Quantcast
Viewing all 139 articles
Browse latest View live

Terbitan Buku Terbaru: Dengarkanlah, Zen, Pandangan Hidup Timur dan Jalan Pembebasan

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Oleh Reza A.A Wattimena 

Pemesanan bisa di 
Penerbit Karaniya
JL.Mangga I Blok F 15
Duri Kepa, Kebon Jeruk
Jakarta Barat 11510
Telepon: +6221 568 7957
WhatsApp: +62 813 1531 5699

Atau di Toko Buku Terdekat

Buku ini lahir dari penderitaan yang saya alami. Selama bertahun-tahun, saya hidup dalam depresi. Secara singkat, depresi dapat dipahami sebagai kesedihan yang berkelanjutan, kerap kali tanpa alasan yang jelas, dan membuat orang tidak bisa menjalani kesehariannya dengan damai dan bahagia. Depresi ini mempengaruhi banyak unsur dalam hidup saya, mulai dari soal hubungan pribadi, sampai dengan hubungan profesional.

Saya kerap kali bertanya, apakah hidup memang seperti ini? Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, penderitaan dan kekecewaan muncul. Saya juga menyaksikan, begitu banyak keluarga dan teman-teman saya terjebak pada soal yang sama. Mereka mencoba menemukan jalan keluar melalui agama ataupun konsultasi dengan profesional. Namun, jawaban atas permasalahan mereka tak kunjung tiba.

Puncak penderitaan saya terjadi pada 2014 lalu. Di awal tahun, saya mengalami masalah cukup parah di dalam rumah tangga saya. Konflik tak kunjung henti antara saya dan (mantan) istri saya. Kami sudah mengunjungi beberapa profesional dan pemuka agama. Namun, masalah tak selesai, bahkan cenderung semakin besar.

Bulan Februari pertengahan, berita buruk menghantam saya di pagi hari. Saya bangun sekitar jam 5.30 pagi, membuka HP, dan menerima berita mengejutkan, bahwa ayah saya meninggal. Tidak ada gejala. Tidak ada sakit. Katanya, beliau serangan jantung, dan meninggal di tempat.

Saya kaget dan menangis seketika. Saya sudah lama tidak berkontak dengan ayah saya, karena kesibukan saya menulis disertasi dalam rangka pendidikan doktoral di kota Munich, Jerman. Sekedar catatan, disertasi saya juga berantakan pada waktu itu. Banyak hal belum dibaca dan ditulis. Pembimbing saya juga tampak tidak puas pada kinerja penulisan disertasi saya.

Beragam masalah datang menimpa saya. Semua rencana gagal. Penderitaan datang mencekam jiwa. Namun, saat itu, saya harus kuat, karena harus kembali ke Indonesia untuk menemani keluarga.

Setelah beberapa minggu yang menyakitkan di Indonesia, saya harus kembali ke Jerman. Beragam buku dan disertasi sudah menunggu. Namun, depresi saya semakin kuat. Penderitaan yang amat besar menghantam saya selama berbulan-bulan.

Saya mencoba mencari jalan keluar. Saya berdoa. Saya mengunjungi pemuka agama saya pada waktu itu. Saya juga berbicara dengan profesional.

Namun, tak ada jalan keluar. Saya tak menemukan jalan keluar dari depresi dan penderitaan berat yang saya rasakan. Ini terjadi selama kurang lebih 6 bulan. Jujur, saya tidak mandi pada waktu itu, dan membiarkan rambut serta jenggot saya bertumbuh. Saya sudah seperti orang dari hutan.

Puncaknya adalah ketika saya berniat bunuh diri. Kota Munich di Jerman memiliki kereta bawah tanah yang baik. Saya berniat melompat, guna mengakhiri penderitaan saya yang tanpa jalan keluar ini. Ketika hendak melompat, saya terdiam. Saya harus menemukan jalan keluar.

Pada titik inilah saya berkenalan secara mendalam dengan ajaran Buddha, terutama Zen Buddhis yang memang tersebar sangat luas di Jerman. Saya memasuki Zen melalui Anthony de Mello SJ, seorang pastur Katolik yang amat fasih berbicara soal pemikiran Timur, termasuk Buddhisme dan Hinduisme. Saya pun mulai membaca beragam buku soal Zen, dan bergabung dengan komunitas meditasi Zen di Munich, Jerman.

Saya terlibat dalam dua aliran Zen, yakni Rinzai Zen dari Jepang, dan Seon Buddhis dari Korea Selatan. Saya mengikuti retret dan meditasi rutin yang diselenggarakan para Zen Master di Jerman dan Hongaria. Banyak sekali pemahaman dan kebijaksanaan yang saya dapatkan. Hidup saya berubah.

Isi buku ini merupakan perjalanan saya sejak saat itu. Saya berhasil menemukan jalan keluar dari penderitaan yang saya rasakan. Tentu saja, penderitaan tidak langsung hilang. Namun, saya paham akar penderitaan saya, dan punya cara untuk mengelolanya, ketika ia datang berkunjung.

Saya merasa, jalan Zen Buddhis akan bisa membantu banyak orang yang menderita. Mereka bisa juga memahami akar penderitaannya, dan keluar darinya, setelah menekuni jalan Zen. Yang terpenting, saya mendedikasikan buku ini untuk ibu dan keluarga saya yang juga bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang berat. Juga, saya berharap para pembaca buku ini bisa menemukan jalan yang cocok untuk kehidupan mereka, supaya bisa keluar dari penderitaan, dan memahami jati diri mereka yang sebenarnya.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

 


Peluncuran Buku: Zen

Pencerahan Final di dalam Zen

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Creators – Vice

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Salah satu tujuan orang belajar filsafat dan Zen adalah mendapatkan pencerahan. Di dalam filsafat Eropa, pencerahan dipahami sebagai bangunnya manusia dari ketidakdewasaan yang diciptakannya sendiri. Pemahaman ini diperoleh dari filsafat Immanuel Kant. Artinya, manusia berani untuk mulai berpikir mandiri, lepas dari segala bentuk tradisi yang selama ini memenjarakannya.

Di dalam tradisi Zen, yang berkembang dari India, Jepang, Cina dan Korea, pencerahan memiliki isi yang berbeda. Pencerahan adalah pengalaman kesatuan, dimana diri melebur dengan segala yang ada, dan menjadi satu dengannya. Tidak ada lagi subyek dan obyek, atau diri yang merasa terpisah dari lingkungannya. Tidak ada lagi penderitaan dan kesalahan berpikir yang selama ini menghantui.

Banyak praktisi Zen yang berhenti disini. Mereka merasa, dengan mengalami perasaan kesatuan, perjalanan sudah selesai. Namun, ini sebenarnya adalah salah paham. Ada satu tingkat lagi yang perlu diraih, yakni pencerahan final.

Di dalam pencerahan final, perasaan kesatuan lalu digunakan untuk mengajukan pertanyaan berikut, “Apa yang bisa dilakukan, supaya lingkungan sekitarku menjadi lebih baik?” Pertanyaan ini terkait dengan peran yang tepat di dalam masyarakat. Dengan pertanyaan ini, praktisi Zen lalu keluar dari kelekatan pada „perasaan kesatuan“. Ia menggunakan pencerahannya untuk menolong semua mahluk yang membutuhkan.

Semua ini dilakukan saat demi saat. Detik ini, apa yang bisa kulakukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik? Pencerahan, atau perasaan kesatuan, bukanlah merupakan tujuan akhir. Sebaliknya, ia justru merupakan titik awal yang mendorong gerak lebih jauh.

Dua hal ini tidak bisa dipisahkan. Pencerahan pertama adalah pengalaman kesatuan. Semua lalu tampil apa adanya. Langit biru. Pohon hijau. Tembok putih. Semua apa adanya. Tidak ada “diri” yang penuh prasangka, yang menghalangi persentuhan langsung dengan kenyataan.

Tingkat ini haruslah dicapai terlebih dahulu, sebelum orang menolong lingkungannya. Jika tidak, kepentingan diri masih terselip. Akibatnya, tindakan menolong pun masih penuh dengan pamrih. Tindakan menolong yang ditempeli oleh pamrih justru akan memperburuk keadaan.

Saat demi saat. Pohon hijau. Langit biru. Semua apa adanya. Apa yang bisa saya bantu?

Inilah pencerahan tertinggi.

 

 

 

Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen dan Jalan Pembebasan

Zen Itu “Telanjang”

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Surreal Composite Photos by Luisa Azevedo

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Zen itu memang “telanjang”. Sebagai salah satu aliran di dalam filsafat Timur, Zen memang sangat unik. Ia “telanjang” (bebas) dari berbagai kata, konsep, ritual dan aturan, yang banyak sekali ditemukan, tidak hanya di aliran lain dalam filsafat Timur, tetapi juga di dalam agama dan tradisi yang lain. Zen adalah pengalaman langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya, sebelum segala konsep, kata, aturan dan ritual tercipta.

Pengalaman Zen menunjuk langsung ke inti pikiran kita sebagai manusia. Inti pikiran ini sejatinya kosong. Ia seperti ruang hampa luas yang bisa menampung segalanya, tanpa kecuali. Penderitaan pun bisa ditampung, tanpa halangan.

Ini juga sejalan dengan temuan terbaru di bidang astrofisika. Kurang lebih 95 persen dari seluruh tata alam semesta yang ada, termasuk di dalamnya jutaan bintang, ribuan galaksi dan jutaan planet, adalah ruang kosong (empty space). Dari ruang kosong inilah lahir segala yang ada. Pada satu ketika, semuanya pun akan kembali ke ruang kosong tersebut.

Dengan menunjuk ke inti pikiran kita sebagai manusia, Zen juga mengajak kita semua untuk memahami jati diri kita yang asli (true self). Jati diri asli ini terletak sebelum segala identitas sosial yang diberikan oleh keluarga ataupun masyarakat kita. Ia adalah kesadaran murni (pure awareness) yang terletak di balik segala pikiran dan emosi yang muncul. Jika kita paham dan mengalami langsung jati diri asli ini, maka kita akan bebas dari kelekatan terhadap pikiran dan emosi yang muncul. Pendek kata, kita terbebas dari penderitaan hidup.

Sebagai pengalaman, hubungan antara guru dan murid Zen ditandai dengan transmisi antar pikiran. Ini seperti dua sahabat yang sudah saling mengerti satu sama lain, walaupun tidak ada kata dan konsep yang disampaikan. Komunikasi tertinggi memang dilakukan dalam hening. Justru, kata dan konsep yang terlalu banyak akan menciptakan salah paham.

