Quantcast
Channel: zen – Rumah Filsafat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 139

Zen dan Keadaan Alamiah Manusia

$
0
0
cdn.visualnews.com
cdn.visualnews.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya

Nilai tertinggi di dalam Zen adalah sikap alami.1 Orang diajak untuk kembali ke jati diri sejatinya, yakni jati diri alaminya. Ia pun lalu hidup dan bertindak dari titik alami tersebut. Di balik sikap alami terdapat sikap tulus yang jauh dari pamrih dan kepentingan tersembunyi. Tidak ada pertimbangan untung rugi ataupun benar salah. Semua pertimbangan untung rugi ataupun benar salah lahir dari pola pikir dualistik yang membedakan aku sebagai subyek dan orang lain atau dunia sebagai obyek. Cara berpikir ini adalah sumber dari segala penderitaan dan petaka di dalam hidup manusia. Cara berpikir ini juga mendorong terjadinya penilaian yang akhirnya bermuara pada pengelompokan dan penyingkiran. Namun, sejatinya, pada kondisi alami, pikiran manusia itu satu dengan alam, dan satu dengan pikiran orang-orang lainnya. Untuk mencapai ini, orang harus melepas ego-nya, dan semua yang melekat pada ego itu. Orang lalu hidup tidak lagi dari titik ego-nya sebagai pribadi yang kecil, melainkan dari sudut pandang semesta yang mencakup orang lain, mahluk lain dan seluruh alam ini.

Seperti sudah sedikit disinggung sebelumya, banyak tindakan kita dilakukan secara alamiah dan otomatis, tanpa pertimbangan kesadaran apapun. Mulut yang membuka, ketika menguap. Mata yang berkedip, karena terlalu lelah, dan sebagainya. Zen mengajak kita untuk kembali ke apa yang sungguh-sungguh alamiah, tanpa pertimbangan ataupun kepura-puraan apapun. Seperti mata yang melihat secara alamiah, dan telinga yang mendengar tanpa pertimbangan apapun, begitulah alam ini dan kehidupan manusia; terjadi secara alamiah, dan tanpa kepura-puraan. Penekanan pada kealamiahan dari hidup manusia dan segala sesuatu yang ada ini diperoleh Zen dari tradisi Taoisme di Cina. Dalam arti ini, tolok ukur utama dari semua tindakan manusia adalah spontanitas dan kealamiahan. Keduanya lahir dari kejernihan batin dan pikiran, ketika orang bisa melepaskan segalanya, termasuk egonya, dan menyatu dengan segala yang ada di kenyataan ini. Tidak ada yang istimewa. Semuanya dilakukan secara biasa-biasa saja, yakni alamiah dan spontan.

Spontanitas dan sikap alamiah adalah dua keutamaan yang terlihat sederhana, tetapi sebenarnya amat sulit untuk disadari dan dijalankan. Bahkan, keduanya sesungguhnya tidak dapat sungguh dijelaskan dengan konsep dan kata. Konsep dan kata adalah hasil dari abstraksi pikiran manusia yang sesungguhnya tidak alamiah. Di samping itu, tekanan dari luar, seperti pekerjaan dan kewajiban sosial lainnya, membuat kita sulit mempertahankan pola pikir dan sikap alamiah serta spontan. Di sisi lain, sikap spontan dan alamiah di dalam berbagai keadaan membuat orang cenderung berubah. Kesan tidak konsisten pun muncul. Di dalam sikap spontan dan alami, keadaan di depan mata adalah tolok ukur utama tindakan. Tidak ada prinsip universal. Tidak ada nilai-nilai yang mengikat secara kuat, seperti pada agama dan moralitas tradisional. Orang lalu bertindak sungguh-sungguh sesuai keadaan yang dilihatnya dari kejernihan, dan bukan dari seperangkat prinsip moral yang kerap kali sudah tidak relevan. Bentuk paling sederhana dari sikap alamiah adalah melakukan apa yang sedang dilakukan disini dan saat ini dengan sepenuh hati. Orang tidak berharap untuk berada di tempat dan waktu yang lain. Pikiran menjadi sepenuhnya terfokus pada apa yang sedang dikerjakan. Tidak ada keraguan. Tidak ada pengalihan.

Namun, untuk sungguh menjadi alamiah dan spontan, orang tidak boleh berpikir soal alamiah dan spontan. Dengan kata lain, orang tidak boleh berusaha untuk menjadi alamiah dan spontan, karena itu justru akan menghancurkan sikap spontanitas dan alamiah yang mungkin tumbuh dari dalam dirinya. Orang hanya perlu “membiarkan” segalanya berjalan dengan pikiran yang sepenuhnya terfokus disini dan saat ini. Jika ia merasa perlu mengubah situasi, maka ia melakukannya dengan sepenuh hati dan jiwanya. Jika ia merasa semuanya baik-baik saja, maka ia pun juga berdiam dengan sepenuh hati dan jiwanya. Semuanya dilakukan dengan kejernihan pikiran yang lahir dari keadaan batin sebelum kata dan sebelum konsep. Keadaan batin sebelum kata dan konsep ini tidak membutuhkan pikiran, tetapi juga tidak bisa dilepaskan dari pikiran sepenuhnya. Ia berada di luar dua kategori semacam itu. Orang hanya perlu “melepas” segalanya, dan juga melepas “melepas”. Baru kemudian, ia tiba pada keadaan batin sebelum kata dan sebelum konsep. Ini merupakan keadaan alamiah manusia, dan juga keadaan alamiah dari segala sesuatu.

Salah satu keunikan manusia adalah, bahwa ia mampu mengambil jarak dari segala sesuatu, dan kemudian memikirkannya. Bahkan, ia juga bisa memikirkan dirinya sendiri. Ia juga sadar tidak hanya atas keberadaan segala sesuatu, tetapi juga atas keberadaan dirinya sendiri. Dengan kemampuan ini, manusia bisa memeriksa, apakah tindakannya sudah tepat menanggapi suatu keadaan, atau belum. Katakanlah, ini semacam sistem kontrol yang sudah ada di dalam diri setiap orang. Ini juga bisa disebut kemampuan refleksi, yakni kemampuan memeriksa suatu tindakan atau pikiran, dan memperbaikinya seturut keperluan, supaya bisa menanggapi keadaan tertentu secara tepat. Manusia juga memprogram komputer dan mesin, supaya bisa melakukan hal yang sama. Kita bisa melihatnya di berbagai mesin yang menggunakan sensor untuk memungkinkan mesin itu beradaptasi dengan berbagai keadaan yang berubah-ubah.

