Penerbit Karaniya
JL.Mangga I Blok F 15
Duri Kepa, Kebon Jeruk
Jakarta Barat 11510
Telepon: +6221 568 7957
WhatsApp: +62 813 1531 5699
Atau di Toko Buku Terdekat
Pengantar
Zen merupakan jalan untuk memahami jati diri kita yang sebenarnya. Seringkali, kita mengira, bahwa jati diri kita terkait dengan nama, agama, ras, suku bangsa dan pekerjaan. Padahal, itu semua berubah, dan tidak bisa dipahami sebagai jati diri sejati kita sebagai manusia. Di dalam jalan Zen, pertanyaan terkait dengan jati diri sejati ini dijawab tidak menggunakan nalar, melainkan dengan menggunakan pengalaman „sebelum pikiran“, atau pengalaman langsung manusia dengan kenyataan sebagaimana adanya.
Zen mengajak orang bertanya, siapa diri mereka sebenarnya. „Siapakah aku?“ „Siapa ini yang sedang bertanya?“ Ketika orang bisa menyentuh sumber dari segala pertanyaan dan pikiran yang muncul, ia sedang berjumpa dengan jati diri sejatinya. Pada titik ini, tidak ada penderitaan, dan tidak ada kebahagiaan. Yang ada hanyalah kedamaian sejati yang tidak bergantung pada hal-hal lainnya, seperti uang, kekuasaan, nama baik atau kenikmatan badani.
Jati diri sejati ini bisa dirasakan, ketika orang sepenuhnya hidup disini dan saat ini. Masa lalu sudah berlalu, sehingga tinggal ilusi. Masa depan belum terjadi, sehingga hanya merupakan bayangan. Sementara, masa kini pun terus bergerak. Dengan terus berpijak pada keadaan disini dan saat ini, orang lalu mencapai kejernihan pikiran, dan bisa bertindak tepat sesuai dengan keadaan di depan matanya.
Dengan berpijak pada keadaan disini dan saat ini, orang juga bisa menciptakan jarak dengan ingatannya. Di dalam hidup, ingatan memang berguna. Namun, ingatan juga kerap kali membatasi kita untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang nyata, misalnya karena trauma kegagalan masa lalu, atau prasangka yang muncul dari pengalaman masa lalu. Ketika ingatan dipandang sebagai sesuatu yang kosong, orang tidak lagi terjebak pada ingatannya tentang masa lalu, dan bisa secara jernih hidup disini dan saat ini. Kejernihan akan menjadi bagian nyata dari hidup.
Dari titik ini, berbagai karya juga diciptakan. Zen memberikan inspirasi bagi berkembangnya seni lukis, seni bela diri dan seni hidup seimbang di berbagai belahan dunia. Beberapa dekade belakangan, Zen juga memberikan inspirasi pada gerakan hidup berkesadaran (mindful living), yakni hidup dari saat ke saat dengan memperhatikan secara penuh apa yang sedang terjadi di saat ini. Gerakan ini membantu banyak penderita sakit berat untuk menemukan kejernihan dan kedamaian di dalam tantangan hidup yang mereka jalani.
Buku ini merupakan jilid kedua dari buku pertama yang berjudul Dengarkanlah: Pandangan Hidup Timur, Zen, dan Jalan Pembebasan yang diterbitkan oleh Penerbit Karaniya. Ini merupakan buku pertama karya penulis Indonesia yang hendak mengupas inti pemikiran Zen dari sejarah maupun ajarannya. Ia ditujukan untuk orang-orang yang ingin keluar dari penderitaan yang hidup yang selama ini menghantuinya. Selamat membaca.
Reza A.A Wattimena
Prolog
Buku ini lahir dari penderitaan yang saya alami. Selama bertahun-tahun, saya hidup dalam depresi. Secara singkat, depresi dapat dipahami sebagai kesedihan yang berkelanjutan, kerap kali tanpa alasan yang jelas, dan membuat orang tidak bisa menjalani kesehariannya dengan damai dan bahagia. Depresi ini mempengaruhi banyak unsur dalam hidup saya, mulai dari soal hubungan pribadi, sampai dengan hubungan profesional.