Zen itu telanjang, karena ia telanjang dari segala kelekatan. Kelekatan terhadap barang materi, pikiran dan emosi adalah sumber dari penderitaan. Ketika itu semua dilepas, orang akan langsung merasakan kebebasan. Bahkan, Zen itu sendiri harus dilepas, supaya orang sungguh bisa mengalami jati diri sejatinya yang berada sebelum segala bentuk konsep dan pikiran.

Setelah itu, pertanyaan yang mesti kita ajukan adalah, “Apa yang bisa saya lakukan, guna membuat lingkunganku menjadi lebih baik?” Dengan pertanyaan ini, kelekatan terhadap kekosongan pun dilepas. Orang kembali ke masyarakat untuk berkarya demi kebaikan bersama. Ia membawa kejernihan sekaligus bebas dari semua kelekatan di dalam karyanya.

Ia pun bisa menggunakan konsep, kata, pikiran, emosi maupun barang-barang materi di dalam karyanya dengan jernih dan bebas. Ritual dan aturan pun digunakan seperlunya untuk menolong semua mahluk. Semua itu dilakukan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Jadi, apalagi yang kita tunggu?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dua Diskusi di Jakarta dan Depok: Tentang Kosmopolitanisme dan Urban Zen

Zen dan Revolusi Industri Keempat

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Dreamstime.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Revolusi industri keempat menghantam dunia. Dunia digital merangsek masuk ke kehidupan banyak orang. Tak heran, orang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya (online), daripada berhubungan langsung dengan manusia-manusia di dunia nyata. Hal ini membawa banyak dampak, mulai dari berkurangnya rasa solidaritas atas warga, sikap tak peduli satu sama lain yang terus meningkat, sampai dengan depresi mendalam, karena kecanduan hidup di dunia maya.

Orang pun mengalami penderitaan mendalam. Sebagai pelarian, mereka lari ke berbagai hal, mulai dari perilaku konsumtif, narkoba, seks tanpa arah sampai dengan bunuh diri. Tradisi tidak lagi mampu memberikan makna dan pegangan moral bagi hidup manusia. Krisis identitas pun melanda secara global di berbagai belahan dunia. Di titik ini, Zen, sebagai salah satu aliran Filsafat Timur yang berkembang di Asia Timur, kiranya bisa memberikan tiga butir pencerahan.

Pertama, Zen mengajarkan kita untuk memiliki „pikiran yang tidak mengecek“ (Don’t Check Mind). Artinya, apapun yang dilakukan, kita perlu melakukannya, tanpa mengecek, analisis ataupun spekulasi apapun. Ketika makan, ya makan. Ketika berjalan, yah berjalan. Jika dilakukan dari saat ke saat, “pikiran yang tidak mengecek” ini akan melahirkan kejernihan dan kedamaian.

Dua, Zen juga mengajarkan kita untuk memliki “pikiran tanpa halangan” (No Hindrance Mind). Artinya, ketika kita berpikir, kita perlu berpikir sepenuh hati, tanpa halangan. Ketika takut datang, ya sekedar takut. Ketika marah datang, ya sekedar marah. Pikiran lalu bisa digunakan untuk beragam keperluan, guna menanggapi berbagai keadaan yang terjadi.

Tiga, dua bentuk pikiran di atas haruslah memiliki arah yang jelas. Di dalam tradisi Zen, arah (direction) adalah sesuatu yang amat penting, yakni menolong semua mahluk yang membutuhkan. Arah ini diterjemahkan ke upaya untuk memahami keadaan sekitar, dan berusaha terlibat untuk membuatnya menjadi lebih baik.  Ketika “pikiran yang tidak mengecek” dan “pikiran tanpa halangan” terarah untuk menolong semua mahluk, maka orang akan memiliki kejernihan, ketajaman dan kedamaian yang besar di dalam hidupnya, serta siap terlibat untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Tiga hal di atas juga membuat orang sadar akan jati dirinya dari saat ke saat. Orang tidak terjebak pada pikiran ataupun emosi yang bersifat sementara. Kesadarannya pun berkembang dari saat ke saat yang akan menghantarkannya pada kejernihan dan kedamaian. Apapun keadaan di luar, termasuk revolusi industri keempat, kebingungan dan penderitaan tidak lagi menjadi halangan untuk mewujudkan yang bermutu.

Revolusi industri keempat tidak harus menciptakan kebingungan dan penderitaan, jika orang menekuni jalan Zen. Sebaliknya, revolusi industri keempat justru bisa menjadi peluang besar untuk mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang berkembang amat cepat merupakan alat yang sangat kuat untuk menyebarkan pesan-pesan pencerahan di tingkat global. Jadi, tunggu apa lagi?

 

 

 

Jangan Lupa Tersenyum

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Surreal mouth

Oleh Reza A.A Wattimena

Entah mengapa, perasaan saya jelek sekali hari itu. Mengendarai motor, sesuatu yang biasanya sangat saya nikmati, pun terasa tak nyaman. Apalagi, mendadak, ada motor yang menyalip dengan agresif. Emosi pun naik, dan otomatis, saya mengejarnya.

Seolah balapan liar terjadi hari itu. Padahal, jalanan cukup ramai. Ini tentu membahayakan tidak hanya diri saya sendiri, tetapi juga pengendara lain. Akan tetapi, saya tak peduli. Begitulah jika kita sedang dimakan emosi tinggi.

Setelah beberapa kilometer balapan, kami pun bersandingan. Saya sudah siap untuk perang. Tangan sudah mengepal. Tiba-tiba, pengendara agresif tersebut membuka helmnya, ia tersenyum sambil berkata, “Hati-hati di jalan mas.”

Ada hal menarik yang terjadi setelah itu. Emosi saya langsung mereda. Saya balik tersenyum. Semua agresi hilang. Kami pun berkendara lagi dengan tenang di jalan yang ramai.

Mengapa emosi saya tiba-tiba mereda? Mengapa satu senyuman kecil bisa meredakan semua ketegangan antar orang? Apa kekuatan dari senyuman? Sedikit penelitian langsung menunjukkan beragam manfaat baik dari senyuman.

Dampak Senyuman

Pertama, senyum itu baik untuk kesehatan. Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan secara jelas, bahwa senyuman memberikan kesehatan fisik, psikologis maupun sosial kepada manusia. (Selig, 2016) Orang yang banyak tersenyum akan lebih sehat hidupnya. Hubungannya dengan orang lain pun jauh lebih baik, daripada orang yang jarang tersenyum.

Dua, senyum itu memberi kebahagiaan. Kata yang lebih tepat bukanlah happiness, tetapi well-being. Orang yang suka tersenyum lebih merasa cukup dan bahagia dalam hidupnya. Secara biologis, hal ini bisa dibuktikan dengan mengalirnya tiga “hormon kebahagiaan”, yakni serotonin, endorfin dan dopamin, ketika orang tersenyum. (Stevenson, 2012)

Tiga, karena lebih sehat dan bahagia, maka agresi di dalam diri pun berkurang. Agresi adalah sifat-sifat kasar yang kerap kali muncul, ketika orang berada di dalam keadaan tertentu. Contohnya adalah marah, benci, dendam dan iri hati. Senyum bisa membuat semua sifat-sifat ini berkurang, bahkan hilang sama sekali.

Empat, senyuman juga bisa mengundang harapan. Mungkin, bencana terbesar yang bisa dialami seseorang adalah putus asa. Semua tantangan bisa dihadapi, asal orang punya harapan. Ketika harapan lenyap, tantangan apapun, termasuk yang kecil, tak akan bisa dilampaui. Senyuman memainkan peranan penting di dalam membangun harapan di dalam diri, terutama ketika keadaan sulit sedang menimpa.

Jangan Lupa Tersenyum

Di dalam tradisi Timur, terutama Zen, senyum juga berperan penting di dalam laku meditasi. Meditasi bukanlah sebuah tindakan yang melulu serius. Sikap terlalu serius justru membuat orang semakin sulit bermeditasi. Tanpa senyuman, orang sulit untuk tetap jernih dan damai di dalam hidup sehari-hari.

Di dalam tradisi Zen, senyum bukan hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga menjadi kondisi pikiran (state of mind). Perasaan damai dan jernih ketika tersenyum tetap dipertahankan, bahkan ketika orang tidak lagi tersenyum secara fisik. Orang bisa mengingat orang yang ia sayang, ketika bermeditasi, supaya bisa membangkitkan perasaan tersenyum (smiling state of mind) itu. Ketika senyum dijadikan bagian dari meditasi, maka kejernihan dan kedamaian pun akan muncul secara alami.

Maka, janganlah lupa untuk tersenyum. Senyum itu pun perlu dilakukan dengan ketulusan. Ia bukanlah senyum licik yang lahir dari kegembiraan, karena orang lain gagal. Senyum licik semacam itu justru mengembangkan sikap-sikap kasar yang justru melahirkan penderitaan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Kita juga perlu tersenyum di hadapan kegagalan dan penderitaan. Justru dengan tersenyum di hadapan kegagalan dan penderitaan, kita bisa lebih tenang menyingkapi keadaan, dan belajar dari kesalahan yang telah dilakukan. Ini juga berlaku, ketika kita merasa gagal dalam melakukan meditasi. Kemampuan untuk tersenyum dan bahkan tertawa di hadapan ironi kehidupan adalah salah satu tanda kematangan pribadi.

Jadi, jangan lupa tersenyum…

 

 

 

 


Belajar Menjadi Pemula

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

​Peneliti, Tinggal di Jakarta

Kita pasti sudah sadar, bahwa hidup penuh dengan tantangan. Niat baik dan usaha keras tidak menjadi jaminan, bahwa orang akan berhasil dalam hidup. Musuh yang iri siap menanti untuk menjegal. Kegagalan pun terjadi, walaupun tanpa sebab yang adil.

Namun, jalan keluar dari semua itu sebenarnya cukup sederhana. Kita hanya perlu memiliki pikiran seorang pemula (beginner’s mind). Kita melihat dunia,beserta segala keberhasilan maupun kegagalannya, dengan kaca mata seorang pemula. Inilah inti utama dari jalan hidup Zen.

Pikiran Pemula

Ide ini dikembangkan oleh seorang Zen Master Jepang yang bernama Shunryu Suzuki. Ide ini mengusir segala ilusi tentang Zen dan jalan meditasi pada umumnya. Tidak ada kesaktian yang perlu diraih. Tidak ada batin yang perlu dibersihkan. Kita hanya perlu untuk melihat kehidupan ini sebagai seorang pemula dari saat ke saat.

Lawan dari pikiran pemula adalah pikiran ahli. Pikiran ahli melihat segala sesuatu dengan teori. Analisis soal baik buruk serta untung rugi terus dilakukan. Ini membuat pikiran ahli penuh dengan kegelisahan dan penderitaan.

