukan Mukti, yakni pembebasan dari derita dan bahagia. Setelah melampaui derita dan bahagia, manusia menyatu dengan semesta.

Agama-agama Timur Tengah, yakni Yahudi, Kristen dan Islam, juga mengajarkan hal serupa. Manusia harus melebur ke dalam sesuatu yang lebih besar darinya. Lepas dari beragam aturan yang ketinggalan jaman, agama-agama Timur Tengah memiliki unsur mistik yang dalam. Sayangnya, di berbagai belahan dunia, unsur itu kini terlupakan.

Kita memang debu semesta. Tetapi, kita juga adalah alam semesta. Begitulah temuan terbaru di berbagai bidang penelitian fisika. Manusia adalah alam semesta kecil yang rumit dan perkasa.

Kita harus sadar dan bangun sepenuhnya pada hal ini. Ini bisa dilakukan, asal kita tidak terjebak pada pikiran dan emosi yang muncul. Kita masuk ke dalam keadaan sebelum pikiran (before thinking arises). Inilah jati diri kita yang asli, yang juga adalah alam semesta itu sendiri.

Berbagai laku spiritual, seperti meditasi dan yoga, adalah upaya untuk kembali ke keadaan sebelum pikiran ini. Jika pikiran muncul, kita cukup secara lembut menyadarinya (gentle awareness). Ketika emosi dan perasaan muncul, kita hanya perlu dengan lembut mengamatinya (gentle observation). Kata “lembut” menjadi amat penting disini.

Kita adalah debu semesta. Namun, kita juga seluas dan seagung alam semesta itu sendiri. Inilah kebenaran yang tertinggi. Dengan ini, kita bisa keluar dari derita kehidupan yang selama ini mencekik.

Rasa sakit kita adalah rasa sakit semesta. Derita kita adalah derita semesta. Dengan kesadaran ini, ada rasa lega di dada. Ada solidaritas yang muncul dengan segala yang ada.

Kita bukanlah apa-apa, sekaligus segalanya. Saat demi saat, hal ini perlu untuk disadari. Saat demi saat, kita perlu bangun seutuhnya pada kebenaran ini. Selamat mencoba. Jika perlu, sampai seribu tahun lamanya.

 

 

 

 

Bijaksana Saat “Dipaksa Jeda”

$
0
0
Tommy-Web-4

Karya Tommy Fung dari Hongkong

Oleh Reza A.A Wattimena

Saya punya hobi baru, yakni berkeliling Jakarta di malam hari, bahkan sampai subuh. Tenang, saya bukan Batman. Saya tidak berburu penjahat di malam hari. Saya hanya menikmati sejuk dan indahnya kota masa kecil saya di malam hari.

Saya mengendarai motor, dan kerap berjumpa dengan tukang pompa ban. Biasanya, mereka sedang tidur, atau melamun. Lalu, saya kagetkan, karena saya mau menambah angin ban. Percakapan kami pun dimulai.

Ia bercerita, bahwa ia bekerja 24 jam. Namun, banyak waktunya habis untuk menunggu. Ia pun tiduran, melamun atau main ponsel cerdas. Ia hidup dalam banyak jeda, walaupun tetap bekerja.

Jeda, Korona dan Akal Sehat

Tampaknya, si tukang pompa ban tidak sendirian. Dunia sedang mengalami hal serupa. Mereka hidup dalam jeda, karena (dugaan) pandemik yang aneh, namun tetap bekerja. Tidak hanya itu, banyak keluarga yang harus mendidik anaknya di rumah, sambil tetap sibuk bekerja.

Saya sendiri heran, mengapa masa jeda ini diberlakukan? Bahwa virus Korona berbahaya, itu sudah pasti. Namun, data tersebarnya penyakit dan korban yang meninggal amatlah kecil di seluruh dunia. Korban juga meninggal bukan karena Korona, tetapi karena penyakit yang sudah ada sebelumnya. Bukankah ini hal biasa bagian dari gerak alami hidup manusia?