Saya kerap kali bertanya, apakah hidup memang seperti ini? Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, penderitaan dan kekecewaan muncul. Saya juga menyaksikan, begitu banyak keluarga dan teman-teman saya terjebak pada soal yang sama. Mereka mencoba menemukan jalan keluar melalui agama ataupun konsultasi dengan profesional. Namun, jawaban atas permasalahan mereka tak kunjung tiba.
Puncak penderitaan saya terjadi pada 2014 lalu. Di awal tahun, saya mengalami masalah cukup parah di dalam rumah tangga saya. Konflik tak kunjung henti antara saya dan (mantan) istri saya. Kami sudah mengunjungi beberapa profesional dan pemuka agama. Namun, masalah tak selesai, bahkan cenderung semakin besar.
Bulan Februari pertengahan, berita buruk menghantam saya di pagi hari. Saya bangun sekitar jam 5.30 pagi, membuka HP, dan menerima berita mengejutkan, bahwa ayah saya meninggal. Tidak ada gejala. Tidak ada sakit. Katanya, beliau serangan jantung, dan meninggal di tempat.
Saya kaget dan menangis seketika. Saya sudah lama tidak berkontak dengan ayah saya, karena kesibukan saya menulis disertasi dalam rangka pendidikan doktoral di kota Munich, Jerman. Sekedar catatan, disertasi saya juga berantakan pada waktu itu. Banyak hal belum dibaca dan ditulis. Pembimbing saya juga tampak tidak puas pada kinerja penulisan disertasi saya.
Beragam masalah datang menimpa saya. Semua rencana gagal. Penderitaan datang mencekam jiwa. Namun, saat itu, saya harus kuat, karena harus kembali ke Indonesia untuk menemani keluarga.
Setelah beberapa minggu yang menyakitkan di Indonesia, saya harus kembali ke Jerman. Beragam buku dan disertasi sudah menunggu. Namun, depresi saya semakin kuat. Penderitaan yang amat besar menghantam saya selama berbulan-bulan.
Saya mencoba mencari jalan keluar. Saya berdoa. Saya mengunjungi pemuka agama saya pada waktu itu. Saya juga berbicara dengan profesional.
Namun, tak ada jalan keluar. Saya tak menemukan jalan keluar dari depresi dan penderitaan berat yang saya rasakan. Ini terjadi selama kurang lebih 6 bulan. Jujur, saya tidak mandi pada waktu itu, dan membiarkan rambut serta jenggot saya bertumbuh. Saya sudah seperti orang dari hutan.
Puncaknya adalah ketika saya berniat bunuh diri. Kota Munich di Jerman memiliki kereta bawah tanah yang baik. Saya berniat melompat, guna mengakhiri penderitaan saya yang tanpa jalan keluar ini. Ketika hendak melompat, saya terdiam. Saya harus menemukan jalan keluar.
Pada titik inilah saya berkenalan secara mendalam dengan ajaran Buddha, terutama Zen Buddhis yang memang tersebar sangat luas di Jerman. Saya memasuki Zen melalui Anthony de Mello SJ, seorang pastur Katolik yang amat fasih berbicara soal pemikiran Timur, termasuk Buddhisme dan Hinduisme. Saya pun mulai membaca beragam buku soal Zen, dan bergabung dengan komunitas meditasi Zen di Munich, Jerman.
Saya terlibat dalam dua aliran Zen, yakni Rinzai Zen dari Jepang, dan Seon Buddhis dari Korea Selatan. Saya mengikuti retret dan meditasi rutin yang diselenggarakan para Zen Master di Jerman dan Hongaria. Banyak sekali pemahaman dan kebijaksanaan yang saya dapatkan. Hidup saya berubah.
Isi buku ini merupakan perjalanan saya sejak saat itu. Saya berhasil menemukan jalan keluar dari penderitaan yang saya rasakan. Tentu saja, penderitaan tidak langsung hilang. Namun, saya paham akar penderitaan saya, dan punya cara untuk mengelolanya, ketika ia datang berkunjung.
Saya merasa, jalan Zen Buddhis akan bisa membantu banyak orang yang menderita. Mereka bisa juga memahami akar penderitaannya, dan keluar darinya, setelah menekuni jalan Zen. Yang terpenting, saya mendedikasikan buku ini untuk ibu dan keluarga saya yang juga bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang berat. Juga, saya berharap para pembaca buku ini bisa menemukan jalan yang cocok untuk kehidupan mereka, supaya bisa keluar dari penderitaan, dan memahami jati diri mereka yang sebenarnya.