Sebaliknya, pikiran seorang pemula selalu bersih dari analisis. Semua dilihat apa adanya. Tidak ada yang ditambahkan. Tidak ada yang dikurangi. Ini bisa dilakukan dari saat ke saat di dalam hidup.

Pikiran pemula melihat dunia dengan mata yang segar. Di dalamnya terdapat rasa ingin tahu, rasa syukur dan bahkan kekaguman. Bayangkan anda pertama kali melihat sebuah telur. Dengan pikiran pemula, anda akan terkagum-kagum, bagaimana telur ayam bisa menjadi makanan, atau dari mana asal dan bagaimana proses pembentukan telur tersebut.

Pikiran pemula juga akan membangkitkan kesadaran (awareness). Di dalam berbagai tradisi meditasi, kesadaran adalah unsur utama yang perlu dikembangkan. Melihat dunia dengan pikiran pemula berarti melihat dengan kesadaran. Jika hidup dilihat dengan mata kesadaran dari saat ke saat, maka penderitaan dan segala bentuk kegelisahan akan bisa dikelola dengan sehat.

Dampak Pikiran Seorang Pemula

Seorang pemula melihat dunia dengan jernih. Segala sesuatu pun dialami dengan apa adanya (as it is). Tidak ada prasangka. Tidak ada dugaan ataupun kecurigaan. Ketika ini semua lenyap, penderitaan dan kegelisahan pun lenyap.

Kita pun jadi tidak gampang menilai orang lain. Ketika orang berbicara, kita bisa mendengarkannya dengan jernih. Dengan ini, kita lalu bisa menolong orang lain, sesuai dengan apa yang ia butuhkan, dan bukan apa yang kita inginkan. Hubungan kita dengan orang sekitar kita pun jadi lebih baik.

Pikiran pemula juga akan membuat kita bekerja lebih baik. Kita tidak gelisah mengerjakan kewajiban kita sehari-hari, karena kegelisahan muncul dari penolakan. Sementara, penolakan berakar pada penilaian soal baik buruk, ataupun untung rugi. Pikiran pemula akan membantu kita menjalankan berbagai kewajiban yang ada dengan hati yang ringan, penuh rasa ingin tahu dan jernih.

Secara keseluruhan, pikiran pemula bisa membebaskan kita dari segala bentuk kecemasan dan ketakutan akan masa depan. Padahal, masa depan tidak ada yang tahu. Daripada sibuk dengan kecemasan dan ketakutan yang tanpa dasar, pikiran pemula mengajak kita untuk tetap “tidak tahu”, serta terbuka pada berbagai kemungkinan yang ada. Pikiran pemula mengajak kita untuk bertekun di dalam proses, tanpa obsesi pada hasil.

Pikiran pemula adalah keadaan alami kita sebagai manusia. Kita semua mempunyainya. Di dalam Zen, pikiran pemula disebut juga sebagai “jati diri asli” (true self). Dengan menyadari dan menggunakannya, pikiran pemula bisa mengubah hidup kita ke arah kejernihan dan kedamaian.

Jadi, tunggu apa lagi? Mari belajar menjadi seorang pemula.

 

Melihat Tanpa Mengingat

Image may be NSFW.
Clik here to view.
GetDrawings.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Pagi ini, cuaca cerah. Suasana sepi. Semua sudah berangkat, entah kerja atau sekolah. Saya menulis, seperti biasa.

Di kamar, yang ada tak hanya kamar. Ada ingatan terselip. Kenangan manis dan pahit selama puluhan tahun mengalir, tanpa diundang. Begitulah pikiran manusia.

Teringat pula kemarin. Bandara Soekarno Hatta yang penuh kenangan. Kurang lebih selama enam tahun, dari 2008 sampai 2014, ayah saya bolak balik menjemput saya di bandara, entah dari Surabaya atau Jerman. Sekarang, ia sudah meninggal.

Tawanya masih terbayang. Suaranya masih mengunjungi telinga. Rasa kangen datang seketika. Sedang apa dia sekarang? Tanyakan ke rumput yang bergoyang.

Melihat itu Mengingat

Melihat rupanya selalu disertai dengan ingatan. Ingatan adalah sekumpulan informasi tentang masa lalu. Sayangnya, ingatan membuat melihat kehilangan kejernihan. Salah satu tindakan tersulit dalam hidup manusia adalah “melihat tanpa mengingat”.

Kamar tidak lagi sekedar kamar, tetapi menjadi rangkaian ingatan yang kerap kali berlebihan. Bandara tidak lagi sekedar bandara, tetapi menjadi film pendek dengan pemain yang telah tiada. Di dalam keadaan ini, kejernihan sulit diperoleh. Ketika kejernihan sirna, penderitaan datang menimpa.

Di dalam Zen, penderitaan terjadi, ketika orang tak mengenal diri sejatinya. Ia lalu hanyut dalam emosi dan pikiran yang datang bergantian. Ia mengira, pikirannya adalah kenyataan, lalu hanyut ke dalamnya. Jika pikiran dan emosi indah datang, ia bahagia berlebihan. Ketika pikiran dan emosi jelek datang, penderitaan pun datang berkunjung, dan menyiksa diri secara berlebihan.

Jalan keluarnya adalah dengan berhenti mengingat. Kita perlu belajar untuk melihat tanpa mengingat. Kamar adalah kamar. Bandara adalah bandara. Tidak lebih. Tidak kurang.

Melihat Tanpa Mengingat

Mengingat adalah kegiatan yang mesti ditunda. Ia harus ditempatkan paa tempat yang tepat, yakni ketika diperlukan untuk berkomunikasi dan membuat keputusan. Jika tak ditunda, mengingat adalah tindak mengorbankan kejernihan. Tanpa kejernihan, hidup akan diisi berbagai kesalahan sia-sia.

Bagaimana bila ingatan tak dapat dicegah, bagaikan tamu yang memaksa datang, namun sesungguhnya tak diundang? Jalannya cuma satu, yakni cukup disadari. Lihat ingatan yang datang dan pergi itu apa adanya. Di jalan Zen, inilah yang disebut sebagai pikiran non dual.

Pikiran non dual sebenarnya bukanlah pikiran sama sekali. Ia adalah keadaan alamiah manusia, sebelum pikiran dan emosi muncul. Di titik ini, tidak ada dualisme baik-buruk, benar-salah atau untung-rugi. Ia berada sebelum dualisme.

Sulit? Tidak juga sebenarnya. Jika gagal, silahkan coba lagi. Tidak ada dualisme gagal-berhasil disini. Kembali lagi dan lagi ke titik sebelum pikiran, yakni ke titik non dual ini. Coba terus, jika perlu sampai seribu tahun lamanya.

Selalu Baru

Sejujurnya, setiap saat adalah peluang. Yang dibutuhkan hanyalah secercah kejernihan. Di saat ini, ada surga, tetapi juga bisa ada neraka. Saat demi saat, kita memperoleh kesempatan untuk terus mengubah diri.

Setiap saat itu selalu baru. Ia berbeda dengan saat sebelumnya. Ia juga berbeda dengan saat setelahnya. Tak salah jika dikatakan, waktu sekedar ilusi. Yang ada hanya “saat ini”.

Melihat tanpa mengingat adalah peluang untuk menyaksikan keajaiban. Sesungguhnya, setiap saat adalah keajaiban. Matahari masih bersinar. Hidup masih berhamburan dengan meriah. Jika disadari dengan jernih, kita hidup dalam keajaiban setiap detiknya.

Mata sudah mulai lelah. Kepala sudah mulai sakit. Badan sudah mulai terasa pegal. Waktunya beristirahat.

 

 

 

Mushotoku: Bertindak Tanpa Menginginkan

Image may be NSFW.
Clik here to view.
John Moore

Oleh Reza A.A Wattimena

Salah satu ciri utama Zen adalah Mushotoku. Ini adalah keadaan batin yang tidak mencari apapun. Orang lalu hidup tidak melekat pada keinginan ataupun benda-benda luar, dan tidak lagi sibuk mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Ketika titik ini dicapai, kebebasan dan kebahagiaan muncul secara alami.

Kita hidup di dunia yang penuh dengan kepentingan. Jarang ditemukan ketulusan total di dalam hubungan antar manusia. Orang membantu orang lain, karena ada maunya. Kepentingan itu bisa sangat duniawi, seperti mencari balas jasa, atau sangat surgawi, yakni supaya mendapat pahala, atau masuk surga.

Cara berpikir semacam ini sama seperti berdagang. Walaupun terlihat spiritual, motivasi dasarnya tetaplah sebuah keuntungan, baik langsung ataupun tidak. Ada ego yang terselip disini. Selama ego masih muncul, kelekatan batin akan datang, dan penderitaan pun tak terhindarkan.

Mushotoku adalah sikap hidup yang asli dan alami. Ia melampaui ego dengan segala kepentingan dan kecemasan yang ia punya. Mushotoku juga menyadari kesatuan dari segala sesuatu di alam semesta. Jika orang hidup dengan prinsip ini, ia akan tetap merasa damai dan bahagia, walaupun ia rugi, jika dilihat dari kaca mata dunia sosial.

Dasar pertama dari Mushotoku adalah bertindak tanpa menginginkan hasil yang pasti. Ini juga mencakup memberi tanpa mengharapkan kembali. Mushotoku adalah ketulusan yang alamiah. Ia sepenuhnya bebas dari pamrih.

Ini juga merupakan sikap yang penting di dalam hidup beragama, baik dalam bentuk ritual, ajaran maupun spiritualitas (meditasi). Semuanya perlu dilakukan, tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Tidak ada nama baik, uang ataupun surga yang dinantikan. Juga tidak ada kekuatan batin apapun yang perlu diharapkan.

Di dalam Zen, semua tindakan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada obyek dan tidak ada subyek. Yang ada hanyalah kesatuan utuh dari segala sesuatu di dalam setiap tindakan, dari saat ke saat. Sikap batin semacam ini lalu diterapkan di dalam bela diri dan berbagai bentuk seni, sebagaimana yang berkembang di Asia Timur.

Bagaimana dengan hidup sehari-hari? Bukankah di dalam bekerja dan berdagang, kita harus memperoleh keuntungan? Tidak ada masalah. Lakukan apa yang perlu dilakukan dengan setiap pada prosesnya, tanpa melekat pada hasilnya.

Ketika berbisnis, orang perlu berbisnis sepenuh hati. Ia perlu memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kepada klien-kliennya. Semua proses ditekuni dengan sepenuh hati dan ketulusan sempurna, tanpa obsesi berlebihan pada hasilnya. Keuntungan tidak dilihat sebagai tujuan utama disini, melainkan sebagai dampak alami dari tindakan yang sepenuhnya utuh di dalam proses dari saat ke saat.