Namun, proses refleksi, kontrol dan koreksi diri semacam ini bukanlah sebuah proses yang mudah. Sebuah mesin perlu terus untuk diperbarui susunan programnya, supaya ia bisa terus melakukan proses kontrol dan koreksi diri semacam ini, guna menanggapi keadaan yang berubah-ubah di luarnya. Contoh paling jelas adalah termometer, yang harus terus menyesuaikan dengan perubahan cuaca yang terjadi. Namun, susunan program ini pun terbatas. Pada satu titik, susunan program yang ada akan menjadi sangat rumit, sehingga justru menghancurkan semua proses yang ada. Inilah yang juga terjadi pada pikiran manusia, ketika orang terlalu kuat melakukan kontrol, refleksi dan koreksi diri di dalam pikirannya. Ketika ini terjadi, ia tidak bisa lagi berpikir dengan jernih. Keputusan-keputusan yang ia ambil pun cenderung kacau. Keraguan akan menyelubungi pikiran dan keputusannya. Maka dari itu, orang tidak dapat terus melakukan refleksi, kontrol dan koreksi atas berbagai keputusan dan pikirannya. Pada satu titik, orang harus berani melompat dan mengambil keputusan, walaupun pilihan yang mungkin tetap terbatas. Ketidakberanian untuk melompat dan mengambil keputusan dari berbagai kemungkinan yang ada membuat orang terjebak pada frustasi, sekaligus menyebabkan penderitaan bagi orang-orang lainnya.

Mesin yang menggunakan sensor juga bisa rusak, karena programnya terlalu sensitif terhadap berbagai perubahan yang ada, yang mesti ia ukur. Realitas selalu berubah. Tidak ada mesin atau program apapun yang sungguh mampu menangkap setiap perubahan yang ada. Mesin yang berupaya untuk menangkap dan mengolah setiap jengkal perubahan untuk kepentingan pengukuran akan segera rusak, karena kerumitan yang dimilikinya sendiri. Di dalam diri manusia, keadaan serupa juga bisa terjadi. Orang menjadi terlalu sensitif, karena hendak memahami dan merefleksikan segala yang terjadi. Padahal, perubahan terjadi setiap saat. Ketika manusia mencoba mengolah dan memahami perubahan yang terjadi setiap saat tersebut, maka ia akan jatuh ke dalam frustasi dan penderitaan. Egonya akan semakin besar, karena refleksi dan kontrol diri yang berlebihan dari pikirannya. Pikirannya kacau, dan ia tidak mampu memutuskan apapun, karena pikirannya bergerak terlalu cepat dan terlalu banyak. Inilah yang disebut sebagai lingkaran setan penderitaan di dalam pikiran. Zen menyebutnya juga sebagai lingkaran kelahiran dan kematian, yang berarti juga lingkaran karma. Dalam arti ini, karma adalah tindakan manusia yang menghasilkan hubungan sebab akibat.

Hidup manusia, sejatinya, juga selalu bergerak di dua tingkatan. Tingkat pertama adalah di dalam dunia sebagaimana adanya. Inilah kenyataan sesungguhnya yang disebut juga kenyataan pada dirinya sendiri. Tingkat kedua adalah dunia konsep, yakni dunia sebagaimana sudah dipikirkan dalam ranah bahasa dan konsep. Tingkat kedua ini sebenarnya sama sekali tidak bisa disebut kenyataan. Ia amat rapuh dan berubah setiap saat, sejalan dengan berbagai kejadian yang ada. Dengan kata lain, sesungguhnya, hanya ada satu dunia, yakni dunia sebagaimana adanya, sebelum konsep dan bahasa menjelaskannya. Namun, kita sering lupa akan hal ini, karena kita terjebak di dalam ranah konsep dan bahasa. Kita kehilangan pegangan atas dunia sebagaimana adanya. Kita justru melekat dan berpegang erat pada konsep dan bahasa yang sesungguhnya tak ada, dan tak ada hubungan langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya. Bentuk paling konkret dari hal ini adalah ingatan. Ingatan bukanlah kenyataan, melainkan kumpulan simbol, konsep dan bahasa. Itu tidak nyata. Namun, begitu banyak orang mengira, bahwa ini adalah kenyataan itu sendiri. Banyak orang terjebak dalam penderitaan batin yang besar, karena beban ingatan yang dianggap sebagai kenyataan itu sendiri.

Kita juga sering melakukan perbandingan antara dunia konsep versi yang satu dengan dunia konsep versi lainnya. Ini yang disebut sebagai berandai-andai. Ini yang juga disebut sebagai refleksi diri. Dari proses berandai-andai dan refleksi semacam ini, kita lalu membentuk citra diri kita, yakni pandangan kita tentang diri kita sendiri. Ini disebut juga sebagai ego, atau konsep diri. Citra diri semacam ini dianggap amat penting, supaya orang bisa menjalani hidup sehari-harinya dengan “normal”, dan bisa “berkontribusi” untuk perkembangan masyarakat. Namun, jika diperhatikan, citra diri itu sebenarnya kosong. Peran sosial yang ditentukan oleh masyarakat kita pun juga kosong. Itu adalah kumpulan simbol, konsep dan bahasa yang begitu rapuh dan akan terus berubah. Di titik ini, kita akan sadar, bahwa di dalam hidup ini, yang ada sebenarnya hanyalah kekosongan luas. Namun, kita juga perlu melepas kekosongan itu dari pikiran kita. Lalu, kita bisa kembali ke kenyataan konseptual dan bahasa, tetapi sudah tidak lagi melekat padanya.

Tantangan terbesar dalam konteks ini adalah memahami hakekat pikiran manusia. Setiap saat, pikiran kita bekerja, entah untuk membuat keputusan, ataupun melakukan suatu kegiatan. Ini seperti mesin yang bekerja tanpa henti. Pada satu titik, ia akan rusak, dan tidak lagi mampu menjalankan fungsinya. Hal yang sama bisa terjadi pada pikiran manusia. Pada satu titik, ia perlu berhenti, dan bahkan melepaskan dirinya sendiri. Kemampuan untuk melepaskan pikiran ini adalah kemampuan yang amat penting, guna menjaga kesehatan mental. Pikiran yang terus bekerja akan menciptakan ketegangan dan kecemasan yang tidak perlu, yang akhirnya membuat seluruh proses berpikir manusia kacau. Sebenarnya, secara alamiah, kita tahu akan hal ini. Namun, karena berbagai macam hal, kita tidak mampu melakukan apapun, guna mengatur pikiran kita sendiri. Kecenderungan umum adalah, kita cenderung ingin selalu bahagia dan baik-baik saja. Hal ini menciptakan ketegangan tersendiri yang justru membuat kita semakin jauh dari baik-baik saja dan dari kebahagiaan itu sendiri.

Pikiran kita selalu bekerja dengan simbol, konsep dan bahasa. Ia tidak pernah bersentuhan langsung dengan kenyataan sebagaimana adanya, kecuali ia bisa menghentikan dirinya sendiri. Orang yang membiarkan pikirannya melekat terus pada simbol, konsep dan bahasa yang ada akan mengalami kontradiksi dan konflikt terus menerus di dalam pikirannya. Solusi dari masalah ini sebenarnya sederhaa. Orang hanya perlu melakukan satu hal setiap kalinya. Ia hanya perlu hidup dari saat ke saat. Ketika ia makan, maka ia makan. Ketika berjalan, maka ia berjalan. Orang hanya perlu menggunakan pikirannya, tetapi tidak boleh melekat padanya. Dalam arti ini, orang diminta untuk melepaskan pikirannya. Semua proses mengingat dan refleksi harus berada di dalam kontrol manusia, dan bukan sebaliknya. Setelah proses berpikir dilepas, orang lalu masuk ke dalam keadaan alamiah. Ia menjadi sepenuhnya spontan di dalam melakukan apapun. Dalam arti ini, Zen dapat dilihat sebagai lawan dari filsafat yang amat menekankan pemikiran rasional, analisis dan refleksi. Pikiran lalu hanya menjadi sekedar alat di dalam Zen, dan bukan penekanan utama.