Mengapa kita ribut sekali? Di Indonesia saja, kematian akibat demam berdarah dengue jauh lebih besar. Namun, penyakit ini hampir tak pernah disebut. Ada yang aneh dari pandemik kali ini.

Apakah ada kepentingan media dan politik terselubung? Apakah ada kepentingan untuk menghancurkan ekonomi dunia, dan menciptakan kekacauan global? Mungkin saja. Tapi, nanti saya disebut penganut teori konspirasi, seperti tulisan Fidelis Waton (kebetulan teman baik saya, sewaktu kuliah di Jerman) di harian Kompas beberapa hari lalu.

Mengikuti sarannya, saya menggunakan pemikiran kritis, rasional dan logis untuk memahami ini. Namun, pandemik kali ini amat aneh. Data-datanya tak memuaskan akal sehat. Saya, dan kita semua, seperti dipermainkan.

Bijaksana di saat Jeda

Apapun alasannya, kita dipaksa untuk jeda. Ada jeda karena diputus kerja, atau jeda, karena harus terjebak di rumah. Apa yang bisa diperbuat di dalam keadaan semacam ini? Ada tiga hal yang kiranya penting untuk diperhatikan.

Pertama, jeda adalah masa terbaik untuk mengenali, siapa diri kita sebenarnya. Dengan kata lain, jeda adalah saat terbaik untuk mengembangkan kesadaran yang ada di dalam diri kita. Hidup sadar adalah hidup yang meditatif, yakni hidup sesuai dengan jati diri kita yang asli. Orang lalu memperoleh ketenangan dan kejernihan yang dibutuhkannya.

Caranya adalah dengan kembali ke keadaan batin, sebelum pikiran (before thinking) muncul. Ketika melakukan sesuatu, kita melakukannya dengan penuh kesadaran. Just do it, lakukan saja semuanya secara utuh dan penuh. Maka, kejernihan dan ketenangan akan muncul, dan kita bisa bertindak sesuai dengan keadaan.

Dua, saat jeda adalah saat untuk melakukan hal yang berbeda. Saat jeda adalah saat untuk menjadi orang yang berbeda. Secara sadar, kita memilih untuk mengubah kebiasaan yang ada. Kita membuat rencana yang berbeda, atau hidup dengan cara yang berbeda.

Saya pribadi sedang menulis buku yang berbeda dari biasanya. Saya menulis buku tentang Yesus, tokoh inti dalam agama Kristen. Namun, saya melihat pengaruh ajaran Buddha, Yoga dan Vedanta pada pemikiran Yesus. Saya juga melihat kaitan erat antara ajaran Yesus dengan tradisi Sufi dalam Islam.

Dalam keadaan biasa, saya menghindari menulis hal semacam ini. Namun, ini saatnya untuk berbeda. Saat jeda membuat saya mengambil arah yang berbeda pula. Kita lihat saja, buah apa yang lahir dari masa “dipaksa jeda” ini.

Saya juga sedang mendalami aliran Yoga yang berbeda dari biasanya. Saya melakukannya secara rutin, yakni tiga hari sekali. Badan segar, dan pikiran tajam. Jam tidur dan keinginan makan juga jauh berkurang. Asik bukan?

Tiga, saat jeda adalah saat untuk berbenah batin. Pada masa biasa, sakit hati dan kecewa kita alihkan dengan belanja, jalan-jalan, nongkrong atau bahkan memakai narkoba. Namun, itu semua hampir tak mungkin sekarang ini. Berbenah batin adalah menyadari keadaan batin kita yang selama ini diabaikan, yakni keadaan batin yang penuh kecewa, trauma dan depresi.

Ini adalah hal yang amat penting untuk kesehatan mental. Jika tak pernah disadari, keadaan batin yang menyakitkan akan menghantui kita seumur hidup. Ia juga akan mempengaruhi mutu hidup kita secara keseluruhan. Jika menumpuk dan dibiarkan membusuk, dampaknya bisa menyentuh fisik dalam bentuk sakit kronis, seperti kanker, jantung, autoimun atau diabetes.