Pada tingkat awal, Mushotoku adalah sikap batin yang melepaskan segala kelekatan terhadap kepentingan diri. Pada tingkat tertinggi, Mushotoku adalah melepaskan “diri” itu sendiri. Inilah pencapaian tertinggi, tidak hanya di dalam ajaran Zen, tetapi juga di dalam filsafat Asia. Sejatinya, “diri” itu memang tidak pernah ada. Ia hanyalah ilusi yang lahir dari kebiasaan semata.

Setiap tindakan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Setiap saat adalah tujuan pada dirinya sendiri. Saat demi saat, semua hal dilakukan dengan ketulusan, termasuk ketika bekerja, berbisnis, meditasi, berdoa atau sekedar duduk bersama kerabat tercinta. Ketika penderitaan datang, ia tidak ditolak, melainkan dialami sepenuhnya dari saat ke saat. Itu pun hanya sementara.

Inilah jalan Zen,… jalan pembebasan.

 

 

 

 

Zen Studio: Mencari Kejernihan Hidup di Kota

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota, menjaga kejernihan jiwa adalah sebuah hal yang sangat penting.

Qotacorner mengajak qotalovers bergabung di Zen Studio untuk berlatih meditasi agar kita bisa tetap jernih hidup di kota.

Meditasi di Qotacorner Zen Studio akan dipandu oleh

Dr.phil. Reza A.A. Wattimena.

Setiap Sabtu pukul 10.00-11.30 mulai tanggal 4 Agustus 2018. di qotacorner. Jl. Cikatomas 2/22 Jakarta 12180

Tempat terbatas untuk 10 orang. Biaya pendaftaran IDR 150.000,-.

Daftarkan diri anda segera

#zen #meditasi #filsafat

Buku Terbaru: Mencari Ke Dalam, Zen dan Hidup yang Meditatif

Pemesanan bisa di 
Penerbit Karaniya
JL.Mangga I Blok F 15
Duri Kepa, Kebon Jeruk
Jakarta Barat 11510
Telepon: +6221 568 7957
WhatsApp: +62 813 1531 5699

Atau di Toko Buku Terdekat

Pengantar

Zen merupakan jalan untuk memahami jati diri kita yang sebenarnya. Seringkali, kita mengira, bahwa jati diri kita terkait dengan nama, agama, ras, suku bangsa dan pekerjaan. Padahal, itu semua berubah, dan tidak bisa dipahami sebagai jati diri sejati kita sebagai manusia. Di dalam jalan Zen, pertanyaan terkait dengan jati diri sejati ini dijawab tidak menggunakan nalar, melainkan dengan menggunakan pengalaman „sebelum pikiran“, atau pengalaman langsung manusia dengan kenyataan sebagaimana adanya.

Zen mengajak orang bertanya, siapa diri mereka sebenarnya. „Siapakah aku?“ „Siapa ini yang sedang bertanya?“ Ketika orang bisa menyentuh sumber dari segala pertanyaan dan pikiran yang muncul, ia sedang berjumpa dengan jati diri sejatinya. Pada titik ini, tidak ada penderitaan, dan tidak ada kebahagiaan. Yang ada hanyalah kedamaian sejati yang tidak bergantung pada hal-hal lainnya, seperti uang, kekuasaan, nama baik atau kenikmatan badani.

Jati diri sejati ini bisa dirasakan, ketika orang sepenuhnya hidup disini dan saat ini. Masa lalu sudah berlalu, sehingga tinggal ilusi. Masa depan belum terjadi, sehingga hanya merupakan bayangan. Sementara, masa kini pun terus bergerak. Dengan terus berpijak pada keadaan disini dan saat ini, orang lalu mencapai kejernihan pikiran, dan bisa bertindak tepat sesuai dengan keadaan di depan matanya.

Dengan berpijak pada keadaan disini dan saat ini, orang juga bisa menciptakan jarak dengan ingatannya. Di dalam hidup, ingatan memang berguna. Namun, ingatan juga kerap kali membatasi kita untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang nyata, misalnya karena trauma kegagalan masa lalu, atau prasangka yang muncul dari pengalaman masa lalu. Ketika ingatan dipandang sebagai sesuatu yang kosong, orang tidak lagi terjebak pada ingatannya tentang masa lalu, dan bisa secara jernih hidup disini dan saat ini. Kejernihan akan menjadi bagian nyata dari hidup.

Dari titik ini, berbagai karya juga diciptakan. Zen memberikan inspirasi bagi berkembangnya seni lukis, seni bela diri dan seni hidup seimbang di berbagai belahan dunia. Beberapa dekade belakangan, Zen juga memberikan inspirasi pada gerakan hidup berkesadaran (mindful living), yakni hidup dari saat ke saat dengan memperhatikan secara penuh apa yang sedang terjadi di saat ini. Gerakan ini membantu banyak penderita sakit berat untuk menemukan kejernihan dan kedamaian di dalam tantangan hidup yang mereka jalani.

Buku ini merupakan jilid kedua dari buku pertama yang berjudul Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan yang diterbitkan oleh Penerbit Karaniya. Ini merupakan buku pertama karya penulis Indonesia yang hendak mengupas inti pemikiran Zen dari sejarah maupun ajarannya. Ia ditujukan untuk orang-orang yang ingin keluar dari penderitaan yang hidup yang selama ini menghantuinya. Selamat membaca.

Reza A.A Wattimena

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Prolog

Buku ini lahir dari penderitaan yang saya alami. Selama bertahun-tahun, saya hidup dalam depresi. Secara singkat, depresi dapat dipahami sebagai kesedihan yang berkelanjutan, kerap kali tanpa alasan yang jelas, dan membuat orang tidak bisa menjalani kesehariannya dengan damai dan bahagia. Depresi ini mempengaruhi banyak unsur dalam hidup saya, mulai dari soal hubungan pribadi, sampai dengan hubungan profesional.

Saya kerap kali bertanya, apakah hidup memang seperti ini? Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, penderitaan dan kekecewaan muncul. Saya juga menyaksikan, begitu banyak keluarga dan teman-teman saya terjebak pada soal yang sama. Mereka mencoba menemukan jalan keluar melalui agama ataupun konsultasi dengan profesional. Namun, jawaban atas permasalahan mereka tak kunjung tiba.

Puncak penderitaan saya terjadi pada 2014 lalu. Di awal tahun, saya mengalami masalah cukup parah di dalam rumah tangga saya. Konflik tak kunjung henti antara saya dan (mantan) istri saya. Kami sudah mengunjungi beberapa profesional dan pemuka agama. Namun, masalah tak selesai, bahkan cenderung semakin besar.

Bulan Februari pertengahan, berita buruk menghantam saya di pagi hari. Saya bangun sekitar jam 5.30 pagi, membuka HP, dan menerima berita mengejutkan, bahwa ayah saya meninggal. Tidak ada gejala. Tidak ada sakit. Katanya, beliau serangan jantung, dan meninggal di tempat.

Saya kaget dan menangis seketika. Saya sudah lama tidak berkontak dengan ayah saya, karena kesibukan saya menulis disertasi dalam rangka pendidikan doktoral di kota Munich, Jerman. Sekedar catatan, disertasi saya juga berantakan pada waktu itu. Banyak hal belum dibaca dan ditulis. Pembimbing saya juga tampak tidak puas pada kinerja penulisan disertasi saya.

Beragam masalah datang menimpa saya. Semua rencana gagal. Penderitaan datang mencekam jiwa. Namun, saat itu, saya harus kuat, karena harus kembali ke Indonesia untuk menemani keluarga.

Setelah beberapa minggu yang menyakitkan di Indonesia, saya harus kembali ke Jerman. Beragam buku dan disertasi sudah menunggu. Namun, depresi saya semakin kuat. Penderitaan yang amat besar menghantam saya selama berbulan-bulan.

Saya mencoba mencari jalan keluar. Saya berdoa. Saya mengunjungi pemuka agama saya pada waktu itu. Saya juga berbicara dengan profesional.

Namun, tak ada jalan keluar. Saya tak menemukan jalan keluar dari depresi dan penderitaan berat yang saya rasakan. Ini terjadi selama kurang lebih 6 bulan. Jujur, saya tidak mandi pada waktu itu, dan membiarkan rambut serta jenggot saya bertumbuh. Saya sudah seperti orang dari hutan.

Puncaknya adalah ketika saya berniat bunuh diri. Kota Munich di Jerman memiliki kereta bawah tanah yang baik. Saya berniat melompat, guna mengakhiri penderitaan saya yang tanpa jalan keluar ini. Ketika hendak melompat, saya terdiam. Saya harus menemukan jalan keluar.

Pada titik inilah saya berkenalan secara mendalam dengan ajaran Buddha, terutama Zen Buddhis yang memang tersebar sangat luas di Jerman. Saya memasuki Zen melalui Anthony de Mello SJ, seorang pastur Katolik yang amat fasih berbicara soal pemikiran Timur, termasuk Buddhisme dan Hinduisme. Saya pun mulai membaca beragam buku soal Zen, dan bergabung dengan komunitas meditasi Zen di Munich, Jerman.

Saya terlibat dalam dua aliran Zen, yakni Rinzai Zen dari Jepang, dan Seon Buddhis dari Korea Selatan. Saya mengikuti retret dan meditasi rutin yang diselenggarakan para Zen Master di Jerman dan Hongaria. Banyak sekali pemahaman dan kebijaksanaan yang saya dapatkan. Hidup saya berubah.

Isi buku ini merupakan perjalanan saya sejak saat itu. Saya berhasil menemukan jalan keluar dari penderitaan yang saya rasakan. Tentu saja, penderitaan tidak langsung hilang. Namun, saya paham akar penderitaan saya, dan punya cara untuk mengelolanya, ketika ia datang berkunjung.

Saya merasa, jalan Zen Buddhis akan bisa membantu banyak orang yang menderita. Mereka bisa juga memahami akar penderitaannya, dan keluar darinya, setelah menekuni jalan Zen. Yang terpenting, saya mendedikasikan buku ini untuk ibu dan keluarga saya yang juga bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang berat. Juga, saya berharap para pembaca buku ini bisa menemukan jalan yang cocok untuk kehidupan mereka, supaya bisa keluar dari penderitaan, dan memahami jati diri mereka yang sebenarnya.

 

 

 

 

Percakapan Zen

Zen dalam Bencana

Image may be NSFW.
Clik here to view.
British Journal of Photography

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Praktisi Zen

Hidup manusia memang dipenuhi bencana. Penderitaan kerap kali mengikuti, setelah bencana terjadi. Bencana yang menimpa Lombok dan Bali jelas merupakan hal menyedihkan yang menciptakan banyak penderitaan. Bagaimana kita memahami semua ini?