Lalu, mungkinkah orang hidup tanpa pikiran? Jelas tidak mungkin. Pikiran digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia. Namun, ketika orang berpikir, maka ia hanya perlu dengan sepenuh hati dan jiwanya berpikir. Ia tidak boleh menggunakan pikirannya, misalnya, untuk melakukan analisis berlebihan, sehingga menciptakan ketegangan dan kecemasan baru di dalam batin. Misalnya, ketika orang perlu melakukan refleksi, maka ia perlu dengan sepenuh hati dan jiwanya melakukan refleksi. Jangan berpikir soal refleksi. Kuncinya adalah berpikir tentang satu hal sepenuhya, tidak terbagi. Zen adalah soal mengajak kita kembali ke dalam kenyataan apa adanya yang selalu terjadi saat demi saat. Maka, pikiran manusia juga perlu dilatih sedemikian rupa, sehingga ia bisa berfungsi saat demi saat dengan jernih sekaligus tajam. Jadi, segala bentuk pikiran yang tidak fokus harus dilepaskan. Segala bentuk multitasking harus dihindari. Semua dilakukan dan dipikirkan saat demi saat dengan kejernihan dan ketajaman. Segala bentuk keterpisahan dan dualisme harus dilampaui. Segala hal harus dilakukan satu persatu saat demi saat dengan komitmen sepenuhnya. Dengan demikian, Zen bukanlah anti pikiran, melainkan menggunakan pikiran tersebut untuk melakukan segala sesuatunya secara fokus, jernih dan tajam. Dalam arti ini, orang tidak lagi menyamakan jati dirinya dengan pikirannya. Ia memiliki jarak dari pikirannya.

Refleksi yang berlebihan menciptakan ketegangan. Ketegangan ini membuat orang tidak mampu berpikir dan bertindak. Perasaannya pun kacau. Inilah gejala yang biasa disebut sebagai analisis berlebihan. Pikiran terserak di antara berbagai cabang. Ia tidak bisa berfungsi dengan baik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Zen hendak mengajak orang kembali ke keadaan sebelum nol, yakni sebelum pikiran, sebelum konsep dan sebelum bahasa. Untuk bisa mencapai keadaan itu, orang perlu melepaskan semuanya. Pada satu titik, orang akan mengalami kekosongan atau kehampaan, karena semuanya sudah dilepas. Lalu, ia pun diajak untuk melepaskan kekosongan itu. Pada titik ini, orang kembali ke kehidupan sehari-hari. Namun, ia sudah bebas, karena ia sudah tidak lagi memiliki kelekatan dengan dunia ini. Pikirannya lalu bergerak saat demi saat untuk bekerja, berpikir ataupun merasa. Semuanya dilakukan dengan fokus dan ketajaman, sekaligus dengan kejernihan. Inilah tindakan yang berakar pada keadaan alamiah manusia. Inilah Buddha, atau orang yang tercerahkan.

Untuk hidup, kita perlu berpikir, bergerak, merasa dan bertindak. Namun, dari sudut pandang zen, semua itu perlu dilakukan bukan dari ketakutan dan kelekatan pada dunia, melainkan dari titik sebelum nol. Hasil dari tindakan semacam ini tetap tidak pasti. Namun, karena tindakan ini dilakukan dengan kejernihan dan ketajaman, maka kemungkinan berhasil juga akan tinggi. Ketika dilakukan dari sebelum titik nol, yakni dari keadaan alamiah manusia, maka tidak ada ketakutan dan tidak ada ketegangan di dalam bertindak, merasa dan berpikir. Tidak ada keterpisahan antara aku dan tindakanku. Tidak ada perbedaan antara aku dan manusia lain, serta antara aku dengan seluruh alam ini. Inilah dasar dari semua tindakan manusia sebagaimana adanya. Semua orang sudah memilikinya. Namun, keadaan ini tertutupi oleh kesalahan berpikir yang dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Ketika orang melepas semuanya, dan kembali ke keadaan alamiahnya, maka ia akan hidup tanpa keraguan. Tidak ada halangan. Refleksi dilakukan seperlunya, guna membuat keputusan yang ada di depan mata. Pada akhirnya, orang perlu bertindak secara tepat menanggapi keadaan yang ada, apapun keadaan itu. Segala kemungkinan bisa terjadi. Orang lain bisa menilainya sebagai salah, atau benar. Namun, itu tidak menjadi soal. Tolok ukur penilaian selalu berubah. Yang penting, bertindaklah dari sebelum nol. Setelah itu, lakukan saja, dan jalan terus.

Zen mengajak orang bertindak tanpa refleksi. Spontanitas dan sikap alamiah menjadi panduan utama. Namun, tindakan ini tidak lahir dari kekosongan, melainkan dari pemahaman atas konteks yang hadir di depan mata. Spontanitas dan sikap alamiah berarti orang harus mengambil tindakan tertentu, guna menanggapi secara tepat peristiwa di depan mata yang sedang terjadi. Di titik ini jelas diperlukan sebuah kejernihan di dalam memahami keadaan, dan bukan sekedar prinsip-prinsip moral yang dibuat, tanpa memperhatikan konteks yang ada. Kejernihan ini diperoleh tidak dengan mempelajari prinsip-prinsip moral baru, melainkan dengan melepaskan segala yang sudah ada, dan menjadi sepenuhnya alamiah. Kekosongan dari sikap melepaskan segala sesuatu bukanlah ketiadaan ataupun kehampaan, melainkan pencerahan batin yang sesungguhnya. Sejatinya, ia tidak memiliki nama. Ia berada di luar konsep, kata dan pikiran. Ia bukanlah moralitas dalam arti tradisional, melainkan intuisi yang berpijak pada pemahaman dasar, bahwa segalanya adalah satu dan sama.

Zen ingin mencegah orang untuk berpikir soal berpikir. Ia mencegah orang untuk terjatuh ke dalam analisis atau refleksi berlebihan atas segala sesuatu. Karena terlalu banyak teori dan pertimbangan, manusia modern kerap jatuh pada analisis dan refleksi berlebihan. Ini membuatnya hidup dalam ketegangan. Ia tidak mampu membuat keputusan dengan spontan dan alamiah. Ia pun hidup dalam penderitaan. Zen persis mengajak orang untuk berhenti berpikir soal pikiran itu sendiri. Ia membiarkan segala sesuatunya ada dan terjadi. Segalanya terjadi, berubah dan bergerak terus menerus. Tidak ada usaha di dalam pikiran. Tidak ada ketegangan apapun di dalam pikiran. Tidak ada simbol dan bahasa apapun yang menjadi bahan untuk pertimbangan ataupun pikiran. Kondisi alamiah ini adalah kondisi sebelum nol. Inilah kebijaksanaan tertinggi dari sudut pandang Zen.