Melampaui Tantangan

Ini semua tak mudah dilakukan. Masa jeda memiliki tantangan yang juga berbeda. Bahkan, tantangan yang sebelumnya tak ada kini berkunjung di depan rumah. Ada dua hal yang penting untuk dilihat.

Pertama, masa jeda dikepung dengan rasa bosan. Sudah tak terhitung lagi keluhan bosan yang saya baca di berbagai media sosial. Orang tak biasa untuk berdiam diri. Orang tak biasa untuk duduk, dan  sekedar menikmati hidup sebagaimana adanya.

Dua, masa jeda memaksa kita untuk hidup bersama keluarga. Ini tak selalu mengundang bahagia. Keluarga bisa menjadi sumber derita yang amat besar. Tak heran, secara global, tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian meningkat pesat di masa “dipaksa jeda” ini.

Dua tantangan ini dapat dihadapi, jika kita tak panik. Kita tak bersikap berlebihan pada keadaan yang terjadi. Kita tak membuat hal-hal kecil menjadi besar. Ini menjadi mungkin, jika kita memiliki hidup yang meditatif (sudah dijelaskan sebelumnya).

Hidup yang meditatif tak menyelesaikan semua masalah. Namun, ia bisa mengurangi banyak derita yang tak bermakna. Ia membuat kita sadar atas apa yang terjadi di dalam diri. Ia juga membuat sadar atas apa yang telah kita lakukan.

Pada akhirnya, masa jeda tak harus menjadi sumber nestapa. Masa jeda tak harus menjadi momok yang menyiksa jiwa. Sebaliknya, masa jeda bisa menjadi titik perubahan arah hidup kita. Ia bisa menjadi air mancur pencipta hidup yang bijaksana. Selamat “dipaksa jeda”!

 

 


SantuyZen

$
0
0
surreal surrealism night picsart myedit Image by Dirga
Dirga

Oleh Reza A.A Wattimena

Kelompok meditasi itu berkumpul setiap Jumat malam. Setelah pulang kerja, beberapa orang berkumpul, termasuk saya, dan duduk meditasi bersama.

Namun, nuansa ketenangan tak tampak. Yang tampak adalah ketegangan.

Meditasi menjadi semacam perlombaan. Siapa yang bisa duduk paling lama, dialah pemenangnya.

Si pemenang biasanya tertawa bangga. Ia merasa sudah tercerahkan, karena sudah bisa duduk lama, tanpa gerak.

Saya menemukan pola ini tidak di satu tempat latihan meditasi. Beberapa tempat di Jakarta menggunakan pola yang sama.

Meditasi menjadi kompetisi duduk lama. Siapa paling lama, dialah yang sudah tercerahkan.

Ego menjadi kuat. Padahal, tujuan utama meditasi adalah menyadari dunia sebagaimana adanya yang terus berubah.

Segala hal, termasuk ego, berubah terus menerus. Ia tidak sepenuhnya ada, melainkan hanya keadaan sementara.

Meditasi dengan pola kompetisi tidak akan membawa orang pada pencerahan. Sebaliknya, ego mengeras, dan orang justru semakin terjebak di dalam ilusi.

Ilusi akan membawa orang pada penderitaan. Orang akan mengira, bahwa dunia itu sepenuhnya nyata dan tetap.

Ia akan coba merebut dan mencengkramnya. Namun, ini bagaikan mengejar bayangan, atau menggenggam asap.

Semua upaya akan sia-sia. Orang akan terjebak pada penderitaan yang amat besar, pada akhirnya.

Meditasi, atau Zen, adalah upaya untuk mengenali keadaan alamiah kita sebagai manusia. Artinya, kita hanya perlu kembali ke diri kita yang asli, sebelum pikiran dan emosi muncul.