Pemikir asal Jerman, Viktor Frankl, berpendapat, bahwa segala bentuk penderitaan bisa dijalani, jika orang memiliki makna dalam hidupnya. Makna ini bisa berupa keluarga, nilai-nilai kehidupan atau Tuhan. Namun, bencana yang begitu menyakitkan kerap kali membunuh semua makna yang ada. Orang justru jatuh ke dalam rasa putus asa.

Dari kaca mata semesta, sebenarnya tidak ada bencana. Manusia yang menamai sebuah peristiwa sebagai “bencana’. Di mata semesta, yang ada hanyalah perubahan dari saat ke saat. Dengan memahami ini, kita sebenarnya sudah bisa mengurangi penderitaan yang ada, ketika bencana tiba.

Jantung Hati Zen

Zen bergerak lebih jauh. Inti utama Zen adalah memahami jati diri kita yang asli. Jati diri ini terletak sebelum segala pikiran dan emosi. Ia adalah kesadaran diri (self-awareness) yang menjadi dasar bagi segala pikiran maupun emosi yang datang dan pergi.

Jalan paling cepat untuk sampai pada kesadaran diri ini adalah penyelidikan diri (self-enquiry), yakni dengan bertanya terus menerus “siapa saya?” (who am I?) Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan menggunakan pikiran, misalnya dengan mengacu pada nama atau beragam identitas sosial lainnya. Pertanyaan itu sendiri adalah jawabannya. Ia menunjuk langsung ke jati diri kita yang sebenarnya.

Jati diri kita yang sejati, sebenarnya, tidak mempunyai nama. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Buddha Nature. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Atman. Namun, sejatinya, ia tidak punya nama, karena ia berada sebelum pikiran dan konsep.

Zen dalam Bencana

Ketika orang mengenali diri sejatinya, ia menjadi jernih. Ia lalu bisa melihat keadaan sebagaimana adanya (correct situation). Ketika kebahagiaan datang, ia sekedar bahagia. Ketika penderitaan dan bencana datang, ia pun sekedar menderita.

Kemampuan memahami keadaan juga bisa terus dikembangkan dengan hidup berkesadaran dari saat ke saat (mindful living). Ketika makan, arahkan perhatian sepenuhnya pada tindakan makan. Ketika berjalan, arahkan perhatian sepenuhnya ke tindak berjalan. Semua hal dilakukan dengan kepenuhan hati dari saat ke saat.

Namun, Zen tak berhenti disitu. Langkah kedua adalah melihat hubungan dengan keadaan yang terjadi (correct relation). Misalnya, dalam keadaan bencana, apa peran yang bisa kujalani? Apa yang bisa kulakukan pada detik ini, sehingga bisa mengurangi penderitaan yang ada?

Langkah ketiga adalah melakukan apa yang diperlukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Inilah yang disebut sebagai fungsi yang tepat (correct function) di dalam Zen. Mungkin, kita tak bisa menghentikan atau mencegah bencana. Namun, kita selalu punya kekuatan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik bagi mereka yang menderita, walaupun itu kecil. Tingkat pencerahan tertinggi di dalam tradisi Zen adalah kejernihan berpikir untuk menolong semua mahluk hidup dari saat ke saat.

Pada akhirnya, di dalam hidup, kita tidak bisa mengontrol semua hal. Sebagian besar peristiwa terjadi di luar kuasa kita, misalnya bencana alam atau menderita ketidakadilan besar. Namun, kita selalu punya kekuatan untuk menolong sekitar kita, sesuai dengan kemampuan yang kita punya. Tindak menolong ini didasarkan pada kejernihan pikiran, dan bukan ego yang penuh ambisi. Inilah yang perlu kita lakukan dari saat ke saat.

 

 

 

 

 

 

 


Zen dalam Percakapan

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Thomas Michel Contemporary Art

Oleh Reza A.A Wattimena

Praktisi Zen, Tinggal di Jakarta

Tulisan ini berawal dari percakapan dengan seorang teman. Sebagai anak dari keluarga pengusaha, ia sebenarnya cukup beruntung. Ia bisa mendapatkan penghidupan yang layak, dan pendidikan yang bermutu tinggi. Setelah itu, ia pun diharapkan bisa melanjutkan dan mengembangkan usaha keluarga.

Sejak kecil, ia dididik untuk menjadi pekerja keras. Keluarganya berharap, supaya ia bisa menjadi fondasi keluarga, ketika orang tuanya tidak lagi mampu mengelola bisnis. Maka dari itu, ia pun diajar untuk menjadi manusia yang memiliki ambisi besar. Nilai-nilai persaingan, kerja keras dan fokus adalah nilai-nilai yang telah ia terima, sejak kecil.

Ambisi

Jika kita jeli, hal serupa banyak terjadi di sekitar kita. Cita-cita keluarga dipaksakan menjadi cita-cita pribadi. Hidup menjadi penuh ambisi, yakni tujuan yang amat sangat diharapkan menjadi kenyataan. Ambisi ini tidak hanya terjadi pada hal-hal soal harta dan nama besar, tetapi juga dalam soal spiritual.

Ada keluarga yang ingin anaknya menjadi orang kaya dan terkenal. Inilah yang terjadi pada teman saya di atas. Disini, uang dan harta menjadi ukuran bagi keluhuran manusia. Seperti kata Herbert Marcuse, seorang pemikir Jerman, manusia hanya diukur dari satu dimensi saja, yakni dimensi harta dan kepemilikan semata.

Sebagian keluarga lainnya ingin anaknya menjadi manusia yang luhur di hadapan Tuhan. Inilah yang saya sebut sebagai ambisi spiritual. Segala upaya dilakukan, supaya sang anak menjadi suci di dalam satu tradisi agama tertentu. Segala pernak pernik keagamaan, mulai dari baju sampai cara bicara, pun disesuaikan demi ambisi spiritual tersebut.

Pikiran yang Mencengkeram

Apapun bentuknya, ambisi adalah sumber penderitaan. Di dalam Zen, ambisi adalah sebentuk pikiran yang mencengkeram (grasping mind). Orang menginginkan sesuatu secara berlebihan. Ada paradoks disini.

Ketika ambisi menjadi kenyataan, orang tetap tidak puas. Ini terjadi, karena memang hal-hal yang ada di luar diri, seperti harta dan kuasa, tidak akan pernah bisa memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia. Setelah ambisi terwujud, orang justru bingung, mengapa ia belum juga merasa puas dan bahagia. Inilah ciri mendasar dari “pikiran yang mencengkeram” tersebut.

Sebaliknya, ketika ambisi tak juga menjadi nyata, derita pasti menyapa. Ambisi mengikat orang, sehingga ia tak bisa lepas darinya. Jika ikatan tersebut tak diikuti, orang pun merasa tercekik. Di dalam tradisi filsafat Asia, ambisi adalah sebentuk kelekatan (attachment) yang menjadi sumber dari penderitaan.

Ini semua terjadi, karena orang tak paham tentang dunia. Orang mengira, dengan ambisinya, ia bisa menggenggam dunia. Orang juga berpikir, dengan terus mengasah kemampuannya, dan mencapai ambisinya, ia lalu bisa merasa bahagia. Sayangnya, begitu banyak orang yang terjebak pada salah paham semacam ini.

Dunia adalah Perubahan

Seluruh ajaran filsafat Asia menegaskan, bahwa dunia adalah perubahan. Ini berarti, tidak ada yang disebut dunia, karena dunia mengandaikan adanya sesuatu yang tetap. Perubahan itu seperti gelombang yang terus bergerak. Ia tidak menyisakan bentuk apapun.

Ini bertentangan dengan pandangan banyak orang. Mereka mengira, dunia ini ada, namun ia terus berubah. Pandangan ini kurang tepat. Ia masih mengandaikan adanya sebuah dunia yang, kemudian, berubah.

Jika dunia dilihat sebagai perubahan terus menerus, maka tidak ada yang tetap. Tidak yang disebut manusia. Tidak ada yang disebut hewan ataupun tumbuhan. Tidak ada yang disebut benda. Bahkan, tidak ada yang disebut sebagai “aku”, karena segalanya adalah perubahan terus menerus yang mengalir bagaikan gelombang.

Jika segalanya adalah gelombang perubahan, apa yang bisa kita pegang? Jika segalanya adalah perubahan tanpa henti, apa yang bisa kita raih? Penderitaan muncul, ketika kita mencoba untuk mengenggam apa yang tak bisa digenggam. Ambisi berarti mencoba mencengkeram gelombang. Itu tidak akan mungkin dilakukan, dan justru menghantar kita pada penderitaan.

Ingatlah apa yang dikatakan oleh Herakleitos, pemikir Yunani kuno, lebih dari dua ribu tahun yang lalu: pantha rei. Segalanya mengalir. Karir, uang, harta, nama besar dan kuasa tak akan pernah bisa digenggam, karena semuanya mengalir. Cinta dan hubungan juga tidak akan pernah bisa digenggam, karena semuanya adalah perubahan.

Saat Ini

Dengan menyadari arti sesungguhnya dari dunia dan kehidupan ini, kita lalu secara alami melepas segalanya. Ambisi padam. Pikiran yang mencengkeram pun secara alami lenyap. Yang tersisa hanya sepercik kehidupan dan kesunyian yang mengantarkan kita pada kedamaian.

Kita berhenti untuk mengontrol masa depan. Kita berhenti untuk terobsesi pada masa lalu. Ingatlah bahwa segalanya adalah perubahan. Segalanya mengalir dari saat ke saat, tanpa menyisakan satu bentuk apapun yang bersifat tetap. Tidak ada yang bisa dipegang, apalagi dicengkeram.

Kita pun secara alami kembali ke saat ini. Apa yang sedang anda lakukan? Lakukan sepenuh hati. Just do it!

Waktunya makan, sepenuhnya makan. Waktunya berjalan, sepenuhnya berjalan. Waktunya sakit, sepenuhnya sakit. Semuanya mengalir dari saat ke saat. Just do it!

            Kesadaran akan saat ini (now awareness) itulah yang mesti dikenali, dan dipertahankan dari saat ke saat (recognizing and maintaining awareness). Jika gagal, kembali lagi ke saat ini, dan lakukan lagi. Inilah inti terdalam dari Zen. Inilah inti dari pencerahan dan pembebasan yang sesungguhnya.

Tentu saja, saya tidak menerangkan hal ini ke teman saya. Ia belum siap. Ambisi atas harta dan nama besar masih memenjara pikirannya. Mungkin nanti, setelah ia ditabrak ratusan kegagalan, baru ia sadar, bahwa ambisi dan upayanya mencengkeram dunia adalah sesuatu yang sia-sia.