Keadaan alamiah manusia ini selalu ada. Ia abadi. Ia tidak pernah dilahirkan dan tidak akan pernah mati. Ia adalah satu dengan seluruh alam semesta, beserta semua mahluk di dalamnya. Orang bisa mencapainya tidak dengan menambah ilmu, tetapi justru dengan melepaskan segalanya. Namun, bagaimana orang bisa melepaskan segalanya? Ini tidak mungkin dilakukan hanya semata dengan keinginan. Keinginan untuk melepaskan segalanya justru menciptakan keinginan baru. Orang lalu terjebak dalam lingkaran pikirannya sendiri yang justru tak mungkin bisa ia lepaskan. Ketegangan muncul. Kedamaian batin justru semakin jauh dari genggaman. Kuncinya adalah dengan membiarkan segalanya ada, termasuk semua pikiran dan perasaan yang muncul. Mereka semua akan muncul, dan akan lenyap dengan sendirinya secara alamiah. Semua bentuk pikiran dan perasaan adalah kosong pada akarnya. Mereka tidak memiliki substansi yang kokoh di dalamnya. Mereka seperti bau yang ada di dalam ruangan, yang akan segera pergi setelah beberapa waktu.

Melepaskan pikiran dengan keinginan dan kehendak, yang juga muncul dari pikiran, bagaikan membersihkan kotoran darah dengan darah. Percuma saja. Kotoran darah yang pertama hilang, dan kemudian digantikan dengan darah yang baru. Pikiran yang berputar-putar semacam ini justru menghasilkan ketegangan dan penderitaan. Orang pun semakin jauh dari keadaan alamiahnya. Mereka terjebak pada ilusi pikiran dan perasaan yang sesungguhnya kosong. Inilah yang disebut sebagai lingkaran hidup dan mati di dalam tradisi Zen. Orang terus melahirkan pikiran dan perasaan baru, serta percaya betul, bahwa semua itu adalah nyata dan benar. Yang diperlukan hanyalah kesadaran sederhana, bahwa semua yang ada di dalam pikiran dan perasaan manusia adalah tidak nyata. Ia rapuh dan berubah. Maka dari itu, semua bentuk pikiran dan perasaan itu tidak boleh dipegang erat-erat, atau ditolak dengan keras. Ia hanya perlu dibiarkan ada, dan nanti ia akan hilang dengan sendirinya, mirip seperti bayangan orang di cermin. Pikiran dan perasaan datang dan pergi, namun jati diri alamiah manusia tetap bersih. Tidak ada jejak pikiran dan perasaan di dalamnya, sama seperti cermin bersih dari bayangan, ketika sebuah benda meninggalkannya. Inilah keadaan alamiah manusia, yang disebut juga sebagai pikiran Buddha. Setiap orang memilikinya, asal dia mau melepaskan semua ide dan kelekatannya pada pikiran serta perasaannya. Pikiran Buddha ini lebih jernih bahkan dari cermin yang paling bersih di dunia. Ketika orang bisa menyentuh pikiran Buddhanya, yang sebenarnya adalah keadaan alamiahya, maka pikiran dan perasaan bisa datang dan pergi, namun tidak satu pun akan menciptakan ketegangan dan penderitaan di dalam dirinya.

Dalam konteks ini adalah penting untuk memahami konteks sosial dari kelahiran dan perkembangan Zen. Zen adalah pembebasan pikiran orang dari segala bentuk aturan dan moralitas yang lahir dari kesepakatan antar manusia. Ia ada dan berkembang untuk orang-orang yang telah lama hidup dalam kesepakatan sosial masyarakat, dan kini memerlukan adanya semacam pembebasan dari semua bentuk kesepakatan sosial tersebut. Kesepakatan sosial ada untuk mengatur perilaku dan bahkan pikiran setiap anggota masyarakat. Namun, pada satu titik, kesepakatan tersebut akhirnya menjadi sebentuk penjajahan dan menciptakan kecemasan dan penderitaan berlebihan. Zen membantu orang untuk melepaskan diri dari segala bentuk kecemasan dan penderitaan yang lahir akibat keharusan orang untuk menyesuaikan diri dengan segala bentuk kesepakatan sosial yang ada. Latar belakang kelahiran Zen adalah sebuah masyarakat yang amat dipengaruhi ajaran Konfusianisme yang amat menekankan kewajiban sosial dan praktek ritual yang tanpa cacat. Di Jepang, Zen lahir sebagai “obat” untuk orang-orang yang hidup dalam kasta Samurai, yang hidupnya juga dipenuhi dengan beragam bentuk kewajiban moral, serta kecemasan terus menerus akan terjadinya perang. Zen tidak ingin menghancurkan semua bentuk kesepakatan sosial tersebut, tetapi melepaskan orang dari kelekatan terhadap segala kesepakatan tersebut, sehingga orang bisa hidup secara alami dan bebas, walaupun tetap berada di dalam masyarakat dengan segala aturan dan kewajibannya.

Setiap orang selalu lahir dan hidup di dalam masyarakat. Setiap masyarakat mengajarkan orang nilai-nilai kehidupan tertentu. Orang itu lalu menjalankan hidup dengan seperangkat nilai tersebut. Inilah yang disebut sebagai programing sosial. Hasilnya, orang itu lalu memiliki citra diri yang melekat erat pada nilai-nilai masyarakatnya. Ia membangun “Ego” berdasarkan programming sosial dari masyarakatnya. Ego menjadi ide yang dibangun dari kebiasaan dan programming sosial masyarakat. Ketika orang masuk ke dalam programming sosial, ia pun keluar dari keadaan alamiahnya. Ia kehilangan spontanitasnya, dan hidup hanya dengan panduan nilai-nilai masyarakatnya. Ia melihat dan menilai segala sesuatu dari programming sosial yang ia terima. Pada titik ini muncul depresi, harapan dan kekecewaan pada manusia lain, akibat perbedaan programming sosial yang ada. Untuk bisa kembali ke keadaan alamiahnya, orang perlu mengambil jarak dan bahkan melepaskan programming sosialnya. Di dalam keadaan alamiah tersebut akan muncul cinta dan moralitas yang tidak lagi berpijak pada tekanan sosial, tetapi dari gerakan batin yang berpijak pada sikap alamiah dan spontanitas manusiawi. Pendek kata, moralitas yang berpijak pada kebebasan batin, dan bukan pada tekanan dari luar.