Maka, orang tak boleh tegang. Keadaan alamiah manusia hanya dapat dikenali, jika orang sepenuhnya relaks. Ia santuy.

Bahaya dari sepenuhnya relaks adalah orang menjadi ngantuk, dan tertidur. Bahaya lainnya adalah ia menjadi ngelamun. Pikirannya terbang ke berbagai penjuru.

Jika keduanya bisa dihindari, orang bisa mencapai keadaan meditatif. Ia bisa mengenali, siapa dirinya yang sebenarnya.

Inilah yang saya sebut sebagai SantuyZen. Meditasi dengan relaks sepenuhnya, namun tak hanyut dalam lamunan, dan tak tertidur.

Kita cukup menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di saat ini. Angin berhembus, nafas di tubuh, atau suara di sekitar. Ini langkah pertama.

Langkah kedua adalah dengan mengamati kesadaran di dalam diri kita. Ini yang disebut sebagai kesadaran atas kesadaran (awareness of awareness).

Kita mengalami sesuatu tanpa obyek, karena obyek kita adalah kesadaran kita sendiri. Hasilnya adalah perasaan jernih dan tenang. Inilah Sunyata.

Kesadaran ini adalah diri yang kita yang sebenarnya. Ia bersifat murni, sebelum obyek pikiran muncul di dalam diri.

Di titik ini, kita terbebas dari derita. Kita pun lalu bisa saat demi saat bersikap dengan tepat.

Ada saatnya kita diam dan mengamati keadaan. Ada saatnya kita bertindak untuk campur tangan. Semua diputuskan dengan akal sehat dan pikiran jernih.

Namun ingat, ini semua perlu dilakukan dengan sesantai mungkin, tanpa hanyut dalam lamunan, atau tertidur. Saat demi saat, terapkanlah SantuyZen. Nikmati hasilnya.

 

 

 

 

Zen, Spiritualitas dan Pendidikan di Masa Revolusi Industri 4.0

$
0
0

Zen

Spiritualitas 

Pendidikan dan Revolusi Industri 4.0

Bahagia Dari Dalam, Tanpa Syarat

$
0
0

Pin by Anne-Marie Weber on THE TIME TUNNEL | Surreal art, Art for art sake,  ArtistOleh Reza A.A Wattimena

            Setiap orang pasti ingin bahagia. Tak hanya itu, setiap mahluk hidup pasti terdorong secara alami untuk menghindari penderitaan, dan mencari kebahagiaan. Inilah salah satu hukum alam yang ada. Tak ada yang luput darinya.

            Namun, banyak orang mengalami kesalahan berpikir. Mereka mencari kebahagiaan di luar diri. Padahal, di luar diri, segala hal terus berubah. Apa yang sebelumnya membawa kebahagiaan bisa membawa kecewa di kemudian hari.

            Misalnya, kita mengira, uang akan membawa kebahagiaan. Uang bisa membawa kenyamanan hidup, sampai batas tertentu. Namun, uang, dan nilainya untuk hidup kita, akan terus berubah naik serta turun. Ia bisa menciptakan ketegangan dan kerakusan yang membawa derita bagi diri sendiri maupun orang lain.

            Hubungan dengan orang lain juga kerap menjadi sumber kebahagiaan bagi banyak orang. Keluarga dan teman-teman terkasih memang bisa memberikan kebahagiaan besar. Namun, keduanya bermata dua. Mereka bisa menjadi sumber masalah dan penderitaan bagi hidup kita, terutama jika harapan kita pupus oleh perilaku mereka.

            Kesehatan juga bisa menjadi sumber bahagia. Namun, orang tak bisa selamanya sehat. Ketika orang berharap untuk selalu sehat, maka ia pasti akan kecewa dan menderita, ketika penyakit yang pasti akan berkunjung sungguh telah tiba. Semua orang, tanpa kecuali, pasti akan menua, sakit dan meninggal.