Teman saya mungkin belum siap. Ya sudah. Yang lebih penting adalah, apakah anda sudah siap?

 

 

 

 

Menyiasati Trauma dan Kebencian

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Saatchi Art

Oleh Reza A.A Wattimena

Dylan Roof membunuh sembilan orang di sebuah gereja di South Carolina, Amerika Serikat. Alasannya adalah karena ia membenci orang-orang kulit hitam. Robert Bowers, menurut dugaan, membunuh sebelas orang Yahudi yang sedang berdoa di Pittsburg, karena ia membenci orang Yahudi. Cesar Sayoc juga diduga mengirim belasan bom ke kantor-kantor Partai Demokrat AS dan kantor berita CNN, karena ia juga membenci mereka.

Di Indonesia, kita pun tak luput dari serangan mematikan yang berpijak pada kebencian semacam ini. Kota-kota besar Indonesia sudah kenyang dengan tragedi pembunuhan massal berdarah. Pertanyaan yang mendesak untuk dijawab adalah, apa akar dari semua kebencian ini? Pemikiran Gabor Mate, sebagaimana diulas oleh Abraham Gutman, kiranya bisa membantu kita. (Gutman, 2018)

Gabor Mate adalah seorang dokter kelahiran Hongaria, namun dibesarkan di Kanada. Ia sudah lama bertekun untuk memahami akar dari kecanduan. Salah satu hasil penelitiannya adalah, bahwa kecanduan mendorong orang untuk menemukan pelepasan dalam berbagai bentuk, mulai dari heroin sampai dengan kebencian. Akar dari kecanduan, menurutnya, adalah upaya untuk menutupi trauma berat yang pernah dialami.

Kecanduan dan Kebencian

Apa itu kecanduan? Kecanduan adalah perilaku manusia yang tak bisa dihentikan secara sadar, karena ia memberikan kenikmatan, walaupun dengan dampak-dampak yang merusak. Seorang pecandu heroin menemukan kehangatan dan kenikmatan dari penderitaan yang ia alami, ketika ia menggunakan heroin. Seorang pecandu rokok menemukan kehangatan, ketika ia merokok, walaupun ia tahu, bahwa rokok itu merusak kesehatan.

Lalu, bagaimana hubungan antara kecanduan di satu sisi, dan kebencian di sisi lain? Mate menjawab, keduanya terhubungan melalui trauma. Tidak ada pembunuh massal yang tidak mengalami trauma berat di dalam hidupnya. Mereka menemukan pelepasan tidak melalui narkoba, melainkan dari kebencian yang mereka genggam erat-erat.

Kebencian yang dirasakan berakar begitu dalam, karena penderitaan yang mereka alami di masa-masa hidupnya. Kebencian itu lalu  diarahkan ke orang lain. Suasana masyarakat juga memberikan dukungan terhadap kebencian itu, ketika satu kelompok dijadikan kambing hitam untuk semua masalah yang ada. Ini seperti menuangkan bensin ke dalam api kebencian yang telah terbakar lama, karena trauma berat.

Bagaimana mengelola kebencian? Kebencian tidak bisa ditolak. Kita tidak bisa “membenci” kebencian itu sendiri. Paradoksnya adalah, semakin kebencian itu ditolak, semakin ia bertambah besar.

Kebencian dan Trauma

Orang membenci, karena ia sebelumnya dibenci. Orang menyakiti, karena ia telah disakiti sebelumnya. Akar dari kebencian adalah trauma. Dalam arti ini, trauma adalah jejak dari peristiwa masa lalu yang belum lenyap, sehingga membekas, dan mempengaruhi sikap orang di masa kini. Trauma akan kekerasan akan mendorong orang menjadi pelaku kekerasan.

Trauma juga mesti ditempatkan pada bingkai peristiwa yang lebih besar. Keadaan sosial politik dan ekonomi sebuah masyarakat juga memiliki pengaruh besar di dalam kehidupan orang. Masyarakat yang terjebak pada kesenjangan sosial ekonomi yang besar, seperti di Indonesia, akan menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian.

Kebencian inilah yang lalu mendorong tindak kekerasan. Pada tingkat kecil, banyak keluarga terpecah, karena kekerasan di dalamnya. Kecanduan narkoba, dan berbagai bentuk kecanduan lainnya, juga akan meningkat. Pada tingkat yang lebih luas, konflik dan pembunuhan massal akan menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba” kehidupan. Karena trauma yang dialaminya, orang mungkin tak jatuh ke dalam heroin, atau rokok. Setiap orang punya kecenderungan yang berbeda di dalam mengelola trauma yang ia punya. Bagi sebagian orang, kebencian adalah narkoba yang menghangatkan.

Walaupun begitu, apapun bentuknya, pengalihan dari trauma tak akan pernah bisa berjalan selamanya. Pada satu titik, penderitaan tetap menyelinap masuk, bahkan dengan intensitas yang lebih besar. Kebencian, dan segala bentuk narkoba trauma lainnya, bersifat sangat sementara, bahkan menciptakan kecanduan dan penderitaan yang lebih besar. Jalan lain mesti ditemukan.

Berada Bersama Trauma

Jika trauma adalah akar dari kebecian, dan kebencian adalah akar dari konflik serta pembunuhan massal, maka kita harus belajar untuk memahami dan mengelola trauma yang ada. Rasa sakit yang dialami akibat trauma tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika diabaikan, ia akan mempengaruhi perilaku hidup sehari-hari. Hubungan antar manusia, sekaligus mutu kehidupan secara keseluruhan, pun juga akan terpengaruh.

Dari sudut pandang Zen, dan di banyak pendekatan filsafat Asia lainnya, trauma hanya bisa dihadapi dengan kesadaran penuh. Disinilah arti penting „berada bersama trauma“, yakni dengan melihatnya sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan itu sendiri. Di titik ini, tidak ada penolakan terhadap trauma.

Dengan „berada bersama trauma“, orang mengakui, bahwa hidup tak sepenuhnya bahagia, tetapi juga tak sepenuhnya penuh derita. Seorang guru berkata, jika derita itu abadi, maka itu pasti ilusi. Sebaliknya pun juga betul. Jika bahagia itu abadi, maka itu pasti juga hanya ilusi.

„Berada bersama trauma“ berarti orang tak hanyut di dalamnya, sekaligus tidak menolaknya sebagai musuh. Sikap ini menghasilkan ketenangan batin, sekaligus kejernihan. Keduanya amatlah penting di dalam memahami dan mengelola trauma. Dengan sikap ini, trauma pun tidak berbuah menjadi sebentuk kecanduan atau kebencian yang merusak.

Menyiasati trauma dan kebencian berarti menempatkan keduanya dalam bingkai kompleksitas kehidupan yang tiada tara. Dalam hal ini, orang perlu untuk belajar menghargai dan menghormati kompleksitas itu sendiri. Hidup bukanlah untuk dikontrol sesuai keinginan, tetapi dijalani dengan kepekaan penuh terhadap segala kompleksitas yang ada. Di dalam kompleksitas itu, kebencian berpelukan dengan cinta, serta kejahatan berpelukan dengan kebaikan.

Zen adalah hidup dengan kejernihan di tengah semua kompleksitas yang ada. Awalnya, kesulitan pun akan datang menerpa. Jika kita berteguh, buah-buah kejernihan dan kedamaian akan kita petik. Walaupun, masalah dan berkah datang silih berganti.

 

Berdamai dengan Diri Sendiri

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Etsy

Oleh Reza A.A Wattimena

Kita hidup di era teknologi canggih. Komunikasi, transportasi dan hidup sehari-hari menjadi begitu mudah dan murah. Bahkan, manusia kini mulai mencari jalan untuk menciptakan kehidupan dengan teknologi yang ada. Tak berlebihan jika dikatakan, dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada, manusia kini menjadi „tuhan“ atas bumi.

Sayangnya, semua kemajuan itu tidak sejalan dengan kemajuan kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, manusia tidak lebih bahagia, walaupun hidup di dunia yang penuh dengan kemudahan. Sebaliknya, berbagai penelitian menunjukkan, tingkat depresi dan bunuh diri justru meningkat di abad 21 ini. Pertanyaannya, apa guna semua kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, jika manusia justru semakin menderita?

Depresi dan Bunuh Diri

Beberapa data ini mungkin bisa memberikan gambaran. Menurut data yang dikumpulkan WHO, World Health Organization, saat ini, ada lebih dari 300 juta orang yang tercatat mengalami depresi di seluruh dunia. Gejala utama depresi adalah suasana hati yang turun naik secara ektrem dalam jangka waktu lebih dari dua bulan, sehingga menganggu hidup sehari-hari. Pada bentuknya yang paling parah, depresi mendorong orang untuk bunuh diri.

Walaupun ada terapi untuk depresi, tapi orang seringkali tak menyadari, bahwa mereka menderita depresi. Walaupun sadar, hanya sedikit yang berusaha mencari pengobatan. Ini membuat depresi menjadi semacam pembunuh senyap (silent killer). Ia tak terdengar, namun membunuh banyak orang, serta membuat penderitaan yang amat besar bagi orang yang mengalaminya.

Bunuh diri pun juga meningkat secara global di awal abad 21 ini. Menurut data WHO, ada kurang lebih satu juta orang yang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Artinya, setiap empat puluh detik, ada 40 orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Gejala ini belum menunjukkan penurunan sama sekali.

Selama 45 tahun terakhir, tingkat bunuh diri sudah meningkat 60 persen di seluruh dunia. Bahkan, bunuh diri kini menjadi salah satu satu tiga penyebab utama kematian dari orang-orang yang berumur 15 sampai 44 tahun. Lebih dari 90 persen para pelaku bunuh diri disebabkan oleh depresi berkepanjangan. Yang lebih menyedihkan, banyak orang berusia muda kini melakukan bunuh diri, dan percobaan bunuh diri.

Konflik dengan Diri Sendiri

Akar dari penderitaan adalah konflik dengan diri sendiri. Orang tak menemukan kedamaian. Walaupun, ia dikelilingi berbagai kenikmatan yang bisa diberikan oleh teknologi dan ilmu pengetahuan. Ia terus menolak dan bermusuhan dengan emosi dan pikiran yang muncul, terutama yang menyakitkan. Padahal, semakin kita membenci emosi dan pikiran yang menyakitkan, maka penderitaan yang kita rasakan justru menjadi semakin besar.

Konflik dengan diri sendiri dapat dipahami dalam tiga hal. Pertama, orang tak memahami hakekat dari pikiran dan emosi yang ia miliki. Ia mengira, bahwa pikiran dan emosi adalah sesuatu yang nyata dan benar. Akibatnya, ia mencengkram semua pikiran dan emosi yang datang, lalu hanyut di dalamnya.