Kita juga suka dibuat bingung oleh moralitas. Kita kesulitan memutuskan, apa yang akan kita lakukan untuk menanggapi suatu keadaan, terutama bila itu adalah keputusan yang memiliki pengaruh besar bagi hidup kita, maupun hidup orang lain. Ada begitu banyak pertimbangan baik dan buruk. Itu semua seringkali tidak membantu kita, tetapi malah membuat kita bingung. Hal ini biasanya dialami oleh orang yang dididik dalam lingkungan dengan tata moral yang mengikat. Ada sedikit kebebasan di dalamnya, dan ada begitu penindasan atas nama moralitas sebagai ganti dari kebebasan. Ada begitu banyak perintah dan larangan yang dibarengi dengan pahala dan hukuman. Orang yang hidup di dalam lingkungan semacam itu cenderung menjadi fanatik yang akan menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Zen bisa menjadi obat yang mujarab untuk menghadapi keadaan ini. Zen mengajak orang untuk melepaskan semua programmingnya, termasuk semua nilai baik buruk benar salah. Pendek kata, ia mengajak orang untuk mempertanyakan seluruh citra diri atau Ego-nya sebagai manusia.

Setelah melalui proses yang mendalam, orang lalu akan sampai pada kesimpulan, bahwa programming dan citra diri itu sejatinya adalah kosong, sementara dan rapuh. Orang lalu secara otomatis melepasnya. Ketika orang bisa melepas semuanya, ia lalu akan masuk ke dalam kekosongan. Namun, kekosongan juga perlu dilepas, sehingga orang kembali ke dunia dengan kebebasan. Tidak ada yang perlu ditakuti disini, karena yang ada hanya dua hal, yakni kejernihan dan kedamaian. Spontanitas pun bertumbuh, dan mulai menjadi bagian dari tindakan sehari-hari. Spontanitas dan keadaan alamiah hanya bisa tercipta, jika pikiran dan ego berhenti. Pikiran dan ego bisa berhenti, ketika kita berhenti untuk mencoba mengatur dan mengontrol segalanya. Kita membiarkan semuanya apa adanya. Pada titik ini, orang otomatis menjadi alamiah. Tidak ada usaha. Tidak ada tegangan. Pikiran dan perasaan lalu bisa digunakan untuk hal-hal yang bermakna, dan tidak untuk cemas dan melakukan analisis berlebihan.

Pencerahan batin yang sejati hanya bisa diperoleh pada saat ini. Tidak ada masa lalu. Tidak ada masa depan. Bahkan, masa kini juga tidak ada, karena setelah kita mengucapkannya, ia segera berlalu. Sejatinya, hanya saat ini yang ada. Kita hanya memiliki saat ini. Namun, kita kerap kali melupakannya, karena kita hidup dalam ilusi. Kita kehilangan keadaan alamiah kita di saat ini, karena kita sibuk dengan ketakutan dan ambisi pribadi kita yang sejatinya hanya ilusi belaka. Ketika kita melepas ambisi dan ketakutan ini, kita kembali ke keadaan alamiah, dan semuanya menjadi jelas. Kita lalu menjalani hidup kita dengan alami. Ada banyak cara untuk mencapai keadaan ini. Salah satunya adalah dengan mengajukan langsung pertanyaan ke dalam diri, “Siapa ini?” Jika kita sedang membaca, kita bisa mengajukan pertanyaan, “Siapa ini yang sedang membaca?” Ini juga berlaku untuk aktivitas hidup lainnya. Ketika kita mengajukan pertanyaan ini, semua pikiran berhenti. Otomatis, semua ketakutan dan ambisi juga berhenti. Pada detik itu, kita menjadi Buddha. Kita mengalami pencerahan. Yang berarti juga masuk ke dalam keadaan alamiah kita sebagai manusia.

Sebenarnya, banyak hal sudah kita lakukan secara alamiah. Kita bernapas. Organ-organ tubuh kita bekerja. Semua terjadi secara alamiah dan otomatis. Ketika kita mengamati itu semua, dan belajar darinya, kita lalu menjadi sepenuhnya alamiah. Di dalam keadaan ini, tidak ada tegangan dan kontradiksi. Tidak ada penderitaan. Tidak ada ketakutan. Tidak ada kecemasan. Tidak ada harapan. Tidak ada ambisi. Yang ada hanya kejernihan dan kedamaian batin. Dualisme, atau kecenderungan melihat dunia ke dalam dua kutub yang saling berperang satu sama lain, juga lenyap, ketika orang masuk ke keadaan alamiahnya. Inilah kebebasan yang sesungguhnya, yang juga merupakan kebebasan dari “konsep kebebasan” yang kerap kali membelenggu kita, sehingga membuat kita dan orang di sekitar kita menderita. Logikanya sama. Ketika konsep kebebasan dilepas, kita justru akan menemukan kebebasan yang sesungguhnya, yang tidak dapat dimasukkan ke dalam konsep dan bahasa yang kita punya.

Pandangan ini menegaskan pemahaman dasar dari Zen. Segala hal di dunia ini sudah sempurna. Orang masuk ke dalam penderitaan, karena terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Salah satu ilusi yang paling berbahaya adalah ilusi keterpisahan, atau ilusi dualisme. Ketika semua ilusi dilepaskan, orang kembali ke keadaan alamiah, yang berarti juga hidup biasa-biasa saja. Keadaan alamiah ini mirip seperti langit kosong yang tanpa batas. Ia jelas dan berada pada tempatnya, walaupun kita tidak bisa memahaminya sepenuhnya. Ketika orang berusaha memahaminya, ia justru kehilangannya. Ketika orang berusaha memegangnya, ia justru lepas dari tangannya. Namun, orang tidak akan pernah kehilangannya. Ketika orang melepas segalanya, ia justru mendapatkannya. Ketika orang hening, ia menjadi jelas. Sebaliknya, ketika orang berbicara, ia tersembunyi. Inilah ciri mendasar dari keadaan alamiah manusia.

Di dalam tradisi Zen Jepang, kembali ke keadaan alamiah disebut juga sebagai keadaan pencerahan batin, atau Satori. Ini adalah pengalaman manusiawi, dimana segala bentuk perbedaan melebur menjadi satu kesadaran. Orang tidak lagi terjebak pada ilusi-ilusi yang diciptakan pikirannya. Ia menyadari sepenuhnya kenyataan sebagaimana adanya. Ia juga tidak lagi terjebak pada naik turunnya kehidupan dunia yang biasanya mempengaruhi pikiran banyak orang. Di dalam keadaan alamiah ini, tidak ada lagi tujuan dan ambisi yang ingin dicapai. Semuanya sudah sempurna dan cukup apa adanya disini dan saat ini. Inilah inti dari jalan hidup Zen. Jalan untuk mencapai keadaan ini beragam. Semua tradisi memilikinya, bukan hanya Zen. Dari sudut pandang Zen, orang perlu untuk hidup disini dan saat ini, supaya ia bisa menyadari keadaan alamiahnya. Sejatinya, tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. Masa kini juga lepas, ketika kita menyebutnya. Yang sesungguhnya ada hanyalah saat ini. Di saat ini, orang bisa mencapai pencerahan batin, dan kembali ke keadaan alamiahnya sebagai manusia. Maka, ketika orang mencapai keadaan alamiahnya, bisa juga dikatakan, bahwa ia tidak mencapai apapun, melainkan ia melepas segalanya. Ia kembali ke titik sebelum nol. Yang berarti, ia tidak mendapatkan apapun.