            Di abad 21 ini, tawaran kenikmatan dari berbagai penjuru terus datang dan menggoda. Berbagai cara disediakan supaya orang bisa mendapatkan kenikmatan sesaat. Orang pun hidup di dalam pengejaran kenikmatan sekedar untuk menutupi kekosongan batin dan kesepian yang mereka alami. Bentuknya beragam, mulai dari seks bebas, acara film tanpa henti, makanan instan sampai dengan bepergian dengan biaya murah.

            Namun, segala hal berubah, begitu pula dengan kenikmatan. Kerap kali, kenikmatan sesaat dibayar dengan mahal. Uang, waktu dan tenaga yang dikeluarkan begitu besar. Tak hanya itu, kenikmatan sesaat semacam itu kerap juga berakhir dengan ketidakpuasan, dan penderitaan.

            Misalkan makan enak. Untuk bisa mendapatkan makanan yang enak dan sehat, kita harus mengeluarkan uang, waktu dan tenaga yang cukup. Namun, kenikmatan yang diberikan hanya sesaat. Jika makan terlalu banyak, sakit perut juga bisa terjadi.

            Di dalam pemikiran Asia, inilah yang disebut sebagai Dukha. Artinya adalah ketidakpuasan, atau frustasi. Karena segala hal berubah, tidak ada satu pun hal yang bisa memberikan kebahagiaan terus menerus. Manusia pun cenderung merasakan frustasi, jika terus mencari kebahagiaan dalam bentuk kenikmatan sesaat di luar dirinya.

            Mobil baru akan terasa bosan, jika dipakai terus. Baju mewah akan rusak, jika digunakan. Bahkan, kecantikan, kegantengan dan kecerdasan akan pasti lenyap dengan berjalannya waktu. Kekayaan yang melimpah juga akan menyisakan kecemasan dan kerakusan, jika tak diolah dengan spiritualitas yang tepat.

            Hidup pun menjadi lingkaran setan. Orang mengejar kenikmatan yang justru membuatnya menderita. Rasa frustasi pun muncul. Jika besar dan berlangsung lama, orang bisa kehilangan kewarasannya, atau terjebak dalam beragam bentuk kecanduan, mulai dari kecanduan belanja, seks sampai dengan narkoba.

            Di dalam sejarah, banyak orang sudah mengenali gejala ini. Mereka pun berusaha menemukan jalan keluar atasnya. Jalan spiritual adalah jawabannya. Spiritualitas sendiri berada melampaui batas-batas agama.

            Spiritualitas memberikan jawaban sederhana, bahwa manusia bisa menemukan kebahagiaan yang permanen di dalam dirinya. Kebahagiaan semacam ini tidak meledak-ledak dan heboh. Ia tenang dan memberikan stabilitas. Ia bisa disentuh kapanpun dan dimanapun, asal orang memahami caranya.

            Cara paling sederhana adalah mengamati nafas dengan lembut. Hilangkan semua ketegangan. Amati nafas masuk dan keluar dari hidung secara lembut. Dengan perlahan, kedamaian yang stabil akan muncul dengan sendirinya.

            Di tengah beragam godaan untuk memperoleh kenikmatan di luar diri, cara ini tampak membosankan. Ia memang sudah tua. Pendekatan ini sudah ditemukan oleh para Buddha dan Yogi yang hidup puluhan ribu tahun lalu. Namun, ia bertahan terus di dalam perjalanan waktu, dan kini banyak memberikan inspirasi bagi orang yang terus mengalami frustasi di dalam hidupnya.

            Orang lalu bisa duduk, bernapas dan menemukan kebahagiaan, tanpa syarat apapun. Bentuk-bentuk kebahagiaan dan kenikmatan lainnya hanyalah bonus saja. Jika ada, ia dinikmati. Jika tidak ada, orang bisa duduk, dan bahagia dengan sendirinya.