Dua, karena orang tak paham akan emosi dan pikiran yang ia punya, ia pun tak mampu mengelolanya dengan tepat. Ketika marah dan sedih, ia akan sangat menderita. Ketika bersuka dan berbahagia, kecemasan pun membayangi, karena ia sadar, ini pun hanya sementara. Ketika orang tak mampu mengelola emosi dan pikiran yang ia punya, konflik dengan orang lain pun tak terhindarkan.

Tiga, semua ini menggiring orang untuk hanyut pada emosi dan pikiran, tanpa henti. Hidup semacam ini melelahkan, bagaikan naik kereta naik turun setiap saat. Inilah persis yang menjadi jantung hati dari depresi dan dorongan untuk bunuh diri. Kenikmatan apapun tidak akan bisa memberikan jalan keluar, selain hanya pengalihan yang bersifat sementara, namun membawa derita lebih besar di saat berikutnya.

Berdamai dengan Diri Sendiri

Jalan keluar dari semua ini sebenarnya sederhana, yakni berdamai dengan diri sendiri. Di dalam diri kita, ada beragam emosi dan pikiran yang menumpuk. Memang, sejatinya, mereka semua kosong, karena hanya berupa bayangan-bayangan sementara. Namun, kerap kali, kita lupa hal ini. Kita mengira, itu semua adalah nyata, lalu menggenggamnya erat-erat.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan disini. Pertama, apapun bentuk emosi dan pikiran yang muncul, cukuplah diamati dan disadari. Semakin kuat dan menyakitkan emosi dan pikiran yang datang, semakin itu merupakan kesempatan yang baik untuk semakin mengamati dan menyadari. Dengan cara ini, secara perlahan namun pasti, penderitaan yang muncul dari pikiran dan emosi akan lenyap.

Dua, tujuan dari proses ini adalah membangun hubungan yang baik dengan diri kita sendiri, termasuk emosi dan pikiran yang datang dan pergi. Artinya, kita belajar untuk mencintai keseluruhan diri kita sendiri. Dari proses ini lahirlah kejernihan dan kedamaian. Ketika kita bisa menjalin hubungan baik dengan diri sendiri, termasuk dengan semua emosi dan pikiran yang muncul, maka kita dengan mudah menjalin hubungan yang baik dengan orang dan mahluk lain.

Tiga, awalnya, proses ini terasa sulit. Namun, jika terus dilakukan, buahnya akan langsung terasa. Berbagai emosi dan pikiran muncul, namun itu semua cukup disadari dan diamati dengan penuh cinta. Kejernihan dan kedamaian yang dirindukan pun bisa mulai terasa.

Proses ini membawa kita untuk mengenali sisi terdalam dari diri kita yang sebenarnya. Sisi ini hanya punya satu rasa, yakni rasa cinta/damai yang begitu dalam. Dengan mengenali unsur terdalam diri kita ini, kita bisa memeluk apapun yang datang dan terjadi dengan penuh kedamaian. Dititik inilah kita sungguh berdamai dengan diri kita sendiri.

 

 

 

Pengakuan Seorang Marxis-Zennist

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Ricardo Levins Morales

Oleh Reza A.A Wattimena

Di dalam filsafat, Marxisme adalah cinta pertama saya. Saya masih ingat buku tulisan Franz Magnis-Suseno yang berjudul Pemikiran Karl Marx. Seingat saya, buku itu terbit pada 1999. Itu merupakan salah satu buku filsafat pertama yang saya baca sampai selesai.

Sewaktu itu, saya masih di bangku SMA. Saya masih ingat perasaan saya waktu itu. Pikiran begitu tercerahkan. Dada begitu berkobar oleh semangat untuk membuat perubahan. Sejak itu, saya menjadi seorang Marxis.

Jalan Filsafat

Sejak kecil, saya tertarik pada tiga hal, yakni musik, olahraga basket dan komputer. Persentuhan saya dengan filsafat mengubah semua itu. Saya memutuskan, bahwa musik, basket dan komputer bisa dipelajari sendiri. Namun, untuk belajar filsafat, orang butuh guru. Dan guru terbaik, pada saat itu, adalah Franz Magnis-Suseno yang mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Setelah berbicara dengan keluarga, saya memutuskan untuk belajar filsafat secara total. Di STF Driyarkara, saya berulang kali mengalami “ejakulasi intelektual”. Saya begitu banyak mendapat pencerahan dari para pengajar yang amat brilian, kritis dan rendah hati (F. Budi Hardiman, Karlina Supelli, Mudji Sutrisno, B. Herry Priyono, Franz Magnis-Suseno). Saya tidak hanya mendalami pemikiran Marx, tetapi juga para pendahulu (Kant, Hegel) sekaligus para penerus Marx (Lukacs, Gramsci, Habermas, Adorno).

Saya percaya, perkawinan antara teori dan laku politik akan mendorong perubahan sosial di dalam kehidupan. Namun, dalam perjalanan, saya selalu merasa kurang. Ada kehampaan batin yang terus datang di tengah pergulatan teoritis dan laku politik. Ini semua bermuara pada depresi amat berat yang saya alami, ketika sedang belajar di Jerman.

Di hadapan derita batin yang amat kuat, semua teori runtuh. Bahkan, hiburan-hiburan batin filosofis ala filsafat Stoa, Arthur Schopenhauer, Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger tidak juga membantu. Saya mengalami pembalikan yang tak terduga, baik di tingkat pemikiran dan terutama di tingkat spiritual. Saya menemukan Zen di Jerman.

Kebetulan, pada 2014 lalu, Kota Muenchen, Jerman sedang mengalami jatuh cinta dengan Buddhisme. Begitu banyak tempat dan komunitas meditasi. Kebetulan juga, salah satu profesor fisika di tempat saya belajar adalah seorang master Zen dari tradisi Rinzai Zen Jepang (namanya Stefan Bauberger). Saya langsung menghubungi dia, dan belajar darinya.

Jika ada yang tanya, dimana saya belajar Zen, saya langsung menjawab: Jerman. Itu tentu jawaban aneh. Jerman adalah rumah bagi teknologi dan filsafat (terutama pemikiran Marxis, Fenomenologi, Idealisme Jerman dan sebagainya). Lalu, mengapa ada Zen disana? Hidup memang lucu terkadang.

Cinta Pertama Saya: Marxisme

Pada Januari 2019 ini, saya mengikuti seminar dua hari tentang Marx di Goethe Institut, Jakarta. Saya berjumpa dengan Daniel Loick, seorang pemikir kiri sejati, amat cerdas, dan sangat rendah hati, yang memberikan materi tentang Marx (terima kasih banyak Goethe Institut Jakarta). Dua hari berdiskusi dengannya, saya teringat cinta pertama saya, yakni Marxisme. Rasa kangen pun muncul di dada.

Marx, bagi saya, adalah seorang ilmuwan revolusioner dengan jiwa romantis. Ia memimpikan dunia yang terdiri dari orang-orang yang bebas, setara dan bersahabat satu sama lain. Ini mirip dengan cita-cita Revolusi Prancis, yakni kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan. Marx memimpikan dunia tanpa penindasan, tanpa kemiskinan.

Bagi Marx, akar kemiskinan adalah kehadiran sistem ekonomi kapitalisme yang akhirnya mempengaruhi politik dan budaya masyarakat Eropa pada masa itu. Kapitalisme memisahkan masyarakat ke dalam dua kelas yang saling bertentangan, yakni kelas pemilik modal (borjuasi) dan kelas pekerja (proletariat). Di permukaan, kedua kelas ini saling membutuhkan. Di kedalaman, kedua kelas ini saling bermusuhan, dan, dalam jangka panjang, akan saling meniadakan.

Cita-cita terdalam Marx adalah masyarakat tanpa kelas. Ini akan terjadi, setelah kelas pekerja bersatu, dan menghancurkan kelas pemilik modal melalui revolusi. Alat-alat produksi pun dikuasai bersama, dan tidak lagi dimiliki secara pribadi oleh para pemilik modal. Bagi Marx, ini akan merupakan kepastian sejarah, karena pertentangan kepentingan yang begitu dalam antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal.

Para pemikir Neo-Marxis banyak melakukan penambahan ataupun pengurangan terhadap pemikiran Marx. Saya tidak akan membahas itu disini. Ada dua hal penting yang kiranya bisa kita ambil dari Marx.

Yang pertama adalah semangat melakukan perubahan sosial untuk mewujudkan dunia yang lebih adil, daripada yang kita tempati sekarang ini. Yang kedua adalah bahasa dan konsep yang tetap bisa digunakan untuk memahami ketidakadilan yang terjadi(konsep alienasi, teori nilai lebih, basis-bangunan atas), baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan. Di abad 21 yang semakin kompleks ini, pemikiran Marx, dan Neo-Marxis, tetap hidup, dan justru semakin relevan.

Sebelum Revolusi: Zen

Pemikiran Marx memang amat revolusioner. Marx sendiri memang bermaksud untuk merumuskan dasar teoritis yang kokoh bagi laku revolusi yang mengubah seluruh sistem kapitalisme sampai ke dasarnya. Namun, dibandingkan dengan jalan Zen, revolusi Marx masih kurang radikal. Sampai saat ini, saya merasa, jalan Zen adalah jalan paling radikal dan paling revolusioner yang pernah ada.

Ada tiga hal yang menjadi alasan saya. Pertama, revolusi Zen adalah revolusi pemahaman tentang diri sendiri. Ini seperti membalikan semua pemahaman yang telah ada sebelumnya. Ketika orang menekuni jalan Zen secara tekun, perubahan terasa di berbagai unsur kehidupan, baik itu pikiran, hubungan dengan orang lain, cara bertindak, cara merasa bahkan sampai struktur biologis tubuh.

Dua, revolusi Zen akan mengusir segala bentuk penderitaan borjuasi. Penderitaan borjuasi muncul, karena orang terpaku pada kepentingan dirinya semata. Ia rakus, dan mau supaya dunia bekerja sesuai dengan kehendaknya. Penderitaan borjuasi adalah penderitaan sempit yang konyol dan memalukan. Ia dengan mudah bisa dilihat dari lahirnya generasi galau yang kesulitan hidupnya hanya soal patah hati, ataupun tak bisa membeli ponsel canggih keluaran terbaru.

Tiga, jalan tertinggi Zen adalah jalan Bodhisattva. Ini adalah jalan orang yang sudah memahami jati diri asalinya, dan kemudian hidup untuk kepentingan semua mahluk. Jalan ini jauh lebih radikal dari jalan revolusioner Marxis. Kepentingan diri, yang diselubungi kepentingan kelas pekerja, masih amat kuat di Marx. Pemikirannya juga masih hanya melihat manusia sebagai pusat alam semesta, dan mengabaikan bentuk-bentuk kehidupan lainnya.