Keadaan alamiah manusia selalu bersama manusia. Ia tidak pernah lepas darinya. Ia hanya tertutup oleh berbagai kebiasaan dan ilusi yang dibangun oleh pikiran manusia. Di dalam keadaan alamiah ini, tidak ada baik dan tidak ada buruk. Orang harus melepaskan keburukan, sekaligus juga kebaikan. Orang perlu melepaskan hidupnya, dan segala kelekatan yang ada di dalamnya, supaya ia dapat meraih hidup yang sesungguhnya, yakni hidup yang berpijak pada keadaan alamiah manusia. Namun, orang juga harus menghindari keinginan untuk mencapai keadaan alamiah. Keinginan yang kuat untuk mencapai keadaan alamiah justru membuat orang kehilangan spontanitas yang amat penting di dalam keadaan alamiah. Orang hanya perlu membiarkan apa adanya. Ketika segalanya dilepas dan dibiarkan apa adanya, orang masuk ke dalam keadaan alamiah. Segala bentuk usaha yang melahirkan tegangan haruslah sedapat mungkin dihindari.

Bagi para filsuf, Zen juga kerap disebut sebagai panteisme. Artinya, alam adalah Tuhan, dan Tuhan bisa ditemukan di seluruh alam. Namun, Zen tidak pernah terjebak pada konsep dan bahasa untuk merumuskan maksudnya. Rumusan Panteisme tidak bisa menjelaskan apa yang menjadi inti Zen, karena inti Zen adalah keadaan alamiah apa adanya dari segala sesuatu, dan ini tidak pernah bisa dijelaskan dengan bahasa dan konsep, seperti misalnya di dalam filsafat ataupun ilmu pengetahuan. Bagi Zen, merumuskan inti dari Zen adalah sesuatu yang tidak berguna, mirip menggambar kaki di tubuh ular. Setiap konsep adalah abstraksi dari kenyataan. Orang hanya perlu menggunakan konsep seperlunya. Sisanya, orang perlu menyentuh langsung kenyataan apa adanya. Persentuhan ini hanya mungkin, jika orang melepaskan konsep, bahasa dan pikirannya. Ketiganya ada sekaligus juga kosong, karena akan segera berlalu dan amat rapuh.

Untuk orang yang terbiasa berpikir logis, rasional dan analitik, Zen memang terdengar absurd dan tidak masuk akal. Anggapan ini tidak dapat disalahkan. Peradaban Barat, yang kini tersebar ke seluruh dunia, memang mengalami kelekatan amat erat pada akal budi, dan segala hasil ciptaan akal budi manusia, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Zen mencoba memahami realitas apa adanya, sampai ke akarnya. Ia tidak akan berhenti pada bahasa, simbol dan konsep, seperti pada ilmu pengetahuan dan filsafat. Kenyataan sebagaimana adanya tidak memiliki nama. Ia tidak bisa digambarkan ataupun dijelaskan dengan konsep, bahasa ataupun simbol. Untuk bisa sampai pada kenyataan apa adanya ini, orang harus bergerak melampaui, ataupun sebelum, tindakan dan tujuan. Inilah hidup tanpa tujuan, yakni hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Inilah kenyataan sebagaimana adanya. Inilah ciri mendasar alam semesta. Tidak ada masa lalu ataupun masa depan. Tidak ada ketakutan, kecemasan ataupun depresi. Inilah kebebasan yang sesungguhnya, yakni kebebasan yang berpijak pada keadaan alam semesta sebagaimana adanya. Kebebasan seperti gunung yang menjulang tinggi, awan yang bergerak setiap detiknya, bunga yang tumbuh, dan gerak ombak. Semuanya tanpa tujuan. Semuanya tanpa waktu.

Pengalaman Zen bukanlah pengalaman intelektual. Ia bukanlah premis yang bergerak menuju kesimpulan, seperti yang biasa ditemukan di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Ia tidak memiliki argumen untuk mendorong orang menjadi bermoral, atau melakukan ajaran moral tertentu. Ia tidak melakukan spekulasi metafisik tentang hakekat terdalam dari hidup dan alam ini. Zen adalah gerak tanpa tujuan. Tidak ada arah yang ingin dicapai. Semua bergerak secara alami dari keadaan disini dan saat ini. Filsafat dan ilmu pengetahuan sulit menerima, bahwa pikiran manusia tak mampu memahami dunia apa adanya. Justru sebaliknya, pikiran manusia mengaburkan pemahaman atas dunia sebagaimana adanya. Inilah yang disebut di dalam Zen sebagai kelekatan pada pikiran, bahasa dan konsep yang melahirkan kebingungan dan kesalahpahaman. Memahami Zen dengan konsep dan bahasa justru bertentangan dengan seluruh keberadaan Zen itu sendiri. Oleh sebab itu, para master Zen memilih menggunakan puisi dan paradoks untuk menjelaskan maksud mereka yang sesungguhnya lebih atau sebelum bahasa ataupun pikiran itu sendiri. Etika dan moral di dalam Zen berpijak pada keadaan alamiah dari segala seesuatu, yakni struktur kenyataan sebagaimana adanya. Intinya, ketika ada orang menderita, maka kita terdorong secara alamiah untuk membantunya. Yang diperlukan adalah kejernihan berpikir, dan kejernihan ini hanya dapat ada, ketika orang mencapai keadaan alamiahnya. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa Zen bergerak melampaui, atau sebelum, etika dan moralitas yang sibuk soal baik dan buruk. Hukuman moral tidak ditemukan di neraka, seperti di dalam agama-agama tradisional, melainkan di dalam penderitaan yang kita terima, sebagai akibat dari tindakan kita sendiri. Inilah yang disebut sebagai karma, atau hubungan sebab akibat yang menjadi hukum dasar dari alam semesta ini.

Agama-agama tradisional berusaha mengatur pikiran dan perilaku manusia. Dengan kata lain, mereka mempunyai semacam ajaran sosial yang terkait erat dengan dogma agama-agama tersebut. Bagi Zen, ini seperti juga menggambar kaki di badan ular, yakni sebuah tindakan yang sia-sia. Bagi Zen, ketika orang sampai pada keadaan alamiahnya, yakni hakekat Buddha-nya, maka semuanya menjadi jelas baginya. Ia tidak perlu panduan moral ataupun refleksi etis. Yang muncul adalah cinta kasih alamiah yang berakar pada kesadaran mendalam, bahwa segala hal adalah satu. Cinta kasih alamiah ini lalu menjadi dasar bagi hubungan antar manusia, sekaligus dasar bagi tata sosial politik masyarakat. Di dalam sejarah Cina, Jepang dan Korea, Zen bersama dengan Konfusianisme menjadi dasar bagi tata politik masyarakat. Keduanya saling memberi ruang, supaya pencerahan batin pribadi bisa berjalan selaras dengan keadilan sosial di dalam masyarakat.