            Hidup itu sendiri, jika disadari, sudah cukup memberikan kebahagiaan yang sejati. Orang hanya perlu mengarahkan kesadarannya ke dalam diri, baik ke napas, ke sensasi kulit ataupun ke suara. Inilah inti dari meditasi. Ia gratis dan tak terbatas keberadaannya untuk semua manusia, tanpa kecuali.

            Pemahaman ini banyak menyelesaikan masalah di dalam hidup manusia. Orang tak lagi menghabiskan waktu, tenaga dan uang untuk mengejar kenikmatan semu yang berujung pada kekecewaan. Hidup menjadi bermakna, walaupun mungkin banyak tantangan yang menghadang. Bahagia dari dalam, tanpa syarat, inilah yang harus dipelajari semua manusia.

            Kerakusan akan lenyap. Korupsi akan tinggal sejarah. Perang akan berakhir. Surga tak perlu menunggu nanti, setelah mati, namun disini dan saat ini. Tunggu apa lagi?

           

 

 

 

Tulisan ini,.. Mungkin Akan Menyelamatkan Hidup Anda

$
0
0
Surreal still life painting with horse. Vase with water. Animal. - All my  world inside Painting by Nastya Parfilo | Saatchi Art
Nastya Parfilo

Oleh Reza A.A Wattimena

Pikiran memang ajaib. Di tengah keindahan, ia bisa menghadirkan derita neraka, misalnya melalui kenangan masa lalu yang kelam. Di tengah pedihnya nestapa, ia bisa menghadirkan kegembiraan, misalnya dengan harapan ke depan yang lebih cerah. Segalanya, kiranya, dibentuk dari pikiran.

Dari hal kecil, pikiran bisa menghadirkan hal-hal besar yang tak sungguh ada. Dari hal besar, pikiran bisa mengerdilkannya. Satu cacat seolah bisa mengakhiri segalanya, karena pikiran yang bergerak berlebih. Hidup bisa berakhir, karena pikiran yang terus menyiksa batin.

Pikiran juga bisa menghadirkan suara yang tak sungguh ada. Suara tersebut bisa menyiksa. Ia mengajak kita untuk berbuat yang menyakiti hati. Bahkan, ia kerap mengajak kita untuk bunuh diri.

Gambaran yang tak ada pun muncul, karena pikiran yang tak terkendali. Hal-hal yang tak ada justru tampak di depan mata. Hanyut dalam pikiran, orang kehilangan pijakan pada kenyataan. Orang hanyut dalam mimpi yang ia ciptakan sendiri.

Kenyataan pun runtuh. Batas antara apa nyata dan apa yang khayal tak lagi jelas. Orang hidup di dalam mimpi yang menyiksa hati. Dalam keadaan terjepit semacam itu, bunuh diri tampak menjadi jalan yang memikat hati.

Hakekat Pikiran

Namun, pikiran itu, sejatinya, datang dan pergi. Ia seperti tamu tak diundang yang datang dan pergi seenaknya. Ia seperti asap yang mengganggu, tapi tak sungguh ada. Ia seperti bau kentut yang datang menyiksa, lalu pergi begitu saja.

Maka, pikiran jangan dianggap nyata. Jangan diikuti. Jangan diberi energi. Cukup sadari, ketika ia berkunjung, dan kembali ke saat ini.

Pikiran itu sisa sampah dari masa lalu. Pikiran adalah pola yang terbentuk dari pengalaman di masa lalu. Ia tidak hidup. Ia tidak cerdas.

Ia hanya gudang dari apa yang kita terima sebelumnya. Ia berkarat lewat tumpukan pengalaman. Ia membusuk, karena terus dikunyah, tanpa kesadaran. Pikiran boleh ada, namun jangan ia diikuti, apalagi dipeluk sepenuh hati.

Hal yang sama dengan imajinasi. Ia adalah bayangan tentang apa yang bisa terjadi di masa depan. Pijakan dari imajinasi adalah pengalaman masa lalu, yang dilemparkan sebagai skenario ke masa depan. Maka, ia pun tak lebih dari sampah yang menganggu, bila tak sungguh disadari.