Seorang Marxis-Zennist

Pada titik terdalam, jalan Marx dan jalan Zen adalah satu dan sama. Marx ingin mewujudkan dunia tanpa penindasan. Zen ingin mewujudkan dunia tanpa penderitaan. Jika disatukan, keduanya akan menjadi kekuatan perubahan yang amat besar.

Revolusi sosial politik, tanpa revolusi batin, akan bermuara pada tirani baru yang tak kalah mengerikannya. Sejarah sudah mengajarkan kita tentang hal ini. Uni Soviet mungkin adalah contoh paling baik. Sebuah sistem politik yang didirikan dengan ide luhur, namun dipelintir menjadi salah satu tiran politik paling mengerikan di dalam sejarah. Tidak ada Marxisme di dalam Uni Soviet. Itu yang harus dipahami.

Dengan revolusi batin di jalan Zen, kejernihan dan kebijaksanaan akan tumbuh secara alami. Revolusi sosial politik amat membutuhkan kejernihan dan kebijaksanaan semacam itu. Korban jiwa dan harta benda bisa sejauh mungkin dihindari. Sistem politik yang tercipta kemudian pun lalu didasari oleh kejernihan, dan bukan lagi oleh ambisi kekuasaan, seperti yang banyak terjadi sebelumnya.

Seminar bersama Daniel Loick di Goethe Institut Jakarta kemarin amat menyegarkan batin dan pikiran saya. Terima kasih atas semua pihak yang terlibat. Saya dikembalikan pada cinta pertama saya, namun dengan kaca mata baru yang lebih luas. Saya semakin revolusioner, sekaligus semakin jernih. Penderitaan tak hilang. Namun, penderitaan kini menjadi bermakna, karena memiliki kerangka yang lebih luhur dan luas,…. yakni kerangka Marxis-Zen.

 

 

 

 

Aku Ada,… Maka Aku Bosan….

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Oleh Reza A.A Wattimena

Descartes, pemikir Prancis, terkenal dengan pandangannya: Aku berpikir, maka aku ada. Sudah banyak penjelasan tentang pandangan itu. Banyak pula variasi diberikan terhadapnya. Saya hanya ingin menambah satu, yakni aku ada, maka aku bosan.

Mengapa bosan? Ya, ini salah satu penyakit lama saya. Saya gampang sekali merasa bosan. Ketika sibuk, saya bosan dengan kesibukan. Ketika tak ada pekerjaan, saya juga bosan.

Ternyata, saya tak sendirian dalam hal ini. Beberapa teman menceritakan hal yang sama. Yang juga menarik, kebosanan adalah penyakit lintas usia, dan bahkan lintas kelas sosial.

Ada yang bosan dengan kemiskinan. Sudah sejak kecil, seorang teman hidup serba pas-pasan. Ia ingin hidup makmur, seperti orang-orang di mall mewah. Ia merasa iri setiap kali melihat mereka.

Ada pula yang bosan dengan kekayaan. Mereka beruntung, karena lahir dari keluarga kaya raya. Cukup dengan bunga deposito, mereka bisa hidup, tanpa harus bekerja. Ironisnya, mereka juga dilanda kebosanan: bosan karena sudah kaya.

Saya ingin mengajukan pandangan sederhana. Bosan terjadi, karena ego menguat, yakni identitas “saya”. Di dalam ego terkandung ingatan, trauma dan harapan yang mengotori kejernihan saat ini. Akibatnya, orang tak mampu secara segar melihat saat ini. Ia pun merasa bosan.

Filsafat Kebosanan

Di dalam filsafat, kebosanan adalah tema yang cukup menarik perhatian. Bahkan, bagi beberapa pemikir, kebosanan adalah sumber kreativitas. Ketika rutinitas menikam tajam, pikiran lalu terbang ke berbagai arah. Disitulah kerap ditemukan ide-ide baru yang sebelumnya tak terpikirkan.

Namun, secara umum, kebosanan adalah musuh kehidupan. Orang ingin menghindarinya. Bahkan, tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kebosanan adalah kematian yang menyelinap di sela-sela kehidupan. Orang seperti mati, ketika ia merasa bosan. (Anthony, 2011)

Martin Doehlmann, pemikir Jerman, membedakan dua bentuk kebosanan. Yang pertama adalah kebosanan situasional. Ini kebosanan yang lahir dari rutinitas. Analoginya seperti cat yang semakin lama semakin mengering, dan kemudian mengelupas.

Yang kedua adalah kebosanan eksistensial. Ini adalah kecemasan yang dialami setiap orang, akibat ketidakpastian hidup. Ketidakpastian dari segalanya membuat hidup terasa hampa dan tak bermakna, apapun yang dilakukan. Kebosanan ini berakar jauh di dalam hati setiap orang.

Andrew Anthony, di dalam artikelnya, melukiskan kebosanan sebagai perasaan tercekik. Orang seperti terjebak dalam penjara yang mencekiknya. Perasaan depresif dan hampa datang menerjang. Ini kiranya juga sejalan dengan pemaparan dari Lars Svendsen, pemikir Norwegia, dalam bukunya A Philosophy of Boredom.

Bagi Svendsen, kebosanan adalah perasaan terjebak. Orang merasa terjebak pada satu keadaan yang tak ia inginkan. Tidak hanya itu, orang bisa juga merasa terjebak, justru karena dunia yang amat luas, yang tak memberikan tempat untuknya.

Dalam keadaan biasa, waktu seolah mengepung dan menyerap kita. Ia berlalu begitu saja. Namun, dalam keadaan bosan, kita yang berusaha membunuh waktu. Kita melakukan apapun, supaya ia cepat berlalu.

Bahkan, menurut Anthony, kebosanan juga bisa berujung pada ekstremisme. Orang-orang bosan merasa, bahwa hidup ini hampa. Semua nilai tampak sia-sia belaka. Untuk mencari kesenangan sesaat, mereka bergabung dengan kelompok radikal, dan bahkan menjadi pelaku terorisme.

Pandangan Svenden ini kiranya bisa memberikan sudut pandang yang cukup bijak. Untuk menjadi manusia dewasa, orang harus menerima keadaan, bahwa hidup tidak bisa terus menerus penuh dengan sensasi. Ada saatnya, dimana hidup terasa kering dan hampa. Ada saatnya, semua terasa jenuh dan amat membosankan. Ini bukan berarti, bahwa hidup tidak bermakna, dan tak layak dijalani.

Zen dan Kebosanan

Sebagai bagian dari filsafat Asia dan Buddhisme, Zen memiliki sudut pandang yang menarik soal kebosanan. Pertama, kebosanan berakar pada ingatan. Orang melakukan kegiatan yang sama, dan terjebak pada ingatannya, sehingga ia merasa bosan. Ingatan membuat semua terlihat sama dan berulang. Tak ada lagi kesegaran sudut pandang.

Dua, kebosanan juga memiliki akar budaya. Kita hidup di jaman, dimana segala sesuatu bisa begitu mudah dan cepat terpenuhi. Teknologi memungkinkan itu semua. Akibatnya, kita jadi generasi yang manja, yang gampang bosan, ketika semua kebutuhannya sudah begitu mudah dan cepat terpenuhi.

Tiga, kebosanan juga mendorong orang untuk melarikan diri dari saat ini. Orang tidak lagi hidup dalam kesadaran akan saat ini, karena diterjang oleh ingatan masa lalu, dan kerinduan untuk mencari kesenangan sesaat, tanpa henti. Pelariannya pun beragam, mulai dari gaya hidup konsumtif, penggunaan narkoba sampai dengan bergabung dengan kelompok radikal.

Apa kiranya yang bisa ditawarkan oleh Zen tentang kebosanan? Ada banyak paham soal Zen. Salah satu yang mendasar adalah hidup dengan menyadari dan mengamati apa yang terjadi saat ini, tanpa penilaian apapun. Ketika kebosanan datang, ia hanya perlu disadari dan diamati sebagaimana adanya. Jangan menambahkan apapun.

Bosan itu seperti cuaca. Ia datang dan pergi, tanpa bisa sungguh dikendalikan. Ia bukanlah kenyataan yang utuh dan tak berubah. Dengan kesadaran dan pengamatan tanpa penilaian, bosan pun bisa berlalu, tanpa terlalu banyak meninggalkan luka.

Ini tentunya perlu dilatih. “Berada bersama bosan” adalah seni hidup yang penting di abad 21 ini. Jernih di tengah kebosanan berarti, orang tahu betul, bahwa ia sedang mengalami kebosanan. Lalu, Ia pun bisa menentukan dengan sadar, apa yang sebaiknya dilakukan.

Melampaui “Aku”

Akar dari kebosanan adalah ingatan dan kerinduan akan sensasi. Keduanya berakar pada sesuatu yang lebih dalam, yakni ego, atau “aku”. Ketiga ego menguat, maka kebosanan, dan beragam bentuk penderitaan lainnya, juga ikut menguat. Bagaimana cara keluar dari cengkraman ego?

Seluruh penelitian ilmiah dan tradisi filsafat menyatakan, bahwa ego adalah ilusi. Ia datang dan pergi, tanpa kendali. Ia buatan masyarakat, dan kemudian dianggap sebagai nyata. Mengira ego adalah kenyataan, apalagi kebenaran, adalah kesesatan berpikir yang akan menciptakan banyak derita yang sia-sia.

Jalan keluar lain yang mungkin adalah hidup sebagai pemula. Dengan melihat dunia apa adanya, tanpa prasangka dan penilaian apapun, orang akan memasuki kejernihan. Ego pun lenyap pada saat itu juga. Ini kiranya sejalan dengan pandangan Zen Master Shunryu Suzuki, bahwa inti utama Zen adalah hidup dengan pikiran seorang pemula.

Lalu bagaimana dengan ingatan, dan dorongan untuk mencari sensasi? Bukankah keduanya bagian sekaligus kebutuhan hidup manusia? Keduanya tak baik dan tak buruk. Jika dikelola dengan kesadaran, keduanya akan menjadi alat yang baik untuk kehidupan. Jika dijalani dengan kelekatan, bahkan kecanduan, keduanya akan menjadi sumber derita tiada tara.

Sampai detik ini, saya terus sadar dan mengamati betul kebosanan yang terus muncul dalam diri. Terkadang, ia datang, dan membawa temannya, yakni rasa cemas. Lalu, ia pergi, nyaris tanpa jejak. Begitulah hidup. Yang jelas, semuanya baik-baik saja. Langit biru. Pohon hijau.

 

 

 

 

Viewing all 139 articles
Browse latest View live