Zen adalah cara hidup alamiah tanpa tujuan apapun di luarnya, selain menyentuh jati diri sejati manusia itu sendiri. Namun, jika diperhatikan lebih jeli, ada beberapa dampak langsung dari jalan hidup Zen yang bisa diamati, yakni kebebasan di dalam bertindak. Kebebasan ini tidak datang dari pemberontakan terhadap aturan maupun norma masyarakat, melainkan dari kesadaran akan kesatuan dari segala sesuatu. Dengan kata lain, kebebasan ini memiliki arah dasar, yakni cinta yang lahir dari keadaan alamiah. Orang lalu bisa hidup dengan sederhana, baik secara material maupun spiritual, dan mampu menolong siapapun dan apapun yang bisa ditolongnya. Kedamaian batin dan kejernihan pikiran adalah dua ciri dasar dari kebebasan alamiah semacam ini. Semakin banyak orang yang menyadari cara hidup semacam ini, semakin pula masyarakat akan hidup dalam keadilan dan kedamaian. Inilah dampak nyata dari pola hidup Zen yang bisa langsung diukur dan diamati.

Pada tingkat hidup pribadi, orang pun lalu bisa memperoleh kejernihan untuk membuat beragam keputusan di dalam hidupnya. Pikiran lalu bisa berfungsi dengan baik serta mengalir seperti air di dalam aliran hidup sehari-hari. Zen menghapus segala rintangan yang membuat orang bingung dan kacau di dalam tindakan maupun pikiran. Hasilnya adalah kebebasan yang membuat orang mampu hidup mengalir tanpa rintangan. Yang berkembang kemudian adalah intuisi yang lebih dari sekedar hitungan baik buruk ataupun benar salah. Zen bergerak dari anggapan, bahwa baik dan buruk itu sama sekali tidak absolut. Apa yang baik sekarang bisa dianggap sebagai buruk di kemudian hari, dan sebaliknya. Pikiran dan tindakan kita sebaiknya tidak terjebak pada label-label semacam itu. Yang perlu kita ikuti adalah kompas intuisi kita dari saat ke saat, guna mengurangi sedapat mungkin penderitaan orang lain maupun mahluk lain.

Di dalam Zen, ada tradisi percakapan antara guru dan murid. Yang menjadi bahan percakapan disebut sebagai Koan, yakni kasus publik. Isinya berupa cerita pendek yang mencoba melepaskan sang murid dari kelekatannya pada pikiran, sehingga ia bisa kembali ke keadaan alamiahnya. Dari cerita yang ada, sang guru mengajukan pertanyaan pada muridnya. Sang murid harus menjawab tidak dengan menggunakan penalaran logis dan analitis, melainkan dengan spontanitas dan sikap alamiah, bagaikan anak kecil. Misalnya, “Ketika air di bak mandi masuk ke lubang pembuangan, apakah ia berputar searah jarum jam, atau tidak?” Orang biasanya bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Ingatlah sekali lagi, bahwa intinnya bukanlah menjawab secara benar, melainkan dengan kembali ke keadaan alamiah yang penuh spontanitas, dan kemudian memberikan jawaban.

Di masa Zen awal, percakapan terjadi secara timbal balik. Sang guru mengajukan pertanyaan. Sang murid juga menjawab dengan kembali mengajukan pertanyaan. Ini terjadi tidak hanya di dalam ruang percakapan, melainkan di berbagai kesempatan yang mungkin, misalnya ketika sedang bekerja, atau sekedar berpapasan di lorong. Di dalam tradisi Zen, ini disebut sebagai “pertarungan dharma”, yakni saling mencoba untuk memotong pikiran logis dan rasional setiap waktu, supaya orang bisa kembali ke dalam keadaan alamiah. Semua pertanyaan dan jawaban, yang biasanya berupa pertanyaan lagi, semua merujuk pada satu titik, yakni titik sebelum pikiran. Semua dilakukan secara spontan dan alamiah, tanpa halangan ataupun keraguan sedikit pun. Latihan semacam ini amat membantu, supaya orang bisa kembali ke keadaan alamiahnya tidak hanya dengan praktek meditasi, tetapi juga dengan percakapan-percakapan yang berlangsung di dalam kehidupan sehari-hari.

Di Jepang, jalan hidup Zen juga memberikan inspirasi besar bagi perkembangan ilmu bela diri, baik bela diri menggunakan tangan kosong, maupun dengan senjata. Inti utama dari jalan hidup Zen adalah menjaga pikiran tetap jernih dari saat ke saat, seperti layaknya ruang hampa besar. Ini adalah pikiran asali manusia, yang juga berarti pikiran asali dari segala yang ada, karena tidak ada perbedaan antara manusia dan segala yang ada. Segalanya adalah satu. Namun, satu juga merupakan konsep. Ia juga harus dilepas, supaya kita memperoleh pemahaman yang tepat. Dengan cara berpikir ini, orang bisa mempertahankan dirinya dalam segala situasi dengan kejernihan dan ketepatan. Terlalu banyak analisis dan pikiran juga menghambat reaksi spontan dan alamiah, yang amat berguna di dalam berbagai keadaan, terutama di dalam pertempuran. Ketika berada dalam keadaan alamiah, orang mencerap keadaannya secara menyeluruh dan jernih. Ia pun bisa membuat keputusan dengan tepat, apa yang mesti dilakukan pada saat itu, tanpa ada keraguan sedikitpun. Pikiran semacam ini adalah pikiran Buddha.

Segala sesuatu di alam ini terjadi secara alamiah dan otomatis. Perubahan musim, perkembangan spesies dan punahnya sebuah spesies, semuanya adalah proses alamiah. Sistem paling rumit di dalam tubuh manusia pun berlangsung secara otomatis dan alamiah, tanpa kesadaran ataupun pikiran apapun. Dengan kata lain, kesadaran diri manusia dalam bentuk pikiran analitis dan rasional berpijak pada sistem yang rumit sekaligus alamiah dan otomatis. Maka sangatlah masuk akal jika ditegaskan, bahwa manusia harus belajar untuk menjadi alamiah di dalam segala tindakannya. Dibutuhkan kepercayaan pada hakekat alamiah manusia yang sudah selalu tahu, apa yang mesti dilakukannya dalam setiap saat di dalam hidupnya. Pemikiran rasionalitas, analitis dan reflektif tetap dibutuhkan. Akan tetapi, itu semua tidak boleh menjadi penghalang manusia dari keadaan alamiahnya. Sebaliknya, ketiga hal itu justru harus menjadi penopang hidup manusia, supaya ia semakin alamiah dan tanpa halangan di dalam setiap tindakan maupun keputusannya.