Kesadaran yang Hidup

Siapa kamu, tanpa pikiranmu? Coba jawab pertanyaan ini. Jika pikiranmu dibuang jauh, siapa kamu? Jawaban jujurnya hanya satu: kesadaran yang hidup.

Siapa kamu, jika semua bahasa di dunia ini lenyap? Ruang yang luas. Kosong dan hampa seluas semesta. Sesungguhnya, ia tak bernama.

Inilah diri yang sejati. Ia tak datang dan tak pergi. Ia tetap ada, lepas dari apa yang terjadi. Inilah tempat terciptanya pikiran dengan segala warnanya.

Saat ke saat, kembalilah ke sini. Diri yang sejati, sebelum semua pikiran lahir, adalah rumah kita yang asli. Inilah rumah kesadaran, dimana kita bisa beristirahat sepenuhnya. Saat ajal tiba, kedamaian tetap menyertai, karena kesadaran yang hidup tak akan pernah mati.

Di dalam kesadaran yang hidup, pikiran turun. Ia bagaikan pedang yang kembali ke sarungnya. Ia terhindar dari karat yang merusak fungsinya. Dengan cara ini, ketika digunakan, pikiran justru bisa bekerja dengan amat tajam dan sempurna.

Kita pun lalu sungguh hidup. Kita “bangun” dari mimpi dari derita yang kita ciptakan sendiri. Pikiran boleh datang. Suara dan gambaran khayal boleh berkunjung. Namun, semua itu tampak jauh dan tak berarti, karena kita sungguh sadar, “bangun” dan hidup disini dan saat ini.

Ini semua bisa menyelamatkan hidup anda. Tak perlu lagi derita lahir dari pikiran yang menyiksa jiwa. Tak perlu lagi terpengaruh oleh suara maupun gambaran yang lahir dari khayal. Anda sudah hidup sepenuhnya.

Ayo “bangun”!!!

 

 

 

 

Buku Terbaru: Terjatuh Lalu Terbang, Belajar untuk Hidup Seutuhnya

$
0
0

Selamat datang di buku kecil ini. Ini adalah buku minim kata. Namun, ia banyak jeda. Jeda untuk berkaca, dan berpikir mendalam tentang hidup kita.

Buku ini tidak untuk ditelan begitu saja. Ia perlu dibaca secara perlahan, yakni dengan menikmati jeda. Cukup satu atau dua halaman, lalu berhenti membaca. Renungkan dan terapkan di dalam hidup anda.

Buku ini tidak perlu dibaca berurutan. Ia bisa dibaca dengan melompat di antara halaman. Ia bisa dibaca ditengah kesibukan keseharian. Harapannya, ia menyediakan pencerahan bagi yang membutuhkan.

Buku ini bukan sekedar ilmu pengetahuan. Ia adalah jalan untuk mencapai pembebasan. Buku ini adalah sebuah jalan hidup. Jadikan ia teman di dalam perjalanan hidup anda.

Jika anda bersedia, beli buku ini lebih banyak, dan bagikan. Mari kita jadikan pencerahan sebagai jalan hidup banyak orang. Ilmu dan kebijaksanaan tidak untuk dipendam, melainkan untuk dibagikan kepada semua yang membutuhkan. Tak ada yang lebih mulia di dalam kehidupan.

Di dalam menulis buku ini, saya berhutang pada sejarah. Begitu banyak petikan kebijaksanaan disana. Saya tinggal menangkap dan mengolahnya. Saya berhutang pada semua orang bijak yang pernah ada.

Selamat terjatuh, lalu terbang.

Jakarta, Maret 2020

Reza A.A Wattimena

Pemesanan di ig @transmediapustaka atau +62858-9036-3854
 
atau Klik
Viewing all 139 articles
Browse latest View live