Manusia modern cenderung melekat pada pikiran analitis, rasional dan reflektif. Mereka mencoba memahami segala sesuatu dengan akal budinya. Mereka mencoba untuk belajar dari masa lalu, dan mempersiapkan masa depan. Semua proses ini menciptakan tegangan yang membuat orang tidak dapat mencerap masa kini secara sempurna. Kejernihan dan kedamaian pun menjadi jauh dari genggaman tangannya. Pikiran yang berlebihan menghambat aliran tindakan. Pikiran yang berlebihan mengaburkan keadaan alamiah manusia. Orang pun menjadi terhalang di dalam pikiran maupun tindakannya. Zen mengajak orang untuk melampaui halangan semacam ini, dan kembali ke keadaan alamiahnya yang spontan dan bebas. Prinsipnya adalah seperti orang naik sepeda. Orang perlu untuk menjaga keseimbangan antara gerak ke kiri dan ke kanan, supaya ia bisa meluncur dan maju ke depan. Keseimbangan dinamis inilah yang perlu dikembangkan di dalam hidup. Zen memberikan pendekatan yang sistematis, supaya orang bisa mencapai tingkat kesadaran “naik sepeda” semacam ini.

Halangan terbesar manusia untuk mencapai keadaan alamiah adalah pikirannya sendiri. Lebih tepatnya, pikiran yang terus meragukan dari saat ke saat. Zen mengajarkan orang untuk menggunakan pikirannya dari saat ke saat. Pikiran yang meragukan menghalangi orang untuk menggunakan pikirannya secara jernih dari saat ke saat. Akhirnya, ia terjebak ke dalam kebingungan, dan masuk ke dalam penderitaan. Dalam arti ini, kelekatan batin, yang menjadi tantangan utama manusia menuju pencerahan batin, juga dapat dipahami sebagai “pikiran yang selalu meragukan” dari saat ke saat. Buddha adalah keadaan alamiah manusia yang bebas, tanpa keraguan. Orang hanya melakukan segalanya satu per satu dari saat ke saat. Orang yang hidup dengan kesadaran ini berarti juga bebas dari segala bentuk “pikiran yang meragukan”. Penting juga di dalam Zen adalah konsep kepenuhan hati di dalam melakukan segala sesuatu. Orang dilatih untuk mencemplung ke dalam apa yang dilakukannya sepenuh hati, tanpa keraguan. Ketika makan, ya makan. Ketika duduk, ya duduk. Tidak ada keraguan. Tidak ada keterbelahan. Inti dari jalan hidup Zen adalah, ketika berjalan, ya berjalan dengan sepenuh hati. Inilah keadaan alamiah manusia. Tidak ada lagi penderitaan dan keraguan, ketika orang hidup dengan jalan ini.

Menjadi alamiah juga berarti orang melepaskan keinginan untuk menjadi alamiah. Inilah jantung hati dari jalan hidup Zen, dan juga jalan hidup Tao di dalam Filsafat Cina. Menjadi sepenuhnya alamiah berarti juga melepaskan keinginan untuk menjadi alamiah. Ketika orang menyadari ini, maka segala ambisi dan tegangan akan otomatis menghilang. Menjadi alamiah akan menjadi otomatis, sama seperti bernafas. Orang akan menjalani hidup secara mengalir. Hidupnya akan menjadi biasa-biasa saja, sepenuhnya alamiah. Tidak perlu ada kepercayaan pada tuhan. Tidak perlu sekumpulan aturan moral yang mengancam dengan neraka dan surga. Semua itu akan hilang dengan sendirinya, ketika orang menyadari keadaan alamiahnya. Sama seperti ikan yang tidak sadar akan keberadaan air, dan pohon yang bergoyang, namun tidak sadar akan angin, begitu pula orang yang menjalani jalan hidup Zen. Ia mengalir sepenuhnya. Hidupnya akan biasa-biasa saja. Ia tidak terlihat menonjol di antara orang lain, karena ia juga tidak menyadari keberadaan egonya sendiri.

Ego, atau kesadaran akan adanya identitas pribadi yang kokoh dan terpisah dari segala yang lain, itu bagaikan duri di dalam tubuh manusia. Orang berusaha untuk merawatnya dengan memenuhi kebutuhannya akan ambisi dan pengakuan. Orang menjadi marah dan kecewa, ketika egonya dihina, atau tergesek oleh suatu peristiwa. Zen berusaha mencabut duri tersebut dengan membantu orang menyadari, bahwa ego, atau identitas pribadi yang terpisah dari yang lain, adalah sebuah ilusi besar yang menghasilkan penderitaan bagi banyak orang. Ketika orang melepaskan egonya, maka ia akan kembali ke keadaan alamiahnya. Namun, ada kecenderungan lain, yakni ketika orang melepaskan egonya, ia justru melekat pada Zen. Dalam arti ini, Zen menjadi duri kedua yang justru menghalangi orang untuk sampai pada keadaan alamiahnya. Ini bagaikan membersihkan noda darah dengan darah yang baru. Orang perlu sadar akan hal ini. Orang perlu melepas semua, termasuk melepas Zen, supaya ia bisa kembali ke keadaan alamiahnya. Keadaan alamiah berarti bebas dari segala bentuk kelekatan, termasuk bebas dari Zen. Tidak ada fondasi hidup. Tidak ada prinsip hidup. Tidak ada yang baik. Tidak ada yang jahat. Tidak ada yang perlu diraih. Tidak ada ambisi. Tidak ada ketegangan. Tidak ada pikiran untuk dibersihkan. Tidak ada tubuh untuk dikontrol. Tidak ada jiwa untuk diselamatkan. Semua bentuk abstraksi dari pikiran dalam bentuk konsep, simbol dan bahasa terlepas dengan sendirinya.

Hidup yang lama, yakni hidup yang melekat pada prinsip, moral, konsep, bahasa dan simbol, harus dilepas, supaya orang bisa mendapat hidup yang baru, yakni hidup yang berpijak pada kenyataan sebagaimana adanya, yakni hidup yang sepenuhnya alamiah. Setiap orang sudah mempunyai hidup semacam ini. Namun, keadaan alamiah ini tertutup oleh berbagai bentuk delusi dan kelekatan yang menciptakan penderitaan. Di dalam keadaan alamiah ini, orang bebas dari penderitaan. Setiap detik dalam hidupnya, ia menemukan kejernihan dan kedamaian yang sudah selalu ada di dalam dirinya sendiri. Tidak ada surga, dan tidak ada neraka. Orang tidak mencari apapun lagi, dan juga tidak menemukan apapun. Kuncinya adalah dengan memotong segala bentuk pikiran abstrak yang berpijak pada konsep, bahasa dan simbol. Tindak memotong pikiran semacam ini adalah sebentuk kebijaksanaan, yakni tindakan menunjuk langsung pada inti sejati dari diri manusia, yakni keadaan alamiahnya. Tidak ada pijakan pada tradisi dan norma-norma umum masyarakat. Di dalam keadaan alamiah, kebaikan, cinta dan kebijaksanaan adalah sesuatu yang secara alamiah mengalir dari dalam diri.

1 Saya mengacu pada uraian: Watts, Alan, The Way of Zen, New York, 1957, bab 2 bagian 2.



Viewing all articles
Browse latest Browse all 139

Trending